Halaman

Senin, 27 September 2010

The Pinocchio Girl - a prologue

Disclaimer:
- JK Rowling untuk dunia sihirnya yang mempesona
- IndoHogwarts dan para staff yang telah memberi tempat tinggal bagi karakter ini
- Semua karakter yang disebut di FF ini adalah milik saya
- Hera Seedlings sebagai visualisasi dari Mimosa Vervain




signature (c) Fhel
Call her MIMMY


"Dimana ini? Kalian siapa?"

Itu adalah pertanyaan pertamaku sewaktu kedua kelopak mataku terbuka. Ruang putih penuh sinar menyelimuti pandangan kedua mata hazelku yang menyipit. Usiaku baru lima tahun saat itu. Aku masih ingat betapa asingnya aku merasa di depan tatapan dua orang dewasa yang kemudian mengaku sebagai orangtuaku tapi aku tak mengenal siapa mereka. Aku tak pernah melihat kedua wajah itu. Baru beberapa saat kemudian aku tersadar bahwa aku pun tak tahu siapa aku dan darimana aku berasal. Seolah-olah hari itu adalah pertama kalinya aku membuka mata dan melihat dunia.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semuanya serba putih dengan tirai menyekat ruang tempatku berbaring saat itu. Jauh di dalam benakku aku tahu bahwa tempat itu adalah tempat untuk orang-orang sakit. Aku juga sakit. Punggungku terasa panas dan perih menggigit. Bau obat yang pekat membuatku sesak bernapas. Darimana luka itu kudapat? Orang sakit itu apa? Obat itu seperti apa? Mengapa aku tahu aromanya? Seperti itulah pikiranku saat itu. Bercampur dan mengaduk-aduk otakku hingga aku ingin muntah.

Semuanya terasa sangat asing bagiku.

Tubuh mungilku lalu gemetar dan kedua mataku memanas. Aku takut. Aku merasa sendirian dan tak berdaya. Aku ingin dipeluk mama tapi aku tak tahu siapa mamaku dan apakah benar wanita yang sedang tersenyum di depanku benar-benar mama atau bukan. Dan apakah pria itu benar-benar papa? Aku berusaha mengingat tapi tak ada satu hal pun yang mampu keluar dari memori otakku. Aku mulai terisak, menggigiti ujung-ujung jariku sementara air mata mulai menetes dari sudut-sudut mataku. Kali pertama dan kali terakhir aku menangis.

Aku melihat kedua orang di depanku saling bertatapan dan berbisik-bisik lalu kembali menatapku dengan senyum terlengkung di wajah mereka. Senyum yang membuat jiwa kecilku merasa sedikit lebih tenang.

Dan aku, aku masih ingat dengan jelas apa yang kemudian dikatakan oleh keduanya tentang siapa aku atau lebih tepatnya—


—apakah aku.

"Namamu Mimosa. Fuchsia Mimosa Vervain," ujar sang wanita dengan suaranya yang lembut sembari mengusap keningku, "Aku ibumu, Gladiola Vervain. Dan di sebelahku ini ayahmu, Aldaniel Vervain."

Setelah itu sosok Aldaniel Vervain memenuhi pandanganku dan suaranya bergema di otakku bahkan setelah enam tahun berlalu.

"Kau putriku. Bonekaku yang cantik."

Aldaniel tersenyum. Gladiola juga tersenyum. Aku menatap mereka dengan wajah penuh kebingungan.

"Boneka?"

Mereka mengangguk bersamaan, "Kau diciptakan, Mimosa. Boneka yang diberi kehidupan oleh sihir untuk menjadi anak kami."

"Kenapa aku merasakan sakit di punggungku?" tanyaku lagi. Isakku semakin menjadi, "Sakit sekali."

"Karena kami baru saja mengisi energi untukmu di sana," jawab Aldaniel menjelaskan. Aku hanya diam karena aku yang masih berusia lima tahun itu tak mengerti maksudnya. "Sakitnya akan segera hilang kalau kau berhenti menangis. Sayangku, boneka tak seharusnya menangis."

Saat itulah aku mendapat pemahaman bahwa aku bukan manusia sungguhan. Aku makhluk yang diciptakan oleh manusia. Aku sebuah boneka yang diberkahi dengan kehidupan layaknya manusia normal. Aku bernapas seperti manusia. Aku makan seperti manusia. Semua yang bisa dilakukan manusia, bisa aku lakukan. Aku disayang oleh kedua orangtua manusiaku seperti anak mereka sendiri. Diberi pakaian yang indah. Didandani secantik boneka-boneka porselen dalam lemari pajangan Gladiola dan membelikan aku banyak sekali boneka beruang yang kusuka.

