Halaman

Jumat, 01 April 2022

I Can't Tell You How Selfish I am

 Ada satu hal yang paling kutakutkan, yang tidak bisa kusampaikan kepadamu. Mom menyadarinya. Siang itu, Mom duduk di sampingku di kasur rumah sakit yang sempit. Mom merangkul tubuhku dengan hati-hati karena takut menyakitiku. Dia mengusap kepalaku yang botak dengan lembut, menarikku hingga bersandar pada ceruk lehernya.

"Jangan takut ... he will never forget you," bisiknya. "Don't you know by now how much he is into you?"

Aku melirik ke arahnya dan bertanya, "Mom, how do you know?" Bukan tentang tahu mengenai kamu yang tidak akan melupakan aku, tapi tentang ketakutan yang mengusik perasaanku akhir-akhir ini.

"I'm your mom ... of course I know," jawabnya sambil mengecup keningku.

"But I feel selfish ... aku ngerasa keinginanku ini jahat. I should wish him happiness, shouldn't I?"

"Yes, you should. He deserves to be happy."

"Tapi ... membayangkan dia mencintai orang lain terlalu sulit buatku," ujarku sambil meremas dada yang terasa sakit hanya dengan memikirkan kemungkinan itu. "I ... I want him to only love me. I'm hoping there will be no one else after me."

"And that's not selfish, baby. You love him so much, that's why. Bahagia tidak selalu karena ada orang lain untuk dicintai. Bagi Mom, kamu nggak ada gantinya. Mom yakin bagi Yiseong pun sama. You have to believe in him."

Mendengar itu, aku pun merasa lebih tenang.

I believe in you, Yiseong.

Kamis, 31 Maret 2022

18 Agustus 2021 - A New Bucket List

 “Aku mau bikin bucket list baru —”

— adalah hal pertama yang diucapkan Kwon Eunjae saat terbangun pagi tadi, membuat Hwang Yiseong yang sedang membangunkannya terheran-heran.

“Kamu mimpi apa barusan, Sayang?” tanya Yiseong seraya mengusap helai rambut Eunjae yang menutupi matanya. “Bangun-bangun langsung mikirin bucket list.”

Eunjae tidak langsung menjawab, pemuda itu hanya menatap kekasihnya dan mengguratkan senyum segaris yang lantas disambut dengan tusukan ujung-ujung jari Yiseong pada sepasang ceruk di pipinya.

“Aku memikirkannya semalam sampai ketiduran,” jawabnya kemudian sambil merentangkan tangan dan kakinya yang panjang untuk memeluk seluruh tubuh Yiseong. “Daftar milikku hampir semuanya sudah dilakukan, jadi aku mau menambahkannya.” Diadunya ujung hidung ke milik kekasihnya, berlanjut dengan sepasang bibir yang saling menemukan. “Tapi kali ini nggak mau masukin yang ada hubungannya dengan bagaimana aku ingin pergi. Aku mau yang bikin bahagia saja."

Mereka pun beranjak dari tempat tidur, mandi, sarapan dengan cepat, lalu duduk bersebelahan di meja makan dengan selembar kertas di meja dan pena di tangan kanan Eunjae.

28 Mei 2021

"Tidak bisa, Dok?" tanya Kwon Eunjae penuh harap, yang disambut dengan gelengan sang pria paruh baya sambil melepas kacamata dan mengelapnya.

"Diagnosis saya sama persis seperti dokter-dokter sebelum ini. Tubuhmu terlalu lemah untuk menerima terapi-terapi yang berat."

"Sekalipun saya sendiri yang menginginkannya?" desak Kwon Eunjae hingga Hwang Yiseong meletakkan tangan di pundaknya supaya ia tidak mencondongkan tubuh terlalu dekat pada dokter Byun. "Saya bisa. Saya mau berjuang, Dok. Saya bisa tahan sakitnya. Saya tidak mau menyerah begitu saja tanpa perlawanan sama sekali. Dokter, saya mau sembuh."

