Halaman

Jumat, 05 November 2010

Hand of Sorrow


“…”

Degup keras jantungnya adalah hal pertama yang terdengar setelah membaca paragraf pertama dari surat yang baru saja ia terima dari seekor burung hantu coklat yang ia tahu adalah milik Marquis—ayahnya. Tertulis di sana pemberitahuan bahwa Mandy—ibunya—sakit parah dan kepulangan Benaya sangat diharapkan. Lokasi karavan mereka pun tercantum di akhir surat tersebut. Anak laki-laki itu duduk terpuruk di atas tempat tidurnya di kamar asrama Ravenclaw sambil meremas kuat-kuat lembaran perkamen di tangannya dengan kepala tertunduk. Berita ini sungguh bukan berita yang ingin didengarnya apalagi berita yang harus menjadi alasannya untuk kembali ke karavan Marquis—ke neraka. Tempat yang dihindarinya namun sekaligus dirindukannya karena ada Mandy di sana.

“Ben? Kau kenapa?” Deniska, sahabat Benaya, duduk di sampingnya dan menepuk pelan bahunya. Khawatir melihat keadaan sahabatnya yang tidak biasanya begitu muram. Benaya tetap diam, hanya menyodorkan perkamen yang telah diremasnya pada Deniska lalu merobohkan diri berbaring di atas tempat tidur. Anak laki-laki itu bergerak menghadap ke dinding, membelakangi Deniska. Tak ingin sahabatnya melihat seperti apa wajahnya sekarang. Deniska hanya menepuk pelan punggung Benaya begitu selesai membaca surat yang ditulis di atas perkamen kumal itu. Mengembalikannya pada Benaya lalu beranjak pergi mengajak anak-anak lain yang sekamar dengan mereka. Benaya butuh waktu menyendiri.

Thanks, Den,” gumam Benaya pelan setelah suara pintu kamar asrama yang tertutup terdengar.

***

Jumat, 08 Oktober 2010

Teletubbies a la The Four Idiots


Disclaimer:
- Teletubbies yang dipinjam kisah dan tokohnya
- IndoHogwarts yang sudah dijadikan tempat menggila
- Para pemeran :
  • Tinky Winky : Oswald Ashenford
  • Dipsy : Deniska Mikhailov
  • Laa-laa : Joshua Kinnsky
  • Po : Benaya Elsveta
  • Matahari : Lolly Popilly


Pagi hari telah tiba. Bunga-bunga dan pepohonan bergoyang-goyang dibangunkan oleh angin yang berhembus lembut, sepoi-sepoi dan bikin adem. Matahari kemudian mulai memunculkan sosoknya dari balik gunung sambil tersenyum riang dan cekikikan, "Ihihihi... Ihihihi... Ihihihi... Ihihihi..." Matahari berwajah imut-imut dengan make-up menor memancarkan cahayanya menghangatkan dunia. Nama matahari itu Sunlolly. Kata siapa matahari tidak boleh punya nama? Matahari tahun 90'an itu gaul, lho. Tahu artinya gaul, kan? Artinya tidak kuper, tidak ketinggalan jaman.. up to date. "Ihihihi..."

Mari kita pindah ke halaman rumah para bocah-bocah Teletubbies yang lucu. Halaman hijau dengan bunga-bunga aneka warna itu adalah tempat bermain favorit mereka. Sebutlah nama mereka : Oswinky, Denipsy, Joshlaa dan Benpo. Nah, selamat menikmati petualangan mereka!!

Di atas bukit nan jauh, Teletubbies bermain-main. Dari lubang di halaman yang perlahan membuka satu demi satu Teletubbies melompat keluar sambil melambai-lambaikan tangan.

"Ya!" ujar Oswinky menggoyang-goyangkan pinggul sambil tersenyum lebar. Tas tangan kesayangannya tersampir di lekukan siku dengan manis.

"Halooo!" Denipsy menyusul. Topi besar dengan corak sapi bertengger di kepala. Topi yang selalu membuat Denipsy lebih percaya diri. Tak mau kalah, Denipsy melambaikan tangannya lebih kencang dari Oswinky.

"Hyaaa!" Sebuah suara mungil dengan tubuh merah yang sama mungilnya. Benpo melompat keluar sambil bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Ketiga Teletubbies kebingungan. Kemana Joshlaa? Kenapa bisa keduluan Benpo? Ketiganya bersama-sama mengintip ke dalam lubang.

"Joshlaa lompat... lompat... lompat," panggil ketiganya bersamaan. Joshlaa pun kemudian melompat sangat tinggi dan mendarat dengan malu-malu. Kedua tangan menutupi mulutnya dan ia tertawa kecil sementara ketiga temannya mengerumuni.

"Joshlaa telat lompat," kata Oswinky lalu ditiru oleh Denipsy dan Benpo bersahutan.

"Hehehe... maaf," jawab Joshlaa memiringkan kepalanya. "Joshlaa ketiduran."

INILAH TELETUBBIES... INILAH TELETUBBIES... INILAH TELETUBBIES... INILAH TELETUBBIES...

Keempatnya kemudian tertawa bersama-sama dan mulai berlari-lari saling mengejar satu dengan yang lain. Oswinky menuruni bukit di sisi kanan diikuti Joshlaa, Denipsy menuruni bukit dari sisi kiri bersama dengan Benpo. Tawa riang dan ceria membahana di bukit Teletubbies. Mereka sibuk berlari-larian ke sana ke mari hingga kelelahan. Lalu tiba-tiba Oswinky jatuh terguling-guling ke bawah karena tersandung kerikil.

"Aaaa... tolong... tolong..." jeritnya ketakutan.

Denipsy, Joshlaa dan Benpo berdiri diam berdampingan. Ketiganya menatap ngeri melihat Oswinky yang terus terguling ke bawah. Denipsy menatap Joshlaa dan Benpo bergantian. Mereka tidak tahu harus berbuat apa.

"Kami harus bagaimana? Bagaimana? Bagaimana menolong Oswinky?"

Joshlaa memiringkan kepalanya mencari akal lalu bertanya, "Kejar?"

Denipsy mengangguk, "KEJAR!"

Benpo mengulangi, "Kejar! Kejar!"

Ketiganya mulai berlari mengejar Oswinky yang terus terguling. Berlari, berlari terus berlari sambil memanggil nama Oswinky. Oswinky yang terguling masih berteriak sampai akhirnya tubuhnya berhenti sendiri di atas lahan datar.

"Aah... sudah berhenti," ujar Benpo lega.

"Sudah berhenti," sahut Denipsy.

"Iya, sudah berhenti," ulang Joshlaa.

Mereka semua lega karena Oswinky baik-baik saja, "Sudah berhenti. Hahaha."

