Halaman

Minggu, 09 Desember 2012

Draqou


Cerpen ini diikutsertakan pada lomba Cerbul Kastil Fantasi bulan November di Goodreads.
***

Jalanan yang dilewatinya gelap dan becek, bau tengik sampah yang menumpuk di sudut jalan membuatnya menahan napas dan berjalan lebih cepat. Segera saja sepatu bot dan ujung-ujung celana panjang yang dipakainya kotor oleh cipratan tanah basah yang menempel. Jaket hitam panjang bertudung yang menutupi kepala dan bagian atas tubuhnya basah oleh gerimis yang masih turun perlahan di kota tua itu. Di kanan kiri jalan tampak para tunawisma yang berteduh dengan berlapis-lapis koran sebagai alas duduk. Seorang ibu memeluk tiga orang anaknya yang menangis kedinginan serta didera kelaparan. Seorang kakek tua berbaring tak peduli di atas karton yang dilebarkan, di sisinya seorang nenek tua sibuk berdoa rosario. Berlusin-lusin anak kecil bergerombol di bawah lindungan atap yang menonjol keluar, beberapa terlihat tertawa mengerjai anak-anak yang lebih lemah—menyirami mereka dengan menendangi genangan air. Suara tawa dan jerit mereka menutupi suara langkah sepatunya yang berkecipak saat ia melompat ke atas tumpukan peti kayu lalu ke jendela sebuah bangunan tua yang terbengkalai.

Kamis, 01 November 2012

Abiel

Cerita ini diikutsertakan dalam Lomba Cerbul KasFan bulan Oktober di Grup Kastil Fantasi - Goodreads.
-------------------------------------------------------------------------------------------------


Ada banyak kisah cinta yang diceritakan berulang-ulang dengan berbagai versi, juga berbagai akhir. Ada kisah yang berakhir bahagia, ada pula yang berakhir pedih bahkan tragis. Seperti kisah Duyung Ragil yang cintanya pada seorang manusia berakhir pada kematian setelah mengorbankan suara dan mengalami penyiksaan tiap kali menjejakkan kakinya di daratan. Kisah-kisah itu dianggap sebagai kisah cinta yang tak lekang oleh waktu, kisah cinta yang layak untuk diingat sepanjang masa.

Kisah cinta Ragil adalah aib untukku, kisah cinta yang mengumbarkan kebodohan karena jatuh cinta pada predator yang memburu warga lautan tanpa belas kasihan. Mereka bahkan mengotori lautan kami dengan bahan kimia yang meracuni banyak ikan-ikan dan membuat kami seringkali terjangkit penyakit kulit mengerikan yang sulit untuk disembuhkan.

Untung saja di Amalfi, manusia-manusianya tidak suka merusak. Lautan kami jernih dan airnya menyegarkan. Pada bulan Februari dan Oktober, di sepanjang pantai dan pada dataran yang bertingkat akan dipenuhi pohon-pohon berbuah kuning. Para manusia suka bermain di laut, meluncur di atas air dengan papan panjang dengan ujung-ujung meruncing, sekedar berenang di tepian atau membuat replika istana dari pasir pantai. Tak jarang juga ada manusia yang tenggelam karena terbawa ombak, dan tugas kamilah untuk mengirim mereka kembali ke tepian jika hal itu terjadi—tanpa sepengetahuan mereka.

Senin, 03 September 2012

Pocong Merah vs Pocong Putih: Episode Berebut Kuburan

Cerita ini diikutsertakan pada “Lomba Cerita Bulanan Kastil Fantasi – Edisi Agustus 2012”

-------------------------------------------------------------------------

"LONGSOOOOR!!"

Jeritan bersahut-sahutan di taman makam Poci-Poci yang letaknya agak tersembunyi di Desa Pokori. Desa Pokori adalah sebuah desa kecil yang angker dan sepi. Penduduknya tidak sampai seribu jiwa. Pelancong pun nyaris tidak pernah ada. Hanya kadang-kadang tim dari rumah produksi datang untuk syuting film horor di Poci-Poci.

Oh, ya... jangan salah, teriakan bersahut-sahutan tadi asalnya dari para penghuni taman makam yang sudah mati dan hobi gentayangan malam-malam. Jadi takkan ada manusia hidup yang mendengarnya kecuali manusia itu punya kelebihan untuk menguping percakapan dunia orang mati.

Sebenarnya tidak ada jaminan juga, sih. Buktinya Desa Pokori dicap angker, kan? Malah kadang-kadang, ada pelayat yang tak sengaja melihat penghuni Poci-Poci lalu lari tunggang-langgang. Dan kalau bicara soal penghuni, Poci-Poci punya beragam. Mulai dari pocong, suster ngesot, kuntilanak, hantu janda beranak tiga, tuyul, siluman kelelawar sampai peri-peri kurang kerjaan... ADA.