Namun aku diberi batasan-batasan saat sedang bersama dengan Aldaniel dan Gladiola. Aku harus bersikap seperti sebuah boneka yang manis sewaktu-waktu saat mereka meminta. Tak diijinkan bergerak atau bicara sampai mereka berdua puas memandangiku dan mengagumiku—


—hasil karya jenius keluarga Vervain.


Dan kini, aku akan datang ke Hogwarts bersama Froggy, boneka kodokku yang bisa bicara, hadiah dari Aldaniel dan Gladiola saat aku menerima surat dari Hogwarts. Maukah kalian berteman denganku?

Jumat, 10 September 2010

Dear, Dear Diary

Disclaimer:
  • IndoHogwarts dan para staff
  • JK Rowling dan dunia Harry Potternya
  • Beauty Donks (mine), Charlie Weasley (Kat), Handsome Donks (Edo), Reid Rendall (Chazu), Veneztaffhielish C. Aubergine (milik PMnya), Foosan Sherman (Gege), Kenneth Larz (Haru) dan Zeus Pierre (mine)
  • Para beta reader yang selalu setia membaca semua karya saya
  • Tetet, buat kehadiranmu yang selalu menemaniku dan mendukungku


Image and video hosting by TinyPic
15th years old Beauty Donks


11 September 1990


Tak banyak yang tahu bahwa hari ini seorang gadis bernama Beauty Donks genap berusia 15 tahun. Hanya Handy sang adik serta beberapa teman dekat yang tahu hari ulangtahunnya di Hogwarts. Kiriman kartu ucapan dan beberapa hadiah sudah diterimanya. Keluarganya di rumah mengiriminya banyak sekali kue-kue manis, membuat Beauty menggeleng-geleng geli. Kedua orangtuanya masih berambisi untuk membuat Beauty kembali montok seperti dulu. Tak peduli seberapa kerasnya ia berusaha menjelaskan, bagi Charming dan Pretty Donks, tubuh bundar kelebihan lemak adalah simbol dari kecantikan yang tak terlawan.

Reid Rendall, teman sekelas yang dulu pernah mengajaknya pacaran mengiriminya sekantong penuh dengan lollipop kesukaannya. Lollipop rasa karamel yang sudah lama sekali tak pernah ia nikmati. Hari ini mungkin ia boleh membuat pengecualian. Diambilnya sebuah lollipop dari dalam kantong, dibukanya plastik pembungkus permen itu dan ia masukkan ke dalam mulutnya. Membiarkan rasa manis memanjakan indera pengecapnya. Satu saja. Hanya untuk hari ini sebagai perayaan.

Taff, teman sekelasnya yang lain, yang memiliki tubuh dan sifat paling seksi yang pernah dikenalnya, mengiriminya sebuah buku panduan untuk menjadi seksi a la Miss Aubergine.

Handy, adiknya tersayang, memberinya sebuah pelukan dan ciuman bertubi-tubi ketika mereka bertemu pagi tadi di koridor. Tak ada hadiah karena Handy menganggap hadiah dari keluarga Donks sudah sepaket dengan hadiahnya. Beauty tak keberatan. Asal Handy tak lupa hari spesialnya, ia sudah sangat gembira.

Hadiah yang paling membuatnya terkesan mungkin adalah hadiah yang baru saja ia terima. Pengirimnya adalah Foosan Sherman. Gadis cantik berambut merah yang dulu pernah mendandaninya bersama-sama dengan beberapa anak seangkatannya. Awalnya, ia mengira Foosan hanya mengolok-olok dirinya namun kini ia harus mencabut dugaan tersebut. Sebuah kotak beludru merah berisi bermacam-macam peralatan rias lengkap dengan merk mahal ada di balik bungkus hadiah yang dikirimkan sang gadis Slytherin.

Selain itu ada sebuah kartu ucapan dari Zeus Pierre dan Kenneth Larz, dua orang senior yang dulu mengenalkannya pada Charlie Weasley. Di kartu itu tertulis dukungan untuk perasaan yang selalu ia pendam untuk anak kedua dari keluarga Weasley tersebut.


Yang paling ia harapkan untuk memberinya hadiah.