Benpo bertepuk tangan riang, Denipsy memegangi topinya dan Joshlaa mengayun-ayun badan ke kiri dan ke kanan. Oswinky berdiri pelan-pelan lalu memandangi tangannya. Oswinky terkesiap.

"Tas tanganku hilang!" serunya sedih.

"Tas tangan Oswinky hilang?" tanya Joshlaa ikut sedih.

Oswinky mengangguk, "Hilang. Tasku hilang."

"Tas tangan Oswinky hilang..." gumam Benpo menundukkan kepala.

"Tas tangan Oswinky hilang..." Denipsy mengulangi dengan nada yang tak kalah pedihnya.

"Oswinky sedih..." kata Oswinky lagi.

"Benpo juga... sedih."

"Denipsy juga... sedih."

"Joshlaa juga... sedih."

Ohh... keempat bayi manis bersedih karena Oswinky kehilangan tas tangan kesayangannya. Oswinky menangis pilu. Tas tangan itu adalah tas kebanggaannya. Tas yang selalu dibawanya kemana-mana dan sekarang menghilang.

"Jangan sedih," ujar Denipsy tiba-tiba, "Kita cari tas tangan Oswinky!"

"Cari tas tangan Oswinky!" lanjut Benpo bertepuk tangan.

"Ayo.. ayo cari..." Denipsy dan Joshlaa melompat-lompat bersamaan.

Teletubbies pun menyebar. Oswinky mencari di balik pepohonan. Denipsy mencari di balik semak-semak. Joshlaa mencari di balik bulu-bulu para domba dan Benpo duduk bermain bersama bunga-bunga. Mencoba mencari barangkali tas tangan Oswinky masuk ke negeri bunga. Hari semakin gelap. Sunlolly sudah hampir waktunya terbenam. Tas tangan Oswinky masih belum ditemukan dan Teletubbies sudah kelelahan.

"Tidak ketemu..." kata Oswinky menangis lagi.

"Tidak ketemu..." Denipsy dan Joshlaa mengikuti. Turut sedih untuk Oswinky.

Benpo berlari-lari menyusul ketiga saudaranya. Senyum keindahan Benpo terulas disusul oleh senyum ketiga Teletubbies yang lain. Benpo menunjuk-nunjuk ke arah topi Denipsy.

"Topi... topi Denipsy!" katanya berulang-ulang.

Denipsy yang bingung mengangkat topi dari kepalanya dan apakah kalian tahu? Tas tangan Oswinky ternyata tersangkut di topi Denipsy!

"Horeee ketemu!!" pekik kegirangan Teletubbies memenuhi bukit. Mereka melompat-lompat dan tidak lupa mereka—

"BERPELUKAAAANNN!"

Sunlolly sudah lelah. Sambil cekikikan Sunlolly menguap lebar. Sudah waktunya Sunlolly dan Teletubbies berpamitan.

"Dadaaahh... Daadaaaah... Dadaaahhh... Dadaaaah...."

Teletubbies pun kembali masuk ke lubang, pulang ke rumah mereka untuk beristirahat.

Sampai jumpa.

Kamis, 07 Oktober 2010

The Brightest Star Above

Dear Diary,

Dia seperti bintang cerah yang begitu terang bersinar...
Membuat kedua mataku tak pernah bisa lepas memandangnya
Aku menerima cahayanya...
Menjadi lebih bercahaya karena dia ada
Namun...
Aku juga menjadi lebih gelap

Harapan-harapan semu tentang dirinya membuatku bercahaya
Namun kekecewaan yang selalu kudapat dari berharap membuatku lebih gelap
Aku benci diriku yang seperti ini...
Tapi aku tak bisa melangkah keluar...
Dia begitu terang dan aku tak mampu berpaling...
Karena tanpa dirinya, aku tak terlihat...

Senin, 27 September 2010

The Pinocchio Girl - a prologue

Disclaimer:
- JK Rowling untuk dunia sihirnya yang mempesona
- IndoHogwarts dan para staff yang telah memberi tempat tinggal bagi karakter ini
- Semua karakter yang disebut di FF ini adalah milik saya
- Hera Seedlings sebagai visualisasi dari Mimosa Vervain




signature (c) Fhel
Call her MIMMY


"Dimana ini? Kalian siapa?"

Itu adalah pertanyaan pertamaku sewaktu kedua kelopak mataku terbuka. Ruang putih penuh sinar menyelimuti pandangan kedua mata hazelku yang menyipit. Usiaku baru lima tahun saat itu. Aku masih ingat betapa asingnya aku merasa di depan tatapan dua orang dewasa yang kemudian mengaku sebagai orangtuaku tapi aku tak mengenal siapa mereka. Aku tak pernah melihat kedua wajah itu. Baru beberapa saat kemudian aku tersadar bahwa aku pun tak tahu siapa aku dan darimana aku berasal. Seolah-olah hari itu adalah pertama kalinya aku membuka mata dan melihat dunia.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semuanya serba putih dengan tirai menyekat ruang tempatku berbaring saat itu. Jauh di dalam benakku aku tahu bahwa tempat itu adalah tempat untuk orang-orang sakit. Aku juga sakit. Punggungku terasa panas dan perih menggigit. Bau obat yang pekat membuatku sesak bernapas. Darimana luka itu kudapat? Orang sakit itu apa? Obat itu seperti apa? Mengapa aku tahu aromanya? Seperti itulah pikiranku saat itu. Bercampur dan mengaduk-aduk otakku hingga aku ingin muntah.

Semuanya terasa sangat asing bagiku.

Tubuh mungilku lalu gemetar dan kedua mataku memanas. Aku takut. Aku merasa sendirian dan tak berdaya. Aku ingin dipeluk mama tapi aku tak tahu siapa mamaku dan apakah benar wanita yang sedang tersenyum di depanku benar-benar mama atau bukan. Dan apakah pria itu benar-benar papa? Aku berusaha mengingat tapi tak ada satu hal pun yang mampu keluar dari memori otakku. Aku mulai terisak, menggigiti ujung-ujung jariku sementara air mata mulai menetes dari sudut-sudut mataku. Kali pertama dan kali terakhir aku menangis.

Aku melihat kedua orang di depanku saling bertatapan dan berbisik-bisik lalu kembali menatapku dengan senyum terlengkung di wajah mereka. Senyum yang membuat jiwa kecilku merasa sedikit lebih tenang.

Dan aku, aku masih ingat dengan jelas apa yang kemudian dikatakan oleh keduanya tentang siapa aku atau lebih tepatnya—


—apakah aku.

"Namamu Mimosa. Fuchsia Mimosa Vervain," ujar sang wanita dengan suaranya yang lembut sembari mengusap keningku, "Aku ibumu, Gladiola Vervain. Dan di sebelahku ini ayahmu, Aldaniel Vervain."

