Halaman

Rabu, 16 Juni 2010

The Last Puzzle (finished)

Disclaimer:
  • JK. Rowling dan dunia sihirnya yang luar biasa
  • 7 y.o Nabelle M. Elsveta dan 8 y.o Zeus Pierre milik saya beserta para charfik
  • Thanks to Tetet, Dodol dan Mav yang sudah bersedia jadi beta reader dan memberi masukan yang berarti banget buat FF ini
  • Thanks to Harry Potter Wikia untuk informasi mengenai kutukan Imperius



Elsveta Castle
Novgorod, Russia. January 10’ 1980



Langit sore itu sama dengan langit pada sore-sore lainnya. Didominasi dengan warna biru yang lembut bagaikan susu ditambah dengan semburat kemerahan dari cahaya matahari yang akan segera menunaikan tugasnya. Aku berbaring terlentang di atas hamparan rumput hijau yang lembut. Rok terusanku pun terbentang melebar di atasnya dengan beberapa helai rumput patah menempel di permukaannya yang berenda. Aku sedang menatap lurus ke langit tepat pada satu gumpalan awan yang sejak beberapa menit lalu menggoda bola mata perakku untuk terus memandangnya. Aku tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tanganku tinggi-tinggi dan menunjuk gumpalan awan itu dengan bersemangat. Mencoba menarik perhatian kakak sepupuku, Zeus, yang berbaring di sampingku.

“Lihat, Zeus! Belle menemukan beruang!” ujarku dengan nada riang. Kedua bola mataku masih terpancang kokoh menatap sang beruang putih. Tak mau repot-repot memastikan apakah Zeus menoleh ke arahku atau tidak. “Awannya benar-benar berbentuk beruang!” ujarku lagi. Tak sabar menunggu Zeus mengiyakan apa yang kulihat. Butuh waktu satu menit sampai akhirnya anak laki-laki berambut pirang platina itu bersuara.

“Yang mana, sih?” tanya Zeus dengan nada penasaran lalu memandangiku dengan tatapan heran.

Aku tahu, Zeus sering berpikir bahwa aku adalah anak yang aneh dengan sejuta khayalan dan imajinasi yang takkan pernah tergapai olehnya. Aku tahu tentang itu dari Mum. Zeus pernah mengatakan tentang pemikiran tersebut pada Mum dan Mum mengatakannya padaku. Aku pun akhirnya melepaskan pandanganku dari si beruang putih dan menoleh untuk menatap bola mata Zeus yang sewarna dengan milikku.

“Zeus payah,” ujarku sembari menurunkan tanganku dan meletakkannya di atas perut. Bibirku mengerucut ketika aku mendengus kesal menatap kakak sepupuku yang begitu minim imajinasi. Entah sudah berapa kali hal semacam ini terjadi. Seharusnya aku sudah siap dengan reaksi Zeus. Sulit sekali berbagi hal-hal yang menyenangkan jika orang yang kau ajak bicara bahkan tak paham apa yang sedang kau bahas. Berbeda dengan ayahku, Boris, yang senantiasa memahami apa yang kuucapkan. “Padahal kali ini benar-benar berbentuk beruang,” keluhku lagi. Kuangkat tubuh mungilku ke posisi duduk. Kulipat kedua kakiku untuk menjadi penopang kedua tangan dan kepalaku. Bisa kulihat dari sudut mataku kalau Zeus pun mengikuti apa yang kulakukan.

“Maaf,” ujar Zeus. Dia menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut lalu dia terbatuk. Zeus hanya satu tahun lebih tua dariku. Mum bilang, Zeus datang ke kastil tempatku tinggal ketika usiaku masih dua tahun dan tinggal bersama kami semenjak itu. Tubuh Zeus lemah sejak dulu. Dia mudah sekali terserang flu. Sekarang setelah lima tahun berlalu, aku bahkan tak pernah melihat paman dan bibiku datang menjenguk Zeus. Apakah mereka tak merindukan Zeus? Aku tak bisa membayangkan tinggal di tempat orang lain tanpa bisa bertemu kedua orangtuaku. Tapi, Zeus sendiri sudah tak ingat seperti apa wajah kedua orangtuanya. Kedua orangtuaku sudah menjadi pengganti orangtua baginya. Aku sendiri sudah menganggapnya seperti kakak kandungku. Lagipula warna rambut dan wajah Zeus sangat mirip dengan ayahku. Jadi, semua orang dengan mudahnya mengira bahwa Zeus adalah anak pertama di keluarga Boris Elsveta.