"Saran saya, lanjutkan saja pengobatan yang selama ini sudah berjalan," ujar sang dokter dengan tenang. "Jangan stres. Nikmati hidup se—"

Gebrakan di meja menghentikan kalimat dokter itu. Cukup sudah ia mendengar hal yang sama. Kwon Eunjae berdiri, dan meninggalkan ruangan. Tak lama kemudian, Yiseong segera menyusul di belakangnya sambil mendorong kursi roda yang tadi Eunjae lupakan begitu saja.

Just a Little Prayer Every Morning

Kwon Eunjae bukan seorang pemuda religius. Ia hanya tahu siapa Tuhannya, itu saja. Ia bukan jenis orang yang rutin berdoa setiap pagi dan malam, atau ingat berterima kasih ketika hal baik mendatanginya.

Namun, kini berbeda. Setiap malam sebelum tidur, Kwon Eunjae akan memejamkan mata dan memohon. Agar ia masih diberi kesempatan untuk terbangun lagi esok pagi. Lalu, jika doanya dikabulkan, ia akan mengucap syukur di pagi hari.

"Terima kasih, Tuhan. Kau masih memberiku kesempatan menatap wajahnya yang tidur lelap pagi ini."

29 Maret 2021

Kwon Eunjae bisa merasakan tatapan Hwang Yiseong yang terus mengarah ke punggungnya ketika ia tengah mengambil posisi di depan cermin lebar ruang latihan. Pemuda itu sengaja memunggungi kekasihnya karena tatapan itu membuatnya merasa campur-aduk. Rasa bersalah, sedih, serta marah tengah mengaduk-aduk batinnya. Ia putus asa. Ia merasa bodoh karena telah menaruh harapan yang ia tahu sesungguhnya tidak ada.

Pagi tadi, mereka berdua kembali ke Gangnam Severance Hospital untuk mengambil hasil tes medis yang dilakukannya tanggal 25 lalu. Ide memeriksakan diri pada dokter baru yang katanya lebih mumpuni membuatnya mengiyakan tawaran itu. Ia ingin sembuh, siapa yang tidak? Apalagi setelah belakangan penyakitnya semakin terasa mengganggu, ia sungguh-sungguh ingin sembuh.

On This Special Day

 17 Desember 2020



Everybody has a birthday every year. Really.

But to celebrate it together, you and I,

This might be the only year we could.




***


Malam sebelumnya, tanggal 16, Kwon Eunjae dengan tubuh gemetar kedinginan meringkuk dalam dekap hangat Yoon Baekhwan di balik selimut. Dingin menusuk tulang yang kerap disajikan Desember makin menyulitkannya untuk jatuh dalam lelap. Selain itu, sesuatu tengah membuat Jay gelisah. Pada sosok yang telah dianggapnya sebagai kakak itulah, pemuda Kwon mengungkapkan keinginannya mencipta memori yang bisa bertahan selamanya pada hari Hwang Yiseong resmi memasuki era kedewasaan. Ia meminta saran dari yang lebih tua karena ini kali pertama Kwon Eunjae jatuh cinta. Pada akhirnya, pemuda jatuh terlelap dengan jemari Baekhwan mengusap lembut helaian keemasannya.

Kwon Eunjae's Diary

 I'M PAINTING GOOD MEMORIES

i'm doing my best. i will not complain.

so please, don't you forget me

when i'm gone.