Setelah itu sosok Aldaniel Vervain memenuhi pandanganku dan suaranya bergema di otakku bahkan setelah enam tahun berlalu.

"Kau putriku. Bonekaku yang cantik."

Aldaniel tersenyum. Gladiola juga tersenyum. Aku menatap mereka dengan wajah penuh kebingungan.

"Boneka?"

Mereka mengangguk bersamaan, "Kau diciptakan, Mimosa. Boneka yang diberi kehidupan oleh sihir untuk menjadi anak kami."

"Kenapa aku merasakan sakit di punggungku?" tanyaku lagi. Isakku semakin menjadi, "Sakit sekali."

"Karena kami baru saja mengisi energi untukmu di sana," jawab Aldaniel menjelaskan. Aku hanya diam karena aku yang masih berusia lima tahun itu tak mengerti maksudnya. "Sakitnya akan segera hilang kalau kau berhenti menangis. Sayangku, boneka tak seharusnya menangis."

Saat itulah aku mendapat pemahaman bahwa aku bukan manusia sungguhan. Aku makhluk yang diciptakan oleh manusia. Aku sebuah boneka yang diberkahi dengan kehidupan layaknya manusia normal. Aku bernapas seperti manusia. Aku makan seperti manusia. Semua yang bisa dilakukan manusia, bisa aku lakukan. Aku disayang oleh kedua orangtua manusiaku seperti anak mereka sendiri. Diberi pakaian yang indah. Didandani secantik boneka-boneka porselen dalam lemari pajangan Gladiola dan membelikan aku banyak sekali boneka beruang yang kusuka.

Namun aku diberi batasan-batasan saat sedang bersama dengan Aldaniel dan Gladiola. Aku harus bersikap seperti sebuah boneka yang manis sewaktu-waktu saat mereka meminta. Tak diijinkan bergerak atau bicara sampai mereka berdua puas memandangiku dan mengagumiku—


—hasil karya jenius keluarga Vervain.


Dan kini, aku akan datang ke Hogwarts bersama Froggy, boneka kodokku yang bisa bicara, hadiah dari Aldaniel dan Gladiola saat aku menerima surat dari Hogwarts. Maukah kalian berteman denganku?

Jumat, 10 September 2010

Dear, Dear Diary

Disclaimer:
  • IndoHogwarts dan para staff
  • JK Rowling dan dunia Harry Potternya
  • Beauty Donks (mine), Charlie Weasley (Kat), Handsome Donks (Edo), Reid Rendall (Chazu), Veneztaffhielish C. Aubergine (milik PMnya), Foosan Sherman (Gege), Kenneth Larz (Haru) dan Zeus Pierre (mine)
  • Para beta reader yang selalu setia membaca semua karya saya
  • Tetet, buat kehadiranmu yang selalu menemaniku dan mendukungku


Image and video hosting by TinyPic
15th years old Beauty Donks


11 September 1990


Tak banyak yang tahu bahwa hari ini seorang gadis bernama Beauty Donks genap berusia 15 tahun. Hanya Handy sang adik serta beberapa teman dekat yang tahu hari ulangtahunnya di Hogwarts. Kiriman kartu ucapan dan beberapa hadiah sudah diterimanya. Keluarganya di rumah mengiriminya banyak sekali kue-kue manis, membuat Beauty menggeleng-geleng geli. Kedua orangtuanya masih berambisi untuk membuat Beauty kembali montok seperti dulu. Tak peduli seberapa kerasnya ia berusaha menjelaskan, bagi Charming dan Pretty Donks, tubuh bundar kelebihan lemak adalah simbol dari kecantikan yang tak terlawan.

Reid Rendall, teman sekelas yang dulu pernah mengajaknya pacaran mengiriminya sekantong penuh dengan lollipop kesukaannya. Lollipop rasa karamel yang sudah lama sekali tak pernah ia nikmati. Hari ini mungkin ia boleh membuat pengecualian. Diambilnya sebuah lollipop dari dalam kantong, dibukanya plastik pembungkus permen itu dan ia masukkan ke dalam mulutnya. Membiarkan rasa manis memanjakan indera pengecapnya. Satu saja. Hanya untuk hari ini sebagai perayaan.

Taff, teman sekelasnya yang lain, yang memiliki tubuh dan sifat paling seksi yang pernah dikenalnya, mengiriminya sebuah buku panduan untuk menjadi seksi a la Miss Aubergine.

Handy, adiknya tersayang, memberinya sebuah pelukan dan ciuman bertubi-tubi ketika mereka bertemu pagi tadi di koridor. Tak ada hadiah karena Handy menganggap hadiah dari keluarga Donks sudah sepaket dengan hadiahnya. Beauty tak keberatan. Asal Handy tak lupa hari spesialnya, ia sudah sangat gembira.

Hadiah yang paling membuatnya terkesan mungkin adalah hadiah yang baru saja ia terima. Pengirimnya adalah Foosan Sherman. Gadis cantik berambut merah yang dulu pernah mendandaninya bersama-sama dengan beberapa anak seangkatannya. Awalnya, ia mengira Foosan hanya mengolok-olok dirinya namun kini ia harus mencabut dugaan tersebut. Sebuah kotak beludru merah berisi bermacam-macam peralatan rias lengkap dengan merk mahal ada di balik bungkus hadiah yang dikirimkan sang gadis Slytherin.

Selain itu ada sebuah kartu ucapan dari Zeus Pierre dan Kenneth Larz, dua orang senior yang dulu mengenalkannya pada Charlie Weasley. Di kartu itu tertulis dukungan untuk perasaan yang selalu ia pendam untuk anak kedua dari keluarga Weasley tersebut.


Yang paling ia harapkan untuk memberinya hadiah.


Beauty Donks tersenyum. Dirapikannya semua hadiah dan kartu ucapan yang ia terima di dalam laci nakas di samping tempat tidurnya. Lalu sebuah buku harian bersampul biru muda ia keluarkan dari dalam laci yang sama berikut sebuah pena bulu dan sebotol tinta.

Gadis itu bangkit dari tempat tidurnya, beranjak menuju meja kayu di samping nakas. Tempat ia selalu menghabiskan waktu menulis buku hariannya setiap malam sebelum tidur.

Dibukanya tirai yang menutupi jendela yang terbingkai tepat di depan mejanya, membiarkan cahaya yang dipancarkan rembulan menerangi penglihatannya. Menulis buku harian sambil memandangi langit malam selalu membuatnya merasa tenang dan damai. Waktu bahkan terasa berjalan lebih lambat hingga ia kemudian tenggelam dalam kenangan-kenangan yang ia rangkai dalam tulisan.