“Kau tak apa-apa, Zeus?” tanyaku cemas memandangi Zeus yang masih saja terbatuk. Aku tak suka melihat Zeus sakit dan terbaring di atas tempat tidur. Aku lebih suka Zeus yang sehat karena Zeus yang sehat tahu banyak sekali permainan yang menyenangkan. “Sebaiknya kita masuk saja ke dalam. Sebentar lagi waktu makan malam tiba,” ajakku sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. Kakak sepupuku tersenyum. Dia mengangguk setelah mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa meski aku tahu itu hanya untuk membuatku tenang saja. Zeus selalu begitu. Tak suka membuat orang lain cemas.

Ketika kami berdua bangkit berdiri dan aku tengah menepuk-nepuk rokku yang penuh dengan patahan rumput kering, Zeus menengadah ke langit. Seketika aku mengikuti arah pandangnya dan melihat tiga titik hitam di sana. Titik hitam yang semakin lama semakin mendekati kami. Titik hitam yang terlihat semakin besar dan pada akhirnya aku sadar bahwa tiga titik hitam itu adalah sosok tiga orang pria dewasa berjubah hitam di atas sapu terbang. Beberapa putaran jarum detik melingkari bundaran jam dan tiga sosok itu mendarat tepat di hadapan kami berdua.

Salah satu dari mereka yang terlihat paling menonjol berjalan di depan—menghampiri Zeus. Rambut pria itu hitam, disisir rapi ke belakang. Tubuhnya begitu tinggi sehingga membuatku harus mendongak untuk melihat wajahnya yang tampan namun berekspresi keras. Kedua bola matanya yang berwarna biru gelap terlihat begitu dalam tanpa dasar sehingga membuatku tanpa sadar melangkahkan kedua kaki kecilku mundur satu langkah. Kupegangi sebelah lengan Zeus erat-erat seolah dengan begitu maka Zeus akan aman. Pria itu tersenyum tipis kala menatap tajam kakak sepupuku—senyum yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Bisa kurasakan Zeus pun tegang ketika ia meremas pergelangan tanganku dan menarikku untuk berdiri di belakangnya. Aku menurut.

"Takut padaku, boy?" ujar pria berambut hitam itu pada Zeus dengan senyum miring.

"Kau mau apa di rumahku!?" balas Zeus dengan berani di sela-sela batuknya. Aku selalu kagum dengan keberanian Zeus dan selalu berusaha untuk memiliki keberanian yang sama dengannya. Aku tak mau jadi gadis kecil yang penakut dan selalu dilindungi. Suatu hari nanti, aku juga ingin melindungi orang-orang yang aku sayangi. Setidaknya saat aku sudah besar dan lebih tinggi dari sekarang.

"Mereka siapa, Zeus?" tanyaku pelan. Aku bisa mendengar suaraku bergetar karena rasa takut.

"Tenang, Baby Belle. Takkan kubiarkan mereka menyakitimu."

"Hahaha. Rupanya mereka membesarkanmu begitu baik sehingga kau jadi sok pahlawan begini, eh? Rambutmu pun pirang seperti mereka. Tidak ada mirip-miripnya denganku." ujar pria itu lagi.

"Kenapa dia harus mirip dengan Anda?" tanyaku penasaran. Sama sekali tidak mencurigai kemungkinan bahwa pria menyeramkan yang berdiri di hadapanku dan Zeus itu adalah—

"Karena dia puteraku, Nona. Puteraku."

—ayah kandung Zeus. Pamanku.

Aku terkesiap begitu pun dengan Zeus. Aku yakin kakak sepupuku itu sama terkejutnya denganku. Zeus terbatuk-batuk sambil memegang dadanya. Aku mendongak lagi, menatap pria berambut hitam itu sekali lagi. Berusaha mencari-cari kemiripan dari garis wajah si pria dengan Zeus. Namun aku tak melihatnya. Berapa kali pun dilihat, pria itu tidak memiliki tanda-tanda bahwa ia adalah ayah kandung Zeus.