Beauty Donks tersenyum. Dirapikannya semua hadiah dan kartu ucapan yang ia terima di dalam laci nakas di samping tempat tidurnya. Lalu sebuah buku harian bersampul biru muda ia keluarkan dari dalam laci yang sama berikut sebuah pena bulu dan sebotol tinta.

Gadis itu bangkit dari tempat tidurnya, beranjak menuju meja kayu di samping nakas. Tempat ia selalu menghabiskan waktu menulis buku hariannya setiap malam sebelum tidur.

Dibukanya tirai yang menutupi jendela yang terbingkai tepat di depan mejanya, membiarkan cahaya yang dipancarkan rembulan menerangi penglihatannya. Menulis buku harian sambil memandangi langit malam selalu membuatnya merasa tenang dan damai. Waktu bahkan terasa berjalan lebih lambat hingga ia kemudian tenggelam dalam kenangan-kenangan yang ia rangkai dalam tulisan.

Sampul depan buku hariannya pun ia buka dan ia tersenyum. Sebuah foto sihir yang menampakkan wajah pemuda yang paling ia cintai terlekat di sana. Menampakkan wajah sumringah seorang Charlie Weasley dengan snitch berkilauan di dalam genggaman. Momen yang sangat membahagiakan ketika pemuda itu berhasil merebut kemenangan pada pertandingan Quidditch tahun lalu.

Halaman dengan foto Charlie itu kemudian ia balik. Halaman kedua buku harian itu membawanya pada entri pertama yang ia tulis. Hari saat ia berkenalan dengan Charlie Weasley.

30 Agustus 1986

Dear Diary,

Hari ini aku dikenalkan pada anak laki-laki paling tampan di dunia. Namanya Charlie Weasley. Usianya lebih tua dua atau tiga tahun dariku. Rambutnya berwarna merah seperti wortel yang lezat. Membuatku jadi ingin makan wortel saat itu juga. Anak bernama Charlie itu juga memuji mataku.

Diary, aku senang. Sepertinya aku naksir sama dia. ♥
Mudah-mudahan di Hogwarts nanti aku bisa satu asrama dengan dia.


XOXO,

Beauty Donks

Usianya baru sebelas sewaktu tulisan itu ditulis. Pertama kalinya ia jatuh cinta pada lawan jenis yang tak disangkanya akan bertahan hingga hari ini. Perasaannya tak berkurang sedikitpun. Bertambah besar, iya. Halaman berikutnya pun ia buka dan ia tertawa kecil membaca apa yang ia tulis di sana.

1 September 1986

Dear Diary,

Aku masuk ke asrama Gryffindor!! Ini sangat menyenangkan!!
Aku satu asrama dengan Charlie Weasley!! ♥♥♥

Diary, tahu tidak betapa dia begitu tampan saat tertawa? Aku sejak tadi menghabiskan waktu di pesta untuk memandangi dia seorang. Makan sambil menatap orang yang disuka ternyata rasanya jadi berkali-kali lipat lebih enak!

Jubah Hogwarts membuatku terlihat seperti Countess Vampire, ngomong-ngomong.


XOXO,

Beauty Donks

Jadi, ia dulu menganggap dirinya seperti Countess Vampire? Benar-benar pikiran polos seorang anak sebelas tahun, eh? Kalau diingat-ingat lagi rasanya jadi memalukan namun tetap saja merupakan sebuah kenangan manis yang tak tergantikan. Ia tahu bahwa sejak sebelum menginjak Hogwarts pun, nama Charlie Weasley selalu menghiasi benaknya dan juga buku hariannya.

Dibaliknya lagi halaman demi halaman dan dibacanya satu per satu, mengenang hari-hari yang ia lewati selama di Hogwarts. Mengenang hari-hari di mana ia menjadi seorang gadis kecil tambun yang hobi menguntit Charlie kemana-mana. Masuk ke dalam kelas herbologi Charlie saat ia kelas 1 karena diharuskan menjadi pelayan Kenneth selama setahun. Well, sebenarnya itu hanya alasan yang dibuat-buat untuk bertemu dengan sosok kesayangannya.

Ada satu ketika di mana Charlie tak ia lihat di mana-mana sehingga dulu ia sempat mengira Charlie pindah sekolah atau bahkan menghindarinya. Namun kemudian, ia dan Charlie bertemu tanpa sengaja di lapangan Quidditch.