Sampul depan buku hariannya pun ia buka dan ia tersenyum. Sebuah foto sihir yang menampakkan wajah pemuda yang paling ia cintai terlekat di sana. Menampakkan wajah sumringah seorang Charlie Weasley dengan snitch berkilauan di dalam genggaman. Momen yang sangat membahagiakan ketika pemuda itu berhasil merebut kemenangan pada pertandingan Quidditch tahun lalu.

Halaman dengan foto Charlie itu kemudian ia balik. Halaman kedua buku harian itu membawanya pada entri pertama yang ia tulis. Hari saat ia berkenalan dengan Charlie Weasley.

30 Agustus 1986

Dear Diary,

Hari ini aku dikenalkan pada anak laki-laki paling tampan di dunia. Namanya Charlie Weasley. Usianya lebih tua dua atau tiga tahun dariku. Rambutnya berwarna merah seperti wortel yang lezat. Membuatku jadi ingin makan wortel saat itu juga. Anak bernama Charlie itu juga memuji mataku.

Diary, aku senang. Sepertinya aku naksir sama dia. ♥
Mudah-mudahan di Hogwarts nanti aku bisa satu asrama dengan dia.


XOXO,

Beauty Donks

Usianya baru sebelas sewaktu tulisan itu ditulis. Pertama kalinya ia jatuh cinta pada lawan jenis yang tak disangkanya akan bertahan hingga hari ini. Perasaannya tak berkurang sedikitpun. Bertambah besar, iya. Halaman berikutnya pun ia buka dan ia tertawa kecil membaca apa yang ia tulis di sana.

1 September 1986

Dear Diary,

Aku masuk ke asrama Gryffindor!! Ini sangat menyenangkan!!
Aku satu asrama dengan Charlie Weasley!! ♥♥♥

Diary, tahu tidak betapa dia begitu tampan saat tertawa? Aku sejak tadi menghabiskan waktu di pesta untuk memandangi dia seorang. Makan sambil menatap orang yang disuka ternyata rasanya jadi berkali-kali lipat lebih enak!

Jubah Hogwarts membuatku terlihat seperti Countess Vampire, ngomong-ngomong.


XOXO,

Beauty Donks

Jadi, ia dulu menganggap dirinya seperti Countess Vampire? Benar-benar pikiran polos seorang anak sebelas tahun, eh? Kalau diingat-ingat lagi rasanya jadi memalukan namun tetap saja merupakan sebuah kenangan manis yang tak tergantikan. Ia tahu bahwa sejak sebelum menginjak Hogwarts pun, nama Charlie Weasley selalu menghiasi benaknya dan juga buku hariannya.

Dibaliknya lagi halaman demi halaman dan dibacanya satu per satu, mengenang hari-hari yang ia lewati selama di Hogwarts. Mengenang hari-hari di mana ia menjadi seorang gadis kecil tambun yang hobi menguntit Charlie kemana-mana. Masuk ke dalam kelas herbologi Charlie saat ia kelas 1 karena diharuskan menjadi pelayan Kenneth selama setahun. Well, sebenarnya itu hanya alasan yang dibuat-buat untuk bertemu dengan sosok kesayangannya.

Ada satu ketika di mana Charlie tak ia lihat di mana-mana sehingga dulu ia sempat mengira Charlie pindah sekolah atau bahkan menghindarinya. Namun kemudian, ia dan Charlie bertemu tanpa sengaja di lapangan Quidditch.


5 November 1986

Dear Diary,

Akhirnya aku tadi bertemu lagi dengan Charlie di lapangan Quidditch. Ternyata dia anggota tim Quidditch Gryffindor. Posisinya sungguh keren. Dia seeker, lho! Aku sempat melihatnya berlatih dan dia teramat tampan saat terbang di atas sapunya.

Diary, Charlie juga mengajakku untuk ikut tim tahun depan. Aku tak tahu apakah dengan tubuhku yang berat ini aku bisa terbang dengan baik, tapi aku mau masuk tim.

Karena dengan begitu aku bisa dekat dengan dia. ♥


XOXO,

Beauty Donks


Sekali lagi gadis itu tersenyum. Ia masih ingat dengan jelas kejadian yang ia tulis dalam buku hariannya. Semua yang diucapkan Charlie, bagaimana bersemangatnya ekspresi Charlie sewaktu bercerita tentang serunya bermain Quidditch dan bagaimana caranya tersenyum saat melepaskan pelukan Beauty di lengannya.

"..."

Tersenyum pahit. Ia menggelengkan kepala membuyarkan pikiran tersebut lalu membalik kembali halaman-halaman buku hariannya yang semakin membawanya pada kesesakkan.

Tertulis di sana semua kepedihan hatinya saat mengetahui bahwa Charlie menjalin hubungan dengan Tonks. Tertulis di sana semua sakit hatinya setiap kali melihat kedua pasangan itu bersama-sama. Tertulis di sana betapa tersiksa hatinya setiap kali berlatih Quidditch karena senyum Charlie dan tatapan Charlie hanya tertuju pada seorang gadis.

Dan, gadis itu bukan dirinya.

Air matanya mungkin takkan pernah mengalir. Terus ditahan hingga rahangnya mengeras dan jemarinya mengepal. Pada akhirnya ia selalu berusaha untuk tetap tersenyum, berpura-pura tak terjadi apa-apa dalam batinnya yang tak henti bergumul. Jerit hatinya yang tak merelakan sosok idamannya menjadi milik gadis lain tak pernah bisa terucap. Ia ingin bisa menjadi orang-orang yang berbesar hati lalu mendoakan kebahagiaan Charlie dengan tulus. Ia ingin mencoba berpaling pada sosok lelaki lain agar ia bisa melangkah dan melupakan Charlie.

Tapi, ia tak bisa.

Jiwanya telah terpuruk dalam lumpur hisap berisi pesona seorang Charlie Weasley. Ia telah terbenam terlalu dalam dan tak mampu keluar dari sana. Ia tak bisa mendoakan kebahagiaan Charlie, ia berharap keduanya segera putus hingga ia bisa merebut Charlie untuk menjadi miliknya sendiri. Ia mengingini Charlie lebih dari apapun.

Segala upaya kemudian ia lakukan, ia ingat ketika ia mulai berdiet untuk mendapatkan hati Charlie. Ia ingat perjuangannya kala menahan lapar yang membuat raganya tersiksa. Ia ingat kelelahan serta tetesan peluh yang terkuras saat ia memaksakan tubuhnya berolahraga. Ia masih ingat jelas hingga saat ini ketika tubuh sempurna telah ia dapati.

Namun Charlie tetap tak tergapai.