"Wajah Anda tidak mirip dengan Zeus," ujarku begitu saja mengungkapkan apa yang ada di kepalaku. Tentu saja aku tak ingin punya paman berwajah seram seperti pria itu. Hanya berada di dekatnya saja sudah membuatku tegang. Mana mungkin Zeus yang begitu baik dan menyenangkan adalah anak dari seseorang seperti dia. Ditambah lagi, aku tidak suka cara pria itu berbicara. "Zeus anak baik. Bukan orang yang menakutkan seperti An—" Sebuah tamparan mendarat keras tepat di pipi kiriku. Membuatku tak bisa menyelesaikan kata-kataku. Rasa perih tak lama mulai menjalari kulit pipiku yang memerah. Kugigit bibir bawahku menahan sakit dan kutatap pria itu penuh dengan kebencian. Buliran bening mengintip di kedua sudut mataku karena kerasnya tamparan itu. Bahkan Daddy tak pernah menyakitiku seujung jari pun.

"Jaga ucapanmu, Nona kecil," desis pria itu sambil membungkuk hingga wajahnya kini begitu dekat dengan wajahku, "Aku benar-benar ayah bocah ini."

"JANGAN SENTUH BELLE, PEMBOHONG TUA!!" teriak Zeus pada pria berambut hitam itu. Dengan berani, Zeus mendorong tubuh pria yang lebih besar darinya itu menjauh. Namun kekuatan seorang anak laki-laki berusia delapan tahun tidak cukup kuat untuk membuat pria di hadapannya itu terjatuh. Sebagai balasannya, pria itu mencengkeram kerah kaos Zeus dan menariknya. Aku hanya bisa menatap ketakutan dan menyadari bahwa kedua kaki Zeus bahkan terangkat beberapa sentimeter dari tanah. Kujulurkan kedua tanganku memegangi pinggang Zeus. Takut kakak sepupuku itu tercekik.

"Lepaskan, Zeus. Please," isakku memohon.

"Christoff, jangan buang-buang waktu," ujar pria berambut merah dengan gigi-gigi kebesaran memanggil Christoff—pria yang mengaku sebagai ayah Zeus. Aku tak menyadari bahwa kedua pria yang tadi datang bersama dengan Christoff kini sudah berada di depan pintu masuk rumahku. Seringai kejam terlengkung di wajah mereka seolah mereka telah lama menantikan hari ini. Pria yang terakhir, berambut dan berkulit hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Matanya buta sebelah dengan codet besar melintang di pipinya. Entah ada urusan apa mereka datang namun jauh di dalam hatiku, aku merasa kedatangan mereka bukan untuk sesuatu hal yang baik. Aku bisa merasakan aura yang sangat jahat dari mereka bertiga. Jantungku berdegup tak teratur hanya dengan menatap mereka.

Christoff tiba-tiba melemparkan Zeus ke tanah dan menendang perut Zeus dengan keras sebelum berjalan menyusul kedua temannya. Teriak kesakitan pun langsung keluar dari bibir kakak sepupuku bersamaan dengan sedikit bercak merah di bibirnya. Aku segera berlari menghampiri dan berlutut di samping Zeus. Bulir kristal bening pun mulai mengucur deras dari mataku. Rasa takut bercampur marah menguasaiku.

"Zeus, kau tak apa-apa?" tanyaku panik. Zeus mengerang, terus terbatuk hingga tak bisa menjawab pertanyaanku. Aku tahu, Zeus tak mungkin baik-baik saja setelah ditendang begitu keras. Kubuka kaos Zeus hingga menampakkan perutnya yang lebam parah dan nafasku seolah terhenti karena keterkejutanku. Aku tak mengira bahwa memarnya akan sedemikian parah. Air mataku semakin deras mengalir dan kupeluk Zeus begitu ia berhasil duduk. Zeus menenangkan aku lalu mengarahkan telunjuknya ke arah pintu rumah. Ketiga pria itu telah masuk ke dalam. Aku bisa mendengar suara benda-benda pecah dari tempatku berada sekarang.

"Apa yang mereka lakukan, Zeus?"

"Ayo kita masuk. Kita takkan tahu kalau tetap di sini."