5 November 1986

Dear Diary,

Akhirnya aku tadi bertemu lagi dengan Charlie di lapangan Quidditch. Ternyata dia anggota tim Quidditch Gryffindor. Posisinya sungguh keren. Dia seeker, lho! Aku sempat melihatnya berlatih dan dia teramat tampan saat terbang di atas sapunya.

Diary, Charlie juga mengajakku untuk ikut tim tahun depan. Aku tak tahu apakah dengan tubuhku yang berat ini aku bisa terbang dengan baik, tapi aku mau masuk tim.

Karena dengan begitu aku bisa dekat dengan dia. ♥


XOXO,

Beauty Donks


Sekali lagi gadis itu tersenyum. Ia masih ingat dengan jelas kejadian yang ia tulis dalam buku hariannya. Semua yang diucapkan Charlie, bagaimana bersemangatnya ekspresi Charlie sewaktu bercerita tentang serunya bermain Quidditch dan bagaimana caranya tersenyum saat melepaskan pelukan Beauty di lengannya.

"..."

Tersenyum pahit. Ia menggelengkan kepala membuyarkan pikiran tersebut lalu membalik kembali halaman-halaman buku hariannya yang semakin membawanya pada kesesakkan.

Tertulis di sana semua kepedihan hatinya saat mengetahui bahwa Charlie menjalin hubungan dengan Tonks. Tertulis di sana semua sakit hatinya setiap kali melihat kedua pasangan itu bersama-sama. Tertulis di sana betapa tersiksa hatinya setiap kali berlatih Quidditch karena senyum Charlie dan tatapan Charlie hanya tertuju pada seorang gadis.

Dan, gadis itu bukan dirinya.

Air matanya mungkin takkan pernah mengalir. Terus ditahan hingga rahangnya mengeras dan jemarinya mengepal. Pada akhirnya ia selalu berusaha untuk tetap tersenyum, berpura-pura tak terjadi apa-apa dalam batinnya yang tak henti bergumul. Jerit hatinya yang tak merelakan sosok idamannya menjadi milik gadis lain tak pernah bisa terucap. Ia ingin bisa menjadi orang-orang yang berbesar hati lalu mendoakan kebahagiaan Charlie dengan tulus. Ia ingin mencoba berpaling pada sosok lelaki lain agar ia bisa melangkah dan melupakan Charlie.

Tapi, ia tak bisa.

Jiwanya telah terpuruk dalam lumpur hisap berisi pesona seorang Charlie Weasley. Ia telah terbenam terlalu dalam dan tak mampu keluar dari sana. Ia tak bisa mendoakan kebahagiaan Charlie, ia berharap keduanya segera putus hingga ia bisa merebut Charlie untuk menjadi miliknya sendiri. Ia mengingini Charlie lebih dari apapun.

Segala upaya kemudian ia lakukan, ia ingat ketika ia mulai berdiet untuk mendapatkan hati Charlie. Ia ingat perjuangannya kala menahan lapar yang membuat raganya tersiksa. Ia ingat kelelahan serta tetesan peluh yang terkuras saat ia memaksakan tubuhnya berolahraga. Ia masih ingat jelas hingga saat ini ketika tubuh sempurna telah ia dapati.

Namun Charlie tetap tak tergapai.


Malam sunyi kuimpikanmu
Kulukiskan cita bersama
Namun s’lalu aku bertanya
Adakah aku di mimpimu

Pelan, ia menutup buku hariannya. Tak satu kata pun berhasil ia tulis untuk menambahi kenangan di hari ulang tahunnya. Air matanya menitik. Air mata pertamanya di usia ke-15. Sekali lagi untuk Charlie Weasley yang tak tergantikan. Ia berdiri dari kursinya dan melangkah menuju sebuah cermin di samping nakas. Cermin itu tergantung di dinding, sebuah cermin panjang yang membuatnya bisa melihat seluruh tubuhnya di sana. Gadis belia itu merenung. Menatap tubuhnya dari kepala hingga ke kaki.

Di hatiku terukir namamu
Cinta rindu beradu satu
Namun s’lalu aku bertanya
Adakah aku di hatimu

Satu kesadaran perlahan menyeruak di benaknya. Satu kesadaran yang membuatnya tahu mengapa ia belum juga mendapatkan hati Charlie ketika ia mengangkat kaos depannya dan memandangi perutnya di cermin.

"Aku masih gemuk..."

Dan lollipop karamel yang sejak tadi ia hisap, dibuangnya ke tempat sampah.