Malam sunyi kuimpikanmu
Kulukiskan cita bersama
Namun s’lalu aku bertanya
Adakah aku di mimpimu

Pelan, ia menutup buku hariannya. Tak satu kata pun berhasil ia tulis untuk menambahi kenangan di hari ulang tahunnya. Air matanya menitik. Air mata pertamanya di usia ke-15. Sekali lagi untuk Charlie Weasley yang tak tergantikan. Ia berdiri dari kursinya dan melangkah menuju sebuah cermin di samping nakas. Cermin itu tergantung di dinding, sebuah cermin panjang yang membuatnya bisa melihat seluruh tubuhnya di sana. Gadis belia itu merenung. Menatap tubuhnya dari kepala hingga ke kaki.

Di hatiku terukir namamu
Cinta rindu beradu satu
Namun s’lalu aku bertanya
Adakah aku di hatimu

Satu kesadaran perlahan menyeruak di benaknya. Satu kesadaran yang membuatnya tahu mengapa ia belum juga mendapatkan hati Charlie ketika ia mengangkat kaos depannya dan memandangi perutnya di cermin.

"Aku masih gemuk..."

Dan lollipop karamel yang sejak tadi ia hisap, dibuangnya ke tempat sampah.

Rabu, 16 Juni 2010

The Last Puzzle (finished)

Disclaimer:
  • JK. Rowling dan dunia sihirnya yang luar biasa
  • 7 y.o Nabelle M. Elsveta dan 8 y.o Zeus Pierre milik saya beserta para charfik
  • Thanks to Tetet, Dodol dan Mav yang sudah bersedia jadi beta reader dan memberi masukan yang berarti banget buat FF ini
  • Thanks to Harry Potter Wikia untuk informasi mengenai kutukan Imperius



Elsveta Castle
Novgorod, Russia. January 10’ 1980



Langit sore itu sama dengan langit pada sore-sore lainnya. Didominasi dengan warna biru yang lembut bagaikan susu ditambah dengan semburat kemerahan dari cahaya matahari yang akan segera menunaikan tugasnya. Aku berbaring terlentang di atas hamparan rumput hijau yang lembut. Rok terusanku pun terbentang melebar di atasnya dengan beberapa helai rumput patah menempel di permukaannya yang berenda. Aku sedang menatap lurus ke langit tepat pada satu gumpalan awan yang sejak beberapa menit lalu menggoda bola mata perakku untuk terus memandangnya. Aku tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tanganku tinggi-tinggi dan menunjuk gumpalan awan itu dengan bersemangat. Mencoba menarik perhatian kakak sepupuku, Zeus, yang berbaring di sampingku.

“Lihat, Zeus! Belle menemukan beruang!” ujarku dengan nada riang. Kedua bola mataku masih terpancang kokoh menatap sang beruang putih. Tak mau repot-repot memastikan apakah Zeus menoleh ke arahku atau tidak. “Awannya benar-benar berbentuk beruang!” ujarku lagi. Tak sabar menunggu Zeus mengiyakan apa yang kulihat. Butuh waktu satu menit sampai akhirnya anak laki-laki berambut pirang platina itu bersuara.

“Yang mana, sih?” tanya Zeus dengan nada penasaran lalu memandangiku dengan tatapan heran.

Aku tahu, Zeus sering berpikir bahwa aku adalah anak yang aneh dengan sejuta khayalan dan imajinasi yang takkan pernah tergapai olehnya. Aku tahu tentang itu dari Mum. Zeus pernah mengatakan tentang pemikiran tersebut pada Mum dan Mum mengatakannya padaku. Aku pun akhirnya melepaskan pandanganku dari si beruang putih dan menoleh untuk menatap bola mata Zeus yang sewarna dengan milikku.

“Zeus payah,” ujarku sembari menurunkan tanganku dan meletakkannya di atas perut. Bibirku mengerucut ketika aku mendengus kesal menatap kakak sepupuku yang begitu minim imajinasi. Entah sudah berapa kali hal semacam ini terjadi. Seharusnya aku sudah siap dengan reaksi Zeus. Sulit sekali berbagi hal-hal yang menyenangkan jika orang yang kau ajak bicara bahkan tak paham apa yang sedang kau bahas. Berbeda dengan ayahku, Boris, yang senantiasa memahami apa yang kuucapkan. “Padahal kali ini benar-benar berbentuk beruang,” keluhku lagi. Kuangkat tubuh mungilku ke posisi duduk. Kulipat kedua kakiku untuk menjadi penopang kedua tangan dan kepalaku. Bisa kulihat dari sudut mataku kalau Zeus pun mengikuti apa yang kulakukan.

“Maaf,” ujar Zeus. Dia menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut lalu dia terbatuk. Zeus hanya satu tahun lebih tua dariku. Mum bilang, Zeus datang ke kastil tempatku tinggal ketika usiaku masih dua tahun dan tinggal bersama kami semenjak itu. Tubuh Zeus lemah sejak dulu. Dia mudah sekali terserang flu. Sekarang setelah lima tahun berlalu, aku bahkan tak pernah melihat paman dan bibiku datang menjenguk Zeus. Apakah mereka tak merindukan Zeus? Aku tak bisa membayangkan tinggal di tempat orang lain tanpa bisa bertemu kedua orangtuaku. Tapi, Zeus sendiri sudah tak ingat seperti apa wajah kedua orangtuanya. Kedua orangtuaku sudah menjadi pengganti orangtua baginya. Aku sendiri sudah menganggapnya seperti kakak kandungku. Lagipula warna rambut dan wajah Zeus sangat mirip dengan ayahku. Jadi, semua orang dengan mudahnya mengira bahwa Zeus adalah anak pertama di keluarga Boris Elsveta.

“Kau tak apa-apa, Zeus?” tanyaku cemas memandangi Zeus yang masih saja terbatuk. Aku tak suka melihat Zeus sakit dan terbaring di atas tempat tidur. Aku lebih suka Zeus yang sehat karena Zeus yang sehat tahu banyak sekali permainan yang menyenangkan. “Sebaiknya kita masuk saja ke dalam. Sebentar lagi waktu makan malam tiba,” ajakku sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. Kakak sepupuku tersenyum. Dia mengangguk setelah mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa meski aku tahu itu hanya untuk membuatku tenang saja. Zeus selalu begitu. Tak suka membuat orang lain cemas.

Ketika kami berdua bangkit berdiri dan aku tengah menepuk-nepuk rokku yang penuh dengan patahan rumput kering, Zeus menengadah ke langit. Seketika aku mengikuti arah pandangnya dan melihat tiga titik hitam di sana. Titik hitam yang semakin lama semakin mendekati kami. Titik hitam yang terlihat semakin besar dan pada akhirnya aku sadar bahwa tiga titik hitam itu adalah sosok tiga orang pria dewasa berjubah hitam di atas sapu terbang. Beberapa putaran jarum detik melingkari bundaran jam dan tiga sosok itu mendarat tepat di hadapan kami berdua.