Aku menurut. Kubantu Zeus berdiri lalu kami berjalan berdampingan dan masuk ke dalam rumah. Rumahku sebenarnya adalah sebuah kastil tua milik keluarga Elsveta yang diwariskan turun-temurun. Kami berdua menaiki undakan-undakan anak tangga yang mengantar kami menuju ruangan besar yang biasa kami pakai untuk mengadakan pesta. Keadaan ruangan itu kini berantakan. Vas-vas mahal milik Mum kini berubah menjadi pecahan-pecahan keramik yang bertebaran di atas ubin batu pualam. Christoff dan kedua temannya memegang tongkat sihir, mengacungkannya ke arah Mum dan Dad yang juga memegang tongkat sihir mereka. Grandpa dan Grandma berdiri di atas balkon lantai dua, menatap ngeri ke bawah. Dad tidak mengijinkan mereka berdua turun.

What is this all about?

"Daddy! Mum!" seruku seraya berlari menghampiri mereka. Namun sebuah sentakan kemudian membuatku terlempar menabrak dinding di belakangku. Aku terjatuh di samping Zeus dengan rasa sakit luar biasa pada tulang-tulang punggungku. Zeus kemudian membantuku berdiri dan merangkulku, memberiku keberanian untuk tidak menangis sekalipun aku ingin. Aku tak mengerti apa yang ada di hadapanku. Aku terlalu muda untuk memahami semuanya. Satu hal yang aku mengerti adalah aku ingin semua yang kulihat sedang terjadi di depan mataku adalah mimpi yang akan berakhir begitu aku terbangun dari tidurku.

"Beraninya kau menyerang putriku, Christoff!" kudengar suara Dad membahana di ruangan tersebut, "Stupefy!" Christoff terpental namun segera bangkit lagi tak lama kemudian. Balas mengacungkan tongkat sihirnya ke arah Dad.

"Expulso!"

"Protego!"

"Boris, hati-hati!" Mum mengacungkan tongkat sihirnya ke arah pria berambut merah, "Expelliarmus!" dan tongkat sihir yang dipegang si pria itu terpental jauh. Dad dan Mum terlihat keren, tak pernah aku melihat mereka beraksi seperti itu. Namun aku tahu, ini bukan waktunya untuk terkagum. Ini adalah pertarungan sungguhan. Duel mantra pertama yang kulihat dalam hidupku. Kurasakan Zeus memegangku semakin erat. Kutolehkan kepala memandang kakak sepupuku itu dan bisa kulihat bahwa Zeus pun merasakan hal yang sama denganku. Pemandangan yang terlihat di hadapan kami menakutkan namun juga mempesona. Meski pada akhirnya aku menyadari bahwa kedua orangtuaku berada dalam pihak yang kalah meski Grandpa dan Grandma telah turut campur tangan membantu mereka.

Mum terkapar di lantai, terengah-engah dan tak sanggup berdiri. Grandma pingsan tak sadarkan diri di pelukan Grandpa yang terluka parah. Dad berdiri terhuyung berhadapan dengan Christoff dengan tongkat sihir sama-sama teracung—saling beradu mantra. Meski begitu, pihak lawan pun tak sepenuhnya berada dalam posisi baik. Pria berambut merah tergolek pingsan setelah sebelumnya menabrak meja batu dan pria berkulit hitam pun terlihat bernasib sama. Aku menatap Dad dengan ketakutan yang sangat. Tak mengerti mengapa orang-orang itu datang dan menyerang keluargaku. Semua orang di keluargaku adalah orang-orang baik yang mustahil memiliki musuh yang mau menghancurkan hidup mereka. Tapi kenapa pria berambut hitam itu, pria yang kemungkinan besar memang pamanku itu, menyerang orangtuaku dan kakek-nenekku?