— jay kwon



THE BUCKET LIST


to survive hatch7 or at least until the final stage ✔

to fall in love ✔

first kiss? ✔

to have s** ✔

a date at jeju island. i wish to go with him ✔

bungee jumping (clearly just impossible but who knows?) ✔

pokemon plushies for sunny ✔

to read all rick riordan's books

to die without regrets, but i wish to live as long as i could

to spend my last day with my family and yiseong

i want to see aurora borealis with yiseong

Jumat, 25 Maret 2022

Tell Me, Why Me


Gulita tak hanya menguasai langit malam. Pekatnya tengah merayap dengan kuku-kuku nan tajam menghunjam dalam-dalam pada jiwa rapuh seorang adam. Ia berjalan tertatih-tatih, seolah tenaga yang tersisa pada sepasang tungkai kurus itu tidak lagi kuat menopang tubuh ringkih terbungkus hoodie hitam tebal yang tampak kedodoran untuknya. Kepalanya tertunduk, tertutupi bayang-bayang kerudung. Apabila kau mengamati baik-baik, bulir-bulir kristal bening tiada henti berjatuhan seolah kelopak matanya merupa awan hujan.

Sang adam tak berencana untuk segera pulang menyambut ranjang serta selimut hangat kendati dingin tengah menggerayangi tubuh dengan brutal. Langkah-langkah serampangan membawanya pada sebuah ayunan usang di tengah hampar taman yang dedaunannya sibuk meranggas. Duduk di sana ia mendampratkan segenap lelah. Erang lolos bagai lolong serigala jantan mengusik sunyi dalam gelap. Adam meraung keras, menjerit sekuat tenaga, peduli setan jika ada yang mendengar. Sepuluh jari tangannya bergerak-gerak bagai kerasukan, mengacak rambut hitam bak jelaga hingga awut-awutan.

"Why me?"

Gerak sang adam lambat kala mengangkat kepala menghadap ke takhta Tuhan di balik tiang langit, mengiba jawaban demi asa yang nyaris lesap.

"Why me, God? Please tell me, why me?"

Sang adam bertanya kepada Tuhannya, apakah belum cukup hukuman atas dosa kesombongannya di masa lampau? Apakah belum cukup ia diluluhlantakkan dengan hancurnya pusat kepongahannya? Ia yang dulu merasa lebih tinggi dari siapa pun telah runtuh — rata dengan tanah.

Ia tenggelam dalam abu-abu paling gelap. Terlalu besarkah dosanya hingga Tuhan tega menyusupkan iblis terbengis yang menggerogoti sel darah sang adam saat kesempatan kedua tengah digenggam?

Namun, jawaban yang ia dapat adalah hujan yang turun teramat deras — menghantam tubuh ringkihnya tanpa ampun bak tamparan keras yang menusuk-nusuk laiknya jarum. Bulir kristal bening dari kelopak matanya meluruh lenyap.

"Why me? I didn't even know. Why do You left me all alone?"

Sayang, tak peduli berapa lama pun sang adam menunggu, hingga hujan berhenti dan gulita bergulir pergi, jawaban itu tak lantas datang untuknya.



Belum waktuNya.

Minggu, 06 Maret 2022

Seok Iye's Last Day

Ketika serangan zombie menghantam SMA Hyosan, Seok Iye sedang berada di ruangan fight club bersama dengan Kwak Seongyoul. Kawan yang sudah dikenalnya lama itu, yang bisa disebut sebagai sahabat tapi juga saingan, tiba-tiba mengajaknya ke sudut ruangan. Lagaknya sok misterius, seakan yang akan dibicarakannya adalah hal paling rahasia yang tidak boleh didengar orang lain. Kebetulan saat itu ada beberapa anggota klub juga.

"Apaan, sih? Kenapa mojok gini kayak mau pacaran aja," sembur Iye asal, yang disambut tabokan di kepala dari siapa lagi jika bukan Seongyoul.

"Udah gila lu ya?"

"Elu yang gila," ujar Iye tidak mau kalah sambil balas menampol kepala Seongyoul.

"Diem! Ssstt! Gue mau nanya sesuatu sama lu."

"Mau nanya apaan sampe mesti ngumpet-ngumpet gini?"