Salah satu dari mereka yang terlihat paling menonjol berjalan di depan—menghampiri Zeus. Rambut pria itu hitam, disisir rapi ke belakang. Tubuhnya begitu tinggi sehingga membuatku harus mendongak untuk melihat wajahnya yang tampan namun berekspresi keras. Kedua bola matanya yang berwarna biru gelap terlihat begitu dalam tanpa dasar sehingga membuatku tanpa sadar melangkahkan kedua kaki kecilku mundur satu langkah. Kupegangi sebelah lengan Zeus erat-erat seolah dengan begitu maka Zeus akan aman. Pria itu tersenyum tipis kala menatap tajam kakak sepupuku—senyum yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Bisa kurasakan Zeus pun tegang ketika ia meremas pergelangan tanganku dan menarikku untuk berdiri di belakangnya. Aku menurut.

"Takut padaku, boy?" ujar pria berambut hitam itu pada Zeus dengan senyum miring.

"Kau mau apa di rumahku!?" balas Zeus dengan berani di sela-sela batuknya. Aku selalu kagum dengan keberanian Zeus dan selalu berusaha untuk memiliki keberanian yang sama dengannya. Aku tak mau jadi gadis kecil yang penakut dan selalu dilindungi. Suatu hari nanti, aku juga ingin melindungi orang-orang yang aku sayangi. Setidaknya saat aku sudah besar dan lebih tinggi dari sekarang.

"Mereka siapa, Zeus?" tanyaku pelan. Aku bisa mendengar suaraku bergetar karena rasa takut.

"Tenang, Baby Belle. Takkan kubiarkan mereka menyakitimu."

"Hahaha. Rupanya mereka membesarkanmu begitu baik sehingga kau jadi sok pahlawan begini, eh? Rambutmu pun pirang seperti mereka. Tidak ada mirip-miripnya denganku." ujar pria itu lagi.

"Kenapa dia harus mirip dengan Anda?" tanyaku penasaran. Sama sekali tidak mencurigai kemungkinan bahwa pria menyeramkan yang berdiri di hadapanku dan Zeus itu adalah—

"Karena dia puteraku, Nona. Puteraku."

—ayah kandung Zeus. Pamanku.

Aku terkesiap begitu pun dengan Zeus. Aku yakin kakak sepupuku itu sama terkejutnya denganku. Zeus terbatuk-batuk sambil memegang dadanya. Aku mendongak lagi, menatap pria berambut hitam itu sekali lagi. Berusaha mencari-cari kemiripan dari garis wajah si pria dengan Zeus. Namun aku tak melihatnya. Berapa kali pun dilihat, pria itu tidak memiliki tanda-tanda bahwa ia adalah ayah kandung Zeus.

"Wajah Anda tidak mirip dengan Zeus," ujarku begitu saja mengungkapkan apa yang ada di kepalaku. Tentu saja aku tak ingin punya paman berwajah seram seperti pria itu. Hanya berada di dekatnya saja sudah membuatku tegang. Mana mungkin Zeus yang begitu baik dan menyenangkan adalah anak dari seseorang seperti dia. Ditambah lagi, aku tidak suka cara pria itu berbicara. "Zeus anak baik. Bukan orang yang menakutkan seperti An—" Sebuah tamparan mendarat keras tepat di pipi kiriku. Membuatku tak bisa menyelesaikan kata-kataku. Rasa perih tak lama mulai menjalari kulit pipiku yang memerah. Kugigit bibir bawahku menahan sakit dan kutatap pria itu penuh dengan kebencian. Buliran bening mengintip di kedua sudut mataku karena kerasnya tamparan itu. Bahkan Daddy tak pernah menyakitiku seujung jari pun.

"Jaga ucapanmu, Nona kecil," desis pria itu sambil membungkuk hingga wajahnya kini begitu dekat dengan wajahku, "Aku benar-benar ayah bocah ini."

"JANGAN SENTUH BELLE, PEMBOHONG TUA!!" teriak Zeus pada pria berambut hitam itu. Dengan berani, Zeus mendorong tubuh pria yang lebih besar darinya itu menjauh. Namun kekuatan seorang anak laki-laki berusia delapan tahun tidak cukup kuat untuk membuat pria di hadapannya itu terjatuh. Sebagai balasannya, pria itu mencengkeram kerah kaos Zeus dan menariknya. Aku hanya bisa menatap ketakutan dan menyadari bahwa kedua kaki Zeus bahkan terangkat beberapa sentimeter dari tanah. Kujulurkan kedua tanganku memegangi pinggang Zeus. Takut kakak sepupuku itu tercekik.

"Lepaskan, Zeus. Please," isakku memohon.

"Christoff, jangan buang-buang waktu," ujar pria berambut merah dengan gigi-gigi kebesaran memanggil Christoff—pria yang mengaku sebagai ayah Zeus. Aku tak menyadari bahwa kedua pria yang tadi datang bersama dengan Christoff kini sudah berada di depan pintu masuk rumahku. Seringai kejam terlengkung di wajah mereka seolah mereka telah lama menantikan hari ini. Pria yang terakhir, berambut dan berkulit hitam. Rambutnya panjang dan berantakan. Matanya buta sebelah dengan codet besar melintang di pipinya. Entah ada urusan apa mereka datang namun jauh di dalam hatiku, aku merasa kedatangan mereka bukan untuk sesuatu hal yang baik. Aku bisa merasakan aura yang sangat jahat dari mereka bertiga. Jantungku berdegup tak teratur hanya dengan menatap mereka.

Christoff tiba-tiba melemparkan Zeus ke tanah dan menendang perut Zeus dengan keras sebelum berjalan menyusul kedua temannya. Teriak kesakitan pun langsung keluar dari bibir kakak sepupuku bersamaan dengan sedikit bercak merah di bibirnya. Aku segera berlari menghampiri dan berlutut di samping Zeus. Bulir kristal bening pun mulai mengucur deras dari mataku. Rasa takut bercampur marah menguasaiku.

"Zeus, kau tak apa-apa?" tanyaku panik. Zeus mengerang, terus terbatuk hingga tak bisa menjawab pertanyaanku. Aku tahu, Zeus tak mungkin baik-baik saja setelah ditendang begitu keras. Kubuka kaos Zeus hingga menampakkan perutnya yang lebam parah dan nafasku seolah terhenti karena keterkejutanku. Aku tak mengira bahwa memarnya akan sedemikian parah. Air mataku semakin deras mengalir dan kupeluk Zeus begitu ia berhasil duduk. Zeus menenangkan aku lalu mengarahkan telunjuknya ke arah pintu rumah. Ketiga pria itu telah masuk ke dalam. Aku bisa mendengar suara benda-benda pecah dari tempatku berada sekarang.

