Ada satu hal yang paling kutakutkan, yang tidak bisa kusampaikan kepadamu. Mom menyadarinya. Siang itu, Mom duduk di sampingku di kasur rumah sakit yang sempit. Mom merangkul tubuhku dengan hati-hati karena takut menyakitiku. Dia mengusap kepalaku yang botak dengan lembut, menarikku hingga bersandar pada ceruk lehernya.
"Jangan takut ... he will never forget you," bisiknya. "Don't you know by now how much he is into you?"
Aku melirik ke arahnya dan bertanya, "Mom, how do you know?" Bukan tentang tahu mengenai kamu yang tidak akan melupakan aku, tapi tentang ketakutan yang mengusik perasaanku akhir-akhir ini.
"I'm your mom ... of course I know," jawabnya sambil mengecup keningku.
"But I feel selfish ... aku ngerasa keinginanku ini jahat. I should wish him happiness, shouldn't I?"
"Yes, you should. He deserves to be happy."
"Tapi ... membayangkan dia mencintai orang lain terlalu sulit buatku," ujarku sambil meremas dada yang terasa sakit hanya dengan memikirkan kemungkinan itu. "I ... I want him to only love me. I'm hoping there will be no one else after me."
"And that's not selfish, baby. You love him so much, that's why. Bahagia tidak selalu karena ada orang lain untuk dicintai. Bagi Mom, kamu nggak ada gantinya. Mom yakin bagi Yiseong pun sama. You have to believe in him."
Mendengar itu, aku pun merasa lebih tenang.
I believe in you, Yiseong.