Aku menelan ludah. Aku tak bisa diam saja melihat satu persatu keluargaku dirobohkan begitu saja oleh orang asing. Aku tak bisa diam saja melihat orang-orang yang kusayangi diperlakukan sedemikian rupa. Kulepaskan rangkulan Zeus dari tubuhku dan aku melangkah perlahan menuju tempat di mana sebuah pedang tergantung tanpa menggubris larangan Zeus. Pedang itu milik Grandpa. Pedang sungguhan dengan ukiran aksara Rusia pada gagangnya. Aku tahu karena Grandpa pernah menunjukkannya padaku sebelumnya. Beruntung letak pedang itu tergantung hanya berjarak beberapa langkah dari tempatku berdiri. Sambil menahan nafas, aku memanjat naik ke atas kursi, berusaha tidak menimbulkan suara yang akan membuat Christoff menyadari apa yang sedang kulakukan. Zeus menatapku dengan pandangan ngeri. Takut aku terjatuh. Namun aku telah membulatkan tekadku dan aku sendiri tak pernah menyangka bahwa aku begitu berani di saat terdesak. Kuulurkan tanganku dan kuambil pedang berat itu dari gantungannya. Sejauh ini aku berhasil dan aku bangga karenanya.

Namun keberhasilan itu tak berlangsung lama.

Ketika aku menarik pedang itu keluar dari sarungnya, Christoff menoleh. Kugenggam erat gagang pedang itu dengan kedua tangan kecilku. Entah darimana kudapati kekuatan untuk mengangkat pedang berat tersebut dengan tubuhku yang mungil. Zeus berteriak memeringatkanku ketika Christoff mengacungkan tongkat sihirnya ke arahku setelah membuat Dad terpental. Kulihat Zeus berlari ke arahku, berusaha melindungiku. Namun gerakan Christoff lebih cepat.

"Crucio," rapalan mantra terarah pada Zeus. Aku tak tahu mantra apa itu namun aku bisa lihat dan dengar kesakitan dari rintihan dan teriakan Zeus yang menggelepar di lantai. Aku marah. Kurasakan segala ketakutanku lenyap dan aku mulai berlari. Berlari dengan mata pedang teracung ke arah Christoff. Nafsu untuk membunuh menguasai diriku dan setelah itu aku tak mengerti apa yang terjadi. Hal terakhir yang kuingat adalah Christoff mengacungkan tongkat sihirnya padaku dan setelah itu tubuhku seolah dikuasai dan dikontrol oleh sesuatu yang tak terlihat. Aku berhenti bergerak bukan dengan kemauanku. Mum menangis, Zeus menjerit namun aku tak mampu menggerakkan tubuhku sendiri bahkan untuk mengedip sekalipun. Perlahan, sebuah perasaan nyaman yang menyenangkan menyusup masuk ke dalam benakku yang tegang. Satu demi satu benang ketegangan itu lepas dan membuatku merasa santai. Perasaan kuatir dan takutku menghilang. Aku hanya samar-samar menyadari bahwa perhatian semua orang kini terarah padaku.

Tubuhku kemudian bergerak maju dengan pedang masih teracung di genggamanku. Namun langkahku beralih pada Dad yang tergantung melayang di udara, bukan pada Christoff. Aku tak bisa mengendalikan tubuhku, terhanyut pada perasaan nyaman yang menyelimuti diriku. Dad memandangku dengan tatapan memelas namun saat itu aku tak mengerti arti tatapan tersebut. Bibir Dad bergerak-gerak mengucapkan sesuatu seperti `rebut kendali dirimu` tapi aku masih terbuai. Hingga pada satu titik dimana kedua tanganku bergerak menikamkan mata pedang itu menembus perut Dad.

Aku menikam perut Dad, menembuskan logam panjang itu ke tubuh orang yang paling aku kasihi di muka bumi.

Kesadaran tiba-tiba menyeruak. Aku tahu aku telah melakukan sesuatu yang sangat fatal dan aku berjuang melawan kendali tak kasat mata yang menguasai tubuh dan pikiranku. Kudengar tawa keras membahana dari mulut Christoff ketika tubuhku berhasil kembali di bawah kendaliku. Namun perhatianku hanya terfokus pada Dad yang tergeletak penuh darah dengan aku berdiri di atasnya, memegang gagang pedang yang masih menancap di perut Dad. Tubuhku lemas seketika dan aku jatuh terduduk di samping Dad yang menatapku sambil tersenyum. Nafasku memburu. Air mata berjatuhan dari sudut mataku.

"Kau berhasil, Belle," ujar Dad terbata, "Kau berhasil melawan kutukan itu."