Seok Iye menggeleng-geleng ganteng, tapi memaklumi karena pada hakikatnya seorang Kwak Seongyoul memang suka bertingkah ajaib. Padahal kalau dilihat, wajahnya hanya sedikit di bawah Iye dalam kadar ketampanan. Memang tidak boleh menilai buku dari sampulnya saja. Namun, catat. Tidak ada orang yang boleh meledek Seongyoul selain Iye.

"Sini!" Seongyoul menarik kerah jaket olahraganya sehingga kepala mereka kini nyaris menempel. Jarak yang begitu dekat membuat Iye bisa melihat bekas cacar air di wajah kawannya itu.

"Ngapain tuh bibir dimonyongin segala?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alis.

"Mau bisikin pertanyaannya, bego. Cepet kasih kuping!"

Iye pun menurut daripada digebuk.

"Elu diem-diem pacaran sama Shi Maeyong?"

Mata Iye kontan terbelalak. Tangannya langsung menampol kepala sang kawan.

"Nanya apaan lu? Dasar gila."

Balasan langsung didapatnya dalam kurun waktu sepersekian detik. Tabokan di kepala. Akhirnya mereka berdua malah jadi saling menampol selama kira-kira lima menit dan menjadi tontonan dalam ruangan.

"Ada yang bilang lu sama Shi Maeyong diam-diam mojok berdua di atap," bisik Seongyoul sambil mendorong muka Iye dengan kedua telapak tangannya.

"Oh, yang itu."

Seok Iye tiba-tiba berhenti menampol sehingga tangan Seongyoul pun diturunkan. Mereka sekali lagi duduk seperti anak baik-baik. Kepala saling mendekat.

"Beneran lu? Pacaran sama dia?"

"Kagak! Siapa sih yang nyebarin isu gak jelas gitu!"

"Ada. Baru beberapa orang seharusnya yang tahu. Tapi gue kecewa, Ye!"

"Ngapa lu kecewa dah."

"Lu ngapa gak cerita sama gue kalo lu sama Maeyong pacaran."

"Astaga naga dragon kepalanya tiga...," kata Iye sambil mendesah dramatis. "Dibilangin gue kagak pacaran. Tapi waktu itu emang dia ngajak gue ketemuan di atap. Terus...."

Mengingat yang terjadi waktu itu membuat pipi Iye memerah malu sampai lupa melanjutkan ceritanya.

"LU BENERAN SUKA LU YA SAMA DIA?!" Seongyoul tiba-tiba menunjuk ke arahnya sambil berteriak. Iye segera membekap mulutnya.

"Bisa diem dulu nggak dengerin gue?"

Setelah memastikan Seongyoul mengangguk dan berjanji untuk diam, barulah Iye melepaskan bekapannya. Seongyoul bernapas megap-megap seperti cupang, sepertinya Iye bekapnya kekencengan saking kagetnya. Ya, salah sendiri pakai berteriak segala.

"Parah lu, Ye. Kalau gue mati dibekep sama lu gimana?"

"Ya, kali dibekep doang mati. Makanya jangan ngagetin."

"Ya, udah. Buruan cerita. Jangan sepotong-sepotong kan nanggung."

Iye menyenggolkan bahunya ke bahu sang kawan.

"Eh, sebelumnya gue mau nanya dulu," ujar Seok Iye sambil menatap serius pada Seongyoul.

"Apa tuh?"

"Menurut lu si Shi Maeyong ada kemungkinan... hmm... naksir sama gue?"

Boleh tidak memutus tali persahabatan? Biar Seok Iye dan Kwak Seongyoul hanya jadi saingan saja, atau lebih baik lagi musuhan selamanya. Tidak usah saling bicara lagi kalau bisa. Lihat saja reaksi si monyet satu itu! Iye bertanya serius, Seongyoul malah terbahak-bahak sampai kelepasan buang gas.

"Anjir bau banget lu. Perut lu isinya sampah?!"

Tidak merasa terhina, Seongyoul masih ngakak sambil memukuli pahanya sendiri.

"Lu... astaga, Iye." Ketawa lagi dia. "Kok bisa sampai mikir Shi Maeyong naksir lu?"