Puput si pocong putih mengintip dari sobekan di bagian depan kain pembungkusnya, mencari tahu siapa korban longsor kali ini.

Belakangan, cuaca di Desa Pokori sangat buruk, terlalu sering hujan sehingga tanah di Poci-Poci jadi lembab dan lembek. Sudah ada tiga kuburan yang terkena longsor di Poci-Poci sehingga beberapa penghuninya terpaksa harus mengungsi ke kuburan tetangga yang berbaik hati memberikan tumpangan sampai penjaga kuburan menyingkirkan tanah yang menimbun kuburan si korban.

Sedih memang. Sudah mati masih saja terkena bencana. Tapi di Poci-Poci, apa pun bisa terjadi.

Minggu, 29 Juli 2012

The Maze of Sins


Disclaimer:
  • The amazing plot : Hunger Games by Suzanne Collins.
  • IndoCapitol, para admin dan staffnya, juga para member. Tanpa adanya kalian, FF ini mustahil ada.
  • Mariel Soehner, Zdenek Zaboj, Allison Harvard sebagai visualisasi dari Hellen, Zephaniah dan Zinnia Lore/Hannah Lore.
***




Hellen Lore; Mother of Zinnia and Zephaniah Lore

***

Begitu aku tersentak kembali pada kesadaran...
Aku t'lah terbenam di dalam lumpur hisap
bernama DOSA....
Terlalu dalam hingga aku tak lagi
memiliki kesempatan untuk
keluar dari sana....

***

"Hanna Bell!"

Aku masih ingat dengan jelas rentetan kejadian ketika nama adikku dipanggil sebagai peserta perempuan dari distrik satu untuk Hunger Games  ke-32. Namanya terdengar menggema dari pengeras suara di sekeliling panggung pada hari pemungutan, bercampur dengan suara desah napas lega tertahan dari para penduduk perempuan distrik satu yang lain. Aku menahan napasku saat itu, menunggu apakah akan ada seseorang yang mencalonkan diri untuk menggantikan posisi Hanna. Biasanya, penduduk distrik satu berlomba-lomba untuk mengajukan diri, tapi tidak saat itu. Tak ada seorang pun yang mengangkat tangannya. Tak ada seorang pun yang mengatakan bersukarela menggantikan Hanna.

Tidak juga aku.

Minggu, 08 Juli 2012

The Day I Fall in Love


Pernah dengar pepatah yang mengatakan bahwa cinta selalu datang tiba-tiba?


Malam itu, sama sekali tak terpikir dalam benak Zinnia Lore kalau ia akan mengenal cinta untuk pertama kalinya. Ia yang tengah memfokuskan pikirannya pada Hunger Games yang akan segera datang, dipertemukan dengan seseorang yang tak pernah ada dalam ingatnya. Seharusnya, ia hanya memikirkan bagaimana cara untuk tetap selamat, bagaimana supaya ia bisa pulang ke rumah, kembali pada Zephaniah. Atau, seharusnya ia berpikir bagaimana ia bisa menunjukkan pada Panem bahwa Capitol telah menghancurkan hidup banyak orang dengan acara tahunan yang memaksa para peserta untuk saling membunuh dengan barbarik. Ia harusnya memikirkan itu semua.


Seharusnya....


Sampai sosok itu datang, ketika ia tengah menjajal cara untuk menyamar dengan lumpur buatan yang disediakan Capitol di tempat latihan. Satu kekehan singkat menarik perhatiannya malam itu, membuatnya menoleh dan menatap sosok yang seharusnya tak pernah ia pandang. Dengan wajah belepotan lumpur coklat, ia bertanya pada sosok itu... mengapa memandanginya? Dan sosok itu berkata ia terlihat aneh dan bodoh karena lumpur tersebut.

Ia tak tersinggung. Ia justru tertawa dalam hati karena perkataan sosok bernama Arch Halmington itu. Dan untuk pertama kalinya ia merasa terganggu jika orang melihatnya dalam keadaan berantakan, hingga ia buru-buru membersihkan wajah dan seluruh tubuhnya. 


Aneh....

Ia tak paham kenapa ia begitu peduli akan pendapat Arch Halmington tentang dirinya.


Ia mendapati dirinya kemudian mendekati si pemuda. Memerhatikan apa yang tengah dilakukannya dengan cairan oranye di lantai. Arch Halmington membuat sebuah gambar berbentuk bulat dengan duri-duri runcing di sisi-sisinya. Di mata gadis Lore itu, gambar yang dibuat Arch Halmington adalah matahari. Matahari yang bersinar terik di langit. Satu-satunya benda langit yang tiap petang berhasil memberikan semburat warna favoritnya di antara sapuan warna biru.