"Daddy, sorry. Belle—," ucapanku terputus. Dad menutup mulutku dengan telapak tangannya yang mendingin. Aku menangis. Menatap darah yang berlumuran di kedua tangan kecilku. Menatap darah yang terus mengalir dari perut Dad. Menatap Mum yang terbujur kaku sambil menatap kami dengan tatapan tak terdefinisi. Aku, di usia tujuh tahun, telah membunuh. Membunuh ayahku sendiri. Kugenggam telapak tangan Dad erat-erat. Tubuhku bergetar hebat karena tangisku. Aku bahkan tak sanggup mendeskripsikan perasaanku saat itu. Semuanya terasa campur aduk. Aku takut.

"Bagaimana rasanya sekarat di tangan putrimu sendiri, Boris?" ujar Christoff. Aku menoleh, menatap pria yang telah memorakporandakan keluargaku dan yang telah membuatku menikam Dad. Pria itu melangkah ke arah Zeus yang tergeletak pingsan dan mengangkat tubuh kakak sepupuku itu ke bahunya kemudian berjalan mendekati kami.

"Lebih baik... daripada mati... di tangan kotormu," ujar Dad menatap jijik ke arah Christoff, "turunkan Zeus. Jangan... berani... bawa dia pergi."

"Dia putraku. Sudah waktunya dia kembali pada keluarganya."

"Dia tak akan pernah menganggapmu ayahnya! Pelahap maut sia—"

"Avada kedavra. Goodbye, kakak iparku."

Dan semuanya berakhir. Ingatanku terhapus sejak hari naas itu.

Minggu, 06 Juni 2010

Surat Tahun Pertama STAYNE WINDSTROKE yang ASLI!!!

Stayne Windstroke duduk bersimpuh di atas lantai dingin itu. Pandangannya bergeming sejak dua menit lalu—dan, segaris dengan arah tatapannya, ada sepasang mata kecil serupa manik hitam: milik seekor burung hantu angkuh, yang berbulu cokelat kehitaman dan bercakar kokoh. Bertengger di kusen jendela, dengan tatapan jumawa khas nokturnal yang balas menatapnya dingin. Stayne mengangkat sebelah alis.

“Sampai kapan kau mau bisu, Hocus Pocus?”

Wajah datar itu juga tidak berubah, sama-sama keras kepala, alisnya bertaut semakin dalam bahkan ketika pertanyaannya sudah selesai. Tapi, masih hening. Riak sinar matahari yang memantul-mantul di belakang punggung si burung hantu berubah terik, mencairkan ketenangan Stayne sampai titik dimana sang Windstroke muda mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar. Gudang yang dingin itu juga sama sekali tidak membantu untuk membekukan rasa penasarannya. Debu berhasil menegaskan detail-detail dari setiap furnitur yang tidak terurus di dalamnya. Kotak-kotak kayu bertumpuk teratur dan diselimuti kain, mengelilingi titik inti di sana yang berupa meja besar penuh barang-barang tidak-terdefinisi. Sementara itu, Stayne semakin larut dalam keinginan untuk membuat api unggun lima detik lagi demi menikmati daging burung hantu bumbu—oh, belum, urusan mereka masih belum selesai. Sayang sekali. Stayne kemudian mencondongkan punggungnya perlahan, dan membunuh jarak di antara mereka dalam diam.

Masih bersimpuh, ubin batu, dan spasi antar mata yang tinggal sejengkal.

“Kau pasti suruhan penyihir. Aku yakin.”

Ya. Kau pikir dia tuli, tidak pernah mendengar gosip bahwa keluarga Windstroke secara mengejutkan terkontaminasi macam-macam darah penyihir dalam darah mereka? Ini bukan kebetulan lagi. Stayne adalah yang ketiga. Well… Stayne sebenarnya tidak peduli, tetapi dia tahu bahwa sudah dua dari keluarga besar itu yang hanyut dalam dunia tongkat sihir dan rapalan mantra. Membuatnya skeptisismenya meluap-luap, seperti ombak yang pasang dan mengikis pasir-pasir kesabarannya kini. Tapi, lagi-lagi, pikiran tenang itu menang. Stayne membekukan frasanya di ujung lidah sejenak, sampai dia mengujar tanpa emosi.

“Buktikan kau penyihir. Bisa, kan?”

Merogoh isi saku jinsnya, Stayne lantas mengukirkan senyuman miring yang sangat samar. Garis lurus. Berkilat. Keperakan. Diletakkannya di atas kusen jendela tempat si burung hantu bertengger kini.