"Apa yang mereka lakukan, Zeus?"

"Ayo kita masuk. Kita takkan tahu kalau tetap di sini."

Aku menurut. Kubantu Zeus berdiri lalu kami berjalan berdampingan dan masuk ke dalam rumah. Rumahku sebenarnya adalah sebuah kastil tua milik keluarga Elsveta yang diwariskan turun-temurun. Kami berdua menaiki undakan-undakan anak tangga yang mengantar kami menuju ruangan besar yang biasa kami pakai untuk mengadakan pesta. Keadaan ruangan itu kini berantakan. Vas-vas mahal milik Mum kini berubah menjadi pecahan-pecahan keramik yang bertebaran di atas ubin batu pualam. Christoff dan kedua temannya memegang tongkat sihir, mengacungkannya ke arah Mum dan Dad yang juga memegang tongkat sihir mereka. Grandpa dan Grandma berdiri di atas balkon lantai dua, menatap ngeri ke bawah. Dad tidak mengijinkan mereka berdua turun.

What is this all about?

"Daddy! Mum!" seruku seraya berlari menghampiri mereka. Namun sebuah sentakan kemudian membuatku terlempar menabrak dinding di belakangku. Aku terjatuh di samping Zeus dengan rasa sakit luar biasa pada tulang-tulang punggungku. Zeus kemudian membantuku berdiri dan merangkulku, memberiku keberanian untuk tidak menangis sekalipun aku ingin. Aku tak mengerti apa yang ada di hadapanku. Aku terlalu muda untuk memahami semuanya. Satu hal yang aku mengerti adalah aku ingin semua yang kulihat sedang terjadi di depan mataku adalah mimpi yang akan berakhir begitu aku terbangun dari tidurku.

"Beraninya kau menyerang putriku, Christoff!" kudengar suara Dad membahana di ruangan tersebut, "Stupefy!" Christoff terpental namun segera bangkit lagi tak lama kemudian. Balas mengacungkan tongkat sihirnya ke arah Dad.

"Expulso!"

"Protego!"

"Boris, hati-hati!" Mum mengacungkan tongkat sihirnya ke arah pria berambut merah, "Expelliarmus!" dan tongkat sihir yang dipegang si pria itu terpental jauh. Dad dan Mum terlihat keren, tak pernah aku melihat mereka beraksi seperti itu. Namun aku tahu, ini bukan waktunya untuk terkagum. Ini adalah pertarungan sungguhan. Duel mantra pertama yang kulihat dalam hidupku. Kurasakan Zeus memegangku semakin erat. Kutolehkan kepala memandang kakak sepupuku itu dan bisa kulihat bahwa Zeus pun merasakan hal yang sama denganku. Pemandangan yang terlihat di hadapan kami menakutkan namun juga mempesona. Meski pada akhirnya aku menyadari bahwa kedua orangtuaku berada dalam pihak yang kalah meski Grandpa dan Grandma telah turut campur tangan membantu mereka.

Mum terkapar di lantai, terengah-engah dan tak sanggup berdiri. Grandma pingsan tak sadarkan diri di pelukan Grandpa yang terluka parah. Dad berdiri terhuyung berhadapan dengan Christoff dengan tongkat sihir sama-sama teracung—saling beradu mantra. Meski begitu, pihak lawan pun tak sepenuhnya berada dalam posisi baik. Pria berambut merah tergolek pingsan setelah sebelumnya menabrak meja batu dan pria berkulit hitam pun terlihat bernasib sama. Aku menatap Dad dengan ketakutan yang sangat. Tak mengerti mengapa orang-orang itu datang dan menyerang keluargaku. Semua orang di keluargaku adalah orang-orang baik yang mustahil memiliki musuh yang mau menghancurkan hidup mereka. Tapi kenapa pria berambut hitam itu, pria yang kemungkinan besar memang pamanku itu, menyerang orangtuaku dan kakek-nenekku?

Aku menelan ludah. Aku tak bisa diam saja melihat satu persatu keluargaku dirobohkan begitu saja oleh orang asing. Aku tak bisa diam saja melihat orang-orang yang kusayangi diperlakukan sedemikian rupa. Kulepaskan rangkulan Zeus dari tubuhku dan aku melangkah perlahan menuju tempat di mana sebuah pedang tergantung tanpa menggubris larangan Zeus. Pedang itu milik Grandpa. Pedang sungguhan dengan ukiran aksara Rusia pada gagangnya. Aku tahu karena Grandpa pernah menunjukkannya padaku sebelumnya. Beruntung letak pedang itu tergantung hanya berjarak beberapa langkah dari tempatku berdiri. Sambil menahan nafas, aku memanjat naik ke atas kursi, berusaha tidak menimbulkan suara yang akan membuat Christoff menyadari apa yang sedang kulakukan. Zeus menatapku dengan pandangan ngeri. Takut aku terjatuh. Namun aku telah membulatkan tekadku dan aku sendiri tak pernah menyangka bahwa aku begitu berani di saat terdesak. Kuulurkan tanganku dan kuambil pedang berat itu dari gantungannya. Sejauh ini aku berhasil dan aku bangga karenanya.

Namun keberhasilan itu tak berlangsung lama.

Ketika aku menarik pedang itu keluar dari sarungnya, Christoff menoleh. Kugenggam erat gagang pedang itu dengan kedua tangan kecilku. Entah darimana kudapati kekuatan untuk mengangkat pedang berat tersebut dengan tubuhku yang mungil. Zeus berteriak memeringatkanku ketika Christoff mengacungkan tongkat sihirnya ke arahku setelah membuat Dad terpental. Kulihat Zeus berlari ke arahku, berusaha melindungiku. Namun gerakan Christoff lebih cepat.

"Crucio," rapalan mantra terarah pada Zeus. Aku tak tahu mantra apa itu namun aku bisa lihat dan dengar kesakitan dari rintihan dan teriakan Zeus yang menggelepar di lantai. Aku marah. Kurasakan segala ketakutanku lenyap dan aku mulai berlari. Berlari dengan mata pedang teracung ke arah Christoff. Nafsu untuk membunuh menguasai diriku dan setelah itu aku tak mengerti apa yang terjadi. Hal terakhir yang kuingat adalah Christoff mengacungkan tongkat sihirnya padaku dan setelah itu tubuhku seolah dikuasai dan dikontrol oleh sesuatu yang tak terlihat. Aku berhenti bergerak bukan dengan kemauanku. Mum menangis, Zeus menjerit namun aku tak mampu menggerakkan tubuhku sendiri bahkan untuk mengedip sekalipun. Perlahan, sebuah perasaan nyaman yang menyenangkan menyusup masuk ke dalam benakku yang tegang. Satu demi satu benang ketegangan itu lepas dan membuatku merasa santai. Perasaan kuatir dan takutku menghilang. Aku hanya samar-samar menyadari bahwa perhatian semua orang kini terarah padaku.