"Yah... gue kan ganteng," katanya sambil melirik ke cermin dan memandangi wajahnya yang memang tidak jelek sama sekali. "Cewek bukannya suka yang ganteng kayak gue?"

"Pasti ada sesuatu yang terjadi pas lu berduaan di atap sama dia!" Tahu-tahu Seongyoul melingkarkan tangan di bahu Iye. "Hayo kalian ngapain? Ngaku!"

"Bisa nggak biasa aja reaksi lu?"

Muka Iye menunjukkan ekspresi kesal tapi pipinya makin merah.

"Kalau lu nggak serius, gue nggak lanjutin cerita gue," ambek Iye.

"Yawlaaa... maap, maap," kata Seongyoul cepat sambil mengusap-usap pundak Iye yang segera ditepis jijik oleh Iye kita yang tampan itu. Seongyoul pun segera memasang ekspresi serius, menaruh jempol dan telunjuk di dagu untuk berpikir. "Yah, emang meskipun berat banget buat ngomong ini... lu tuh gantengnya di atas rata-rata." Seongyoul tersenyum sambil mengedipkan mata. "Tapi gue nggak yakin Shi Maeyong naksir sama lu."

"Kok gitu?"

"Soalnya muka lu kalau diliat lama-lama ngeselin, Ye."

"Lu...!" Iye mengangkat tinjunya geram lalu menggoncangkan sang kawan sambil ngedumel. "Udah ah nggak usah gue ceritain. Lagian emang nggak ada apa-apa."

Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar jeritan keras dari luar ruangan, disusul derap langkah puluhan pasang kaki memenuhi koridor di depan ruang klub mereka. Seok Iye segera berdiri, memasang ekspresi waspada. Ada yang tidak beres. Benar-benar tidak beres.

Seok Iye tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya saat ini. Namun, ia tahu bahwa setelah ini segalanya tidak akan pernah sama lagi. Hidupnya... tidak akan pernah sama lagi.

Ia yakin Seongyoul pun merasakan yang sama, begitu pun dengan beberapa anggota klub yang ada dalam ruangan ini. Suasana mencekam membuat mereka tidak berani berkata-kata. Mereka hanya saling menatap dengan horor menguasai wajah mereka yang kini sepucat kertas. Semua berkumpul saling mendekat, sementara Iye memberanikan diri untuk menghampiri pintu ruang klub dan mengintip pada jendela kaca kecil yang dipasang di bagian atas pintu.

Sepasang mata terbelalak bersamaan dengan kedua kaki spontan melompat ke belakang ketika sepasang mata nanar membalas tatapnya di balik pintu. Mata itu milik manusia, tapi bukan lagi... manusia. Ada suara geram mengerikan yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Tangannya gemetar ketika ia cepat-cepat memutar kunci pintu dan menahan dobrakan paksa dari luar dengan tubuhnya.

"Seongyoul-ah! Cepat kalian semua kabur dari jendela!"

Iye memaklumi ketika para perempuan menjerit-jerit panik dan cepat-cepat menuju ke jendela yang letaknya cukup tinggi. Beberapa yang lelaki pun ikut ke sana untuk membantu yang perempuan memanjat naik.

Seongyoul, dan beberapa anggota lelaki lain bertindak dengan menggeser meja-meja ke pintu untuk menahan dorongan dari luar yang semakin kuat. Entah tenaga dari mana, makhluk-makhluk di luar sana bisa membuat pintu besi penyok hingga membentuk tonjolan-tonjolan ke dalam. Kaca pada bagian tengah pintu yang tadi Iye gunakan untuk mengintip ke luar sudah dipecahkan dan kini ada tangan yang meraih-raih ke dalam disertai raungan mengerikan.

"Minggir! Kau tidak bisa menahan pintunya sendirian, bodoh!" seru Seongyoul.