“Tes pertama, ubah jarum itu jadi korek api!! A-BRA-KA-DA-BRA!!”

Stayne berdiri. Bergegas, dia merentangkan dua lengannya, dan gerakannya beku di udara dengan kedua telapak tangan yang terbuka. Matanya melotot, dipenuhi oleh serangkaian kilat harapan yang tak-terkatakan.

"............................................”

Dan jangkrik berdesing semakin keras di luar. Samar-samar Stayne dengar suara Dad yang sedang memanggil-manggil Jade di halaman. Dedaunan bergemerisik, rahangnya jatuh beberapa senti, sampai dia kembali pada roman wajah datarnya. Mendengus, Stayne kini menggosok ujung hidungnya yang tidak gatal. “Oke, aku juga tidak bisa. Jadi kita seri.” Dia mengujar dengan nada kosong, menatap sinis si burung hantu yang mulai kelihatan bosan. Otaknya memilin-milin strategi lain, dan sebuah roda imajiner di dalamnya berhenti pada satu ide yang membuat Stayne kini mengangkat dagu dengan penuh kemenangan. Hmph. Memang, bagaimanapun manusia tidak akan ada yang kalah dari hewan begundal yang otaknya bahkan tidak lebih besar dari upil semut. Haa.

“Tes kedua: tirukan aku. Balita pun bisa—dan kalau kau masih tidak bisa, berarti kau hanya burung hantu biasa, yang sebentar lagi berubah bentuk jadi lima irisan daging bumbu barbeque.”

Jeda. Stayne mengatur posisi tepat di depan si burung hantu, dan menarik napas panjang. Pandangannya memicing sengit sejenak, sampai dia mundur selangkah, dan…

“HEAAAA!!”

Kayang. Lenting sempurna. Dengan keahlian setara seseorang yang memiliki bakat untuk itu sejak lahir. Ada gelegak euforia yang memoles ekspresi datar si pemuda sekarang, meninggalkan jejak berupa mata hitam pekatnya yang dipenuhi kilatan. “Nah! Kau tidak bisa, kan?! HAHAHA.” Tertawa maniakal, masih tanpa ekspresi ataupun sudut bibir yang melengkung, dia menatap si burung hantu dengan darah yang sudah memenuhi otaknya sehingga wajah itu jadi agak memerah. Tetapi yang didapatkannya sebagai balasan hanyalah segaris tatapan hitam kecil yang nampak mencemooh—dan si burung hantu melesat terbang keluar dari jendela, bahkan sebelum Stayne sempat mengerjap.


“…O-OI!!”

Dia bangkit lagi dengan terburu-buru. Terengah, Stayne mengusap keringat di satu sudut pelipisnya, seiring langkahnya yang mendekat ke tepian jendela. Nihil. Burung angkuh itu sudah jadi satu titik yang menghilang di antara awan dan langit biru, menyisakan tatapan penuh dendam dari si Windstroke muda, namun kilatan sengit tersebut tidak bertahan lama karena ada segulung perkamen yang dicetuk-cetuk angin. Menggulir jatuh dari kusen jendela. Untuk sejenak Stayne bergeming seperti fase awal pertemuannya dengan si burung hantu, tetapi pada akhirnya dia mengangkat bahu, memutuskan bahwa secarik kertas saja tidak akan membunuhnya. Entahlah. Sejak awal firasatnya kurang baik untuk ini, kau tahu. Ck.

Elmira

Nitip Regisan Elmira =))

Nama :
Elmira Rosemary Summerleaf

Jenis Kelamin: Perempuan

Status Darah: Pureblood

Domisili: Skull Alley, London

Tempat Tanggal Lahir: London, 1 Agustus 1977

Latar Belakang Karakter: Elmira dibuang begitu dilahirkan oleh kedua orang tuanya dan dipungut oleh anak-anak Skull Alley; gadis kecil itu pun tumbuh besar di sana.

Visualisasi: Izzi Murder

Latar Belakang Visualisasi: anonym

Keterangan Tambahan: Cadel. Tak bisa menyebut huruf R. Dalam pelafalan diganti dengan huruf 'Y' atau 'L'. Menyebut namanya sendiri 'Elmiya'.