Zinnia dan Arch Halmington bahkan tak banyak bertukar kalimat malam itu. Namun, ia merasakan suatu pesona yang menarik dari si pemuda yang detik itu juga ia juluki sebagai 'Matahari' dalam hatinya.


Matahari yang membuatnya tak ingin beranjak pergi.

Matahari yang telah menjeratnya... tanpa ia sadari.


Cinta memang selalu datang tiba-tiba...
tapi... mengapa harus sekarang?

Minggu, 10 Juni 2012

Everyone Has Their Own Reason - Chapter Two

"Daddy...."

Gadis kecil itu tak peduli pada darah yang kini memenuhi seluruh lantai gazebo. Ia meraung, memeluk tubuh ayahnya yang sudah tak bernyawa. Tubuhnya berguncang-guncang akibat tangisnya. Kunai itu masih menancap di dada Levin Lore. Ia tak berani menyentuhnya.

"Daddy, why...?"

Suara jeritan kembali membahana. Tapi, bukan gadis kecil itu yang menjerit. Seorang wanita berambut pirang seperti Zinnia keluar dari pintu belakang rumah, diikuti seorang bocah laki-laki kecil yang mengintip dari ambang pintu. Wanita itu adalah ibunya—Helen Lore. Gadis kecil itu berdiri, berlari menghampiri ibunya, berniat untuk memeluk dan menangis meluapkan keterkejutan yang baru saja dialaminya. Darah Levin mengotori wajahnya, rambutnya, tangannya, kakinya juga pakaiannya. Lisbeth tidak menatapnya, wanita itu terus berlari menaiki jembatan menuju gazebo dan jatuh berlutut di samping tubuh tak bernyawa suaminya.

"Mommy...," gadis kecil itu berjalan mendekat. "Daddy... dia..."

"Pembunuh!" jerit Helen, dengan gerakan cepat didorongnya Zinnia menjauh. Gadis kecil itu terjengkang jatuh membentur dinding rendah gazebo. "Kau pembunuh! Monster!"

"No, Mommy... I..."

"PEMBUNUH!"

"Daddy... yang menarik tanganku," ucapnya mengungkap fakta. "Daddy yang—"

"DIAM! Kau pikir aku akan percaya?!" bentak Helen.

Dengan cepat orang-orang yang mendengar keributan itu mulai berdatangan. Pertama-tama, Maria yang selama ini bekerja mengurus dirinya dan Zephaniah—adiknya. Wanita Asia itu menggendong Zephaniah dan membawa bocah laki-laki itu ke kamarnya sebelum meminta pertolongan. Lalu, orang-orang dewasa yang tak dikenal Zinnia muncul dan membawa ayahnya pergi. Helen ikut pergi sementara ia ditinggalkan sendirian di gazebo penuh darah itu.

Tatapannya kosong. Air mata telah berhenti mengalir. Ia memandangi darah Levin yang perlahan mulai mengering.

"Capitol...," gumamnya. "Capitol yang bunuh Daddy...."

Jumat, 25 Mei 2012

Everyone Has Their Own Reason - Chapter One


Disclaimer:
- Suzanne Collins untuk kisah The Hunger Games-nya yang luar biasa.
- IndoCapitol yang telah menampung Zinnia beserta keluarganya.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Kau baik-baik saja, Daddy?”

Kedua safirnya memandangi seorang pria yang adalah ayah kandungnya dengan cemas. Usianya sebelas tahun saat itu. Tahun terakhirnya untuk merasa lega karena hari pemungutan tidak akan mengusiknya. Namun juga berarti pelatihan yang dijalaninya menjadi semakin intensif dan semakin melelahkan; terutama pelatihan yang diberikan Levin Lore—sang ayah—padanya. Gadis kecil itu berlari menghampiri sang ayah, berlutut di sampingnya. Levin Lore terbatuk-batuk sambil menutup mulutnya dengan tangan. Tak lama, darah mengucur dari sela jari-jari pria itu, menetes-netes ke atas rumput hijau yang tumbuh lebat di halaman belakang rumah mereka.

“Daddy! Kau kenapa?!” jerit Zinnia ketakutan. Tangan kecilnya refleks mengulurkan tangan untuk menadahkan darah yang mengucur dari mulut ayahnya. “Daddy....”

Kamis, 19 April 2012

Love Triangle?


Bukankah pada akhirnya segala kesalahpahaman ini harus diakhiri?
Sekalipun sesungguhnya,
jauh di lubuk hati ini aku menikmatinya...


"Memangnya tak ada gadis lain yang bisa diperebutkan selain Non?!"