Mereka pun segera menumpuki meja untuk menahan pintu. Beberapa anak lain sedang berusaha menggeser lemari, benda terberat dalam ruangan untuk menambah beban penahan.

"Seongyoul, kau bantu mereka!" serunya sambil berusaha mendorong meja-meja ke pintu.

Hantaman dari luar tidak kunjung berhenti. Meja-meja yang tersusun pun tampak tidak terlalu berguna. Iye berkali-kali terdorong ke belakang.

Tidak butuh mencoba, dengan melihat saja Iye sudah bisa mengira-ngira berat lemari yang sedang berusaha didorong oleh kawan-kawannya. Lima orang masih kewalahan, dan Iye merasa kepayahan menahan dobrakan tak kunjung henti. Bukan itu saja, ia merasa dorongannya semakin kuat. Barangkali sudah lebih dari satu makhluk yang menurutnya adalah zombie itu yang berusaha masuk ke dalam ruangan.

Beberapa anggota klub perempuan sudah berhasil kabur dari jendela, dan ketika melihat upaya mendorong lemari itu sia-sia, Iye pun mengambil keputusan.

"Pergi. Cepat, kalian pergi saja. Kabur sebelum pintu ini berhasil didobrak!"

Lima pasang mata menatapnya ragu.

Empat dari mereka pun menurut ketika melihat tidak ada cara lain untuk menyelamatkan diri. Sementara Seongyoul malah membantunya menahan pintu.

"Gue nggak akan ninggalin lu," ujar kawannya itu. Lalu sambil menyengir, Seongyoul berkata, "Enak saja lu mau jadi jagoan sendirian."

"Di saat seperti ini nggak ada gunanya bersaing, Youl-ah!"

Keringat mengucur deras dari pelipis Seok Iye. Beberapa meja yang mereka tumpuk mulai berjatuhan akibat goncangan dari dobrakan di luar. Posisi mereka semakin payah, jelas kalah tenaga. Tiga anak yang menunggu giliran memanjat jendela berhenti bergerak, tampak ragu apakah sebaiknya membantu Iye dan Seongyoul atau pergi mumpung ada kesempatan.

Saat itulah tiba-tiba semua berubah kacau. Pintu berhasil dibuka, dan para zombie menyerbu masuk memanjati meja-meja yang menghalangi. Iye segera berbalik dan melihat bahwa pintu ruangan dicabut paksa dari luar dan kini terbuka bebas. Dalam sekerjap mata, beberapa zombie menggapai mereka yang sedang berusaha memanjat keluar, menarik kaki mereka yang menendang-nendang.

Seongyoul dengan sigap bersembunyi di bawah meja.

Iye bergerak refleks menarik zombie di hadapannya, hingga pegangan pada seorang rekan klubnya terlepas dan anak itu berhasil keluar dengan selamat.


Sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?


Iye pikir, wabah zombie hanya ada dalam cerita-cerita fiksi. Hanya ada di layar kaca dan merupakan fantasi seseorang. Namun, siapa yang bisa menjelaskan makhluk apa yang sekarang sedang ia pukuli dengan tinjunya? Makhluk yang tampaknya tidak merasakan sakit sekeras apa pun Iye menghantamnya. Mereka mundur sebentar lalu kembali maju dengan lebih beringas.

Sesekali, Iye menoleh ke jendela, memastikan teman-teman klubnya sudah berhasil keluar. Walau ia tidak tahu apakah sungguh aman di luar sana. Namun, kesempatan untuk bertahan hidup jauh lebih besar daripada diam di sini.

Lalu, ia teringat pada Seongyoul yang masih bersembunyi di bawah meja.

"Seongyoul! Cepat keluar dari jendela! Aku akan menahan mereka lalu menyusulmu!"

"Nggak mau!"

Alih-alih menurut, Seongyoul malah keluar dari bawah meja dan ikut menghajar salah satu zombie. Melihat itu, Iye mau tak mau harus memikirkan strategi.