Sarkas. Kalimat yang lazim didengar jika kau berbicara pada William Wordsmith. Agak menyesal juga Helena terpaksa menceritakan semuanya tentang Albert Collier dan Zane Witherington pada pemuda Wordsmith tersebut. Meski usianya baru enam belas, mungkin sebentar lagi tujuh belas, William adalah seorang pemuda yang menurut Helena cukup blak-blakan. Bicara apa adanya walau kadang tidak pakai disaring lebih dulu agar tidak menyakiti hati lawan bicaranya. Helena tanpa sadar mengerucutkan bibirnya menanggapi ucapan William. Memangnya tak ada gadis lain, kata pemuda itu. Sekalipun Helena dengan sadar tahu bahwa jatuh cinta kepada dirinya yang adalah hantu merupakan sebuah kesia-siaan tetap saja dirinya adalah seorang hawa yang lebih sensitif soal urusan perasaan daripada para adam.

Ucapan William tetap melukainya. Ditambah lagi dengan rentetan penjelasan bahwa hantu seperti Helena tidak bisa disentuh dan lain sebagainya. Apakah William pikir, Helena tidak tahu soal itu?

Minggu, 15 April 2012

Wish You Were Here



Sedikit pun tak pernah terbersit di hatiku untuk meragukan perkataanmu. Hari itu, aku sengaja datang lebih cepat ke tempat perjanjian kita. Sengaja kubawa makan siangku dalam kotak bekal yang disiapkan Grey. Sebenarnya, aku bahkan membawa kotak bekal lain yang kusiapkan untukmu. Berharap kau juga datang lebih cepat sepertiku. Serangga-serangga kesayanganmu tak lupa kubawa serta. Merasa puas setelah bermain-main dengan mereka semalaman. Tak jua hentinya hatiku bertanya-tanya, ada apa gerangan hingga kau pada akhirnya memberiku ijin untuk memegang mereka, bahkan membawanya pulang satu malam.

Sabtu, 14 April 2012

Selalu di Hatiku



“Yuki-chan, Naoto meninggal semalam.”

Pagi itu aku dibangunkan oleh bunyi dering telepon genggamku yang ketika kuangkat memberikan berita paling buruk yang pernah kuterima. Berita yang takkan pernah bisa kuterima dengan lapang dada—yang bahkan membuatku marah dan berharap berita itu hanya tipuan belaka. Kekasihku, Naoto Matsushima, telah meninggal semalam karena sebuah kecelakaan di rumahnya. Dia dan kakak sepupunya, Yuuji Natsume, tengah mengangkat lemari besar untuk dipindahkan ke lantai dua dan entah bagaimana kaki Yuuji tersangkut anak tangga dan mereka berdua terjatuh. Naoto yang berada di posisi bagian bawah—posisi yang tidak menguntungkan—tertimpa lemari itu dan kepalanya terbentur keras di lantai. Lehernya patah dan dia meninggal saat itu juga di tempat. Demikian yang diceritakan Yuuji sambil menangis di telepon.

“Maafkan aku. Jika saja aku tidak ceroboh dan tersandung, kejadiannya takkan seperti ini. Maaf!”

Minggu, 08 April 2012

Katya dan Medali Ajaib

[HOLIDAY WRITING CHALLENGE] Pindahkan Genrenya!
by Gagas Media.
Novel: Eclair, Penulis: Prisca Primasari, Halaman: 204-205

###


Katya mengusap permukaan medali perak bermata safir itu dengan takjub. Pada akhirnya medali itu ada di tangannya. Pencarian yang dilakukannya bersama Sergei selama berbulan-bulan pun selesai sudah. Tak perlu lagi mereka menyusuri hutan, mendaki gunung-gunung tinggi juga menahan dahaga di tengah gurun antah berantah. Peri bunga violet yang menemuinya saat ia tersesat di hutan Jivell tidak berkata bohong. Medali perak Ratu Tatiana sungguh ada di gua Vella, gua dalam legenda, medali itu tersembunyi di tempat yang hanya bisa ditemukan oleh orang yang memiliki ketulusan hati. Katya tersenyum, diserahkannya medali itu kepada Sergei dengan mata berkaca-kaca. Gurat lelah kini seolah hilang dari raut wajah Katya.

Kamis, 05 April 2012

Rindumu Membawaku Kembali



Jakarta, 13 Januari 2012

Hari ini ulang tahunnya yang ke-17. Sweet seventeen, begitu semua orang menyebutnya. Biasanya, pesta megah akan diadakan untuk merayakan kedewasaan para gadis di usia tersebut. Mengenakan gaun cantik, menjadi pusat perhatian teman-teman, mendapatkan tumpukan hadiah beraneka rupa, tertawa bersama teman-teman karena permainan yang diusulkan pembawa acara dan menikmati nyanyian kelompok musik yang diundang, semua itu takkan pernah dirasakan gadis berparas Korea tersebut.

Park Shin Bi tak berminat mengadakan pesta ataupun sekedar merayakan ulang tahunnya kecil-kecilan.