"Pukul mereka sampai keluar pintu," katanya ketika menyadari tidak ada lagi zombie lain yang akan masuk. Ada empat di dalam sini, dan mereka berdua tidak akan bertahan lama jika tidak berpikir. Walau Iye juga tahu, mereka sebenarnya tidak punya harapan lagi. Namun, lebih baik berjuang untuk kesia-siaan daripada diam saja dan menyerah.


Ya, kan?


"Kita jebak saja mereka," usul Seongyoul tiba-tiba. "Kita pojokin mereka pakai meja? Atau kurung dalam lemari?"

Seok Iye menimbang sejenak sambil terus meninju dan menendang, lalu menggeleng. "Percuma, tenaga mereka terlalu kuat. Paling hanya bertahan sebentar."

"Kita cuma butuh sebentar itu buat kabur," tambah Seongyoul keras kepala.

Iye mengangguk. Tidak ada cara lain yang bisa dipikirkannya. Usul Seongyoul bisa jadi kesempatan untuk mereka, jika semua berjalan lancar. Iye pun segera mendorong zombie-zombie di depannya dengan keras hingga mereka terjungkal dan menumpuk di satu sudut. Seongyoul melakukan yang sama. Kemudian dengan secepat mungkin, mereka berdua mendorong meja-meja untuk mengurung mereka pada sudut tersebut.

Namun, agaknya nasib tidak berpihak pada mereka berdua. Secepat-cepatnya mereka bergerak, mereka tidak bisa mengalahkan kekuatan yang dimiliki zombie-zombie itu. Terlebih mereka pun kurang jumlah. Tahu-tahu saja mereka sudah melompati penghalang, salah satunya menerjang ke arah Seongyoul. Melihat itu, Seok Iye refleks meninggalkan apa pun yang sedang dipegangnya, dan berlari melindungi Seongyoul.

Gigitan zombie pun tertancap di tengkuk lehernya, sementara Seongyoul terdorong jauh dari mereka.

"CEPAT LARI SELAGI SEMPAT!" jeritnya seraya berusaha menahan zombie lainnya mengarah kepada sahabatnya.

Iye tidak lagi bisa melihat Seongyoul. Zombie-zombie itu mengeroyoknya. Ia terbanting ke lantai, pasrah diterkam oleh gigi-gigi yang mulai mengoyaknya, menarik jiwanya perlahan-lahan dalam sakit yang tak terperi.


THE END.

Jumat, 14 Januari 2022

Dimples

 This is ridiculous.

Yiseong thinks to himself. He doesn't like the way his heart is behaving right now. Also, how his eyes can't stop staring, because he just saw Kwon Eunjae in front of him. Standing, by himself, right on the edge of The Great Lake.

This is ridiculous, but maybe this is his only chance. Eunjae is alone, he's only surrounded by the breeze and peaceful chirps or passing-by birds and whatnot—no one else on sight; not his Prefect partners, his study group members, nor a bunch of jocks-wanna-be first graders who trail him around like some detachable mini shadows.

Maybe, just maybe, he can grow a pair and try to talk to him this time.

So Yiseong gathers his courage and makes a step forward. Or maybe two. Now two becomes five and Yiseong is a little bit panicking because he suddenly forgets how to stop his feet from moving, and this is bad /bad/ because he never felt any slightest kind of panicky feeling before.

Before he regains his composure, the Gryffindor Prefect turns his head toward him. His shuffled heels must have made some noises on the dewy grass—but there is no going back now.


"Oh," Yiseong mutters, unable to school his face back to his nonchalant expression. "I—"

"Yiseong Hwang?"

He totaly did not expect the tall guy to know his name like that, but the immediate silence is deafening.


"Right?" A smile followed, a kind of curve that will be etched in his mind for 2 weeks long—because Yiseong can see his dimples now and he thinks that looks nice and he wants to see it everyday now.


-------------

Beautiful drabble about Hwang Yiseong and Kwon Eunjae written by Inazhni Risti.