Tubuhku kemudian bergerak maju dengan pedang masih teracung di genggamanku. Namun langkahku beralih pada Dad yang tergantung melayang di udara, bukan pada Christoff. Aku tak bisa mengendalikan tubuhku, terhanyut pada perasaan nyaman yang menyelimuti diriku. Dad memandangku dengan tatapan memelas namun saat itu aku tak mengerti arti tatapan tersebut. Bibir Dad bergerak-gerak mengucapkan sesuatu seperti `rebut kendali dirimu` tapi aku masih terbuai. Hingga pada satu titik dimana kedua tanganku bergerak menikamkan mata pedang itu menembus perut Dad.

Aku menikam perut Dad, menembuskan logam panjang itu ke tubuh orang yang paling aku kasihi di muka bumi.

Kesadaran tiba-tiba menyeruak. Aku tahu aku telah melakukan sesuatu yang sangat fatal dan aku berjuang melawan kendali tak kasat mata yang menguasai tubuh dan pikiranku. Kudengar tawa keras membahana dari mulut Christoff ketika tubuhku berhasil kembali di bawah kendaliku. Namun perhatianku hanya terfokus pada Dad yang tergeletak penuh darah dengan aku berdiri di atasnya, memegang gagang pedang yang masih menancap di perut Dad. Tubuhku lemas seketika dan aku jatuh terduduk di samping Dad yang menatapku sambil tersenyum. Nafasku memburu. Air mata berjatuhan dari sudut mataku.

"Kau berhasil, Belle," ujar Dad terbata, "Kau berhasil melawan kutukan itu."

"Daddy, sorry. Belle—," ucapanku terputus. Dad menutup mulutku dengan telapak tangannya yang mendingin. Aku menangis. Menatap darah yang berlumuran di kedua tangan kecilku. Menatap darah yang terus mengalir dari perut Dad. Menatap Mum yang terbujur kaku sambil menatap kami dengan tatapan tak terdefinisi. Aku, di usia tujuh tahun, telah membunuh. Membunuh ayahku sendiri. Kugenggam telapak tangan Dad erat-erat. Tubuhku bergetar hebat karena tangisku. Aku bahkan tak sanggup mendeskripsikan perasaanku saat itu. Semuanya terasa campur aduk. Aku takut.

"Bagaimana rasanya sekarat di tangan putrimu sendiri, Boris?" ujar Christoff. Aku menoleh, menatap pria yang telah memorakporandakan keluargaku dan yang telah membuatku menikam Dad. Pria itu melangkah ke arah Zeus yang tergeletak pingsan dan mengangkat tubuh kakak sepupuku itu ke bahunya kemudian berjalan mendekati kami.

"Lebih baik... daripada mati... di tangan kotormu," ujar Dad menatap jijik ke arah Christoff, "turunkan Zeus. Jangan... berani... bawa dia pergi."

"Dia putraku. Sudah waktunya dia kembali pada keluarganya."

"Dia tak akan pernah menganggapmu ayahnya! Pelahap maut sia—"

"Avada kedavra. Goodbye, kakak iparku."

Dan semuanya berakhir. Ingatanku terhapus sejak hari naas itu.

Minggu, 06 Juni 2010

Surat Tahun Pertama STAYNE WINDSTROKE yang ASLI!!!

Stayne Windstroke duduk bersimpuh di atas lantai dingin itu. Pandangannya bergeming sejak dua menit lalu—dan, segaris dengan arah tatapannya, ada sepasang mata kecil serupa manik hitam: milik seekor burung hantu angkuh, yang berbulu cokelat kehitaman dan bercakar kokoh. Bertengger di kusen jendela, dengan tatapan jumawa khas nokturnal yang balas menatapnya dingin. Stayne mengangkat sebelah alis.

“Sampai kapan kau mau bisu, Hocus Pocus?”

Wajah datar itu juga tidak berubah, sama-sama keras kepala, alisnya bertaut semakin dalam bahkan ketika pertanyaannya sudah selesai. Tapi, masih hening. Riak sinar matahari yang memantul-mantul di belakang punggung si burung hantu berubah terik, mencairkan ketenangan Stayne sampai titik dimana sang Windstroke muda mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar. Gudang yang dingin itu juga sama sekali tidak membantu untuk membekukan rasa penasarannya. Debu berhasil menegaskan detail-detail dari setiap furnitur yang tidak terurus di dalamnya. Kotak-kotak kayu bertumpuk teratur dan diselimuti kain, mengelilingi titik inti di sana yang berupa meja besar penuh barang-barang tidak-terdefinisi. Sementara itu, Stayne semakin larut dalam keinginan untuk membuat api unggun lima detik lagi demi menikmati daging burung hantu bumbu—oh, belum, urusan mereka masih belum selesai. Sayang sekali. Stayne kemudian mencondongkan punggungnya perlahan, dan membunuh jarak di antara mereka dalam diam.

Masih bersimpuh, ubin batu, dan spasi antar mata yang tinggal sejengkal.

“Kau pasti suruhan penyihir. Aku yakin.”

Ya. Kau pikir dia tuli, tidak pernah mendengar gosip bahwa keluarga Windstroke secara mengejutkan terkontaminasi macam-macam darah penyihir dalam darah mereka? Ini bukan kebetulan lagi. Stayne adalah yang ketiga. Well… Stayne sebenarnya tidak peduli, tetapi dia tahu bahwa sudah dua dari keluarga besar itu yang hanyut dalam dunia tongkat sihir dan rapalan mantra. Membuatnya skeptisismenya meluap-luap, seperti ombak yang pasang dan mengikis pasir-pasir kesabarannya kini. Tapi, lagi-lagi, pikiran tenang itu menang. Stayne membekukan frasanya di ujung lidah sejenak, sampai dia mengujar tanpa emosi.

“Buktikan kau penyihir. Bisa, kan?”

Merogoh isi saku jinsnya, Stayne lantas mengukirkan senyuman miring yang sangat samar. Garis lurus. Berkilat. Keperakan. Diletakkannya di atas kusen jendela tempat si burung hantu bertengger kini.

“Tes pertama, ubah jarum itu jadi korek api!! A-BRA-KA-DA-BRA!!”

Stayne berdiri. Bergegas, dia merentangkan dua lengannya, dan gerakannya beku di udara dengan kedua telapak tangan yang terbuka. Matanya melotot, dipenuhi oleh serangkaian kilat harapan yang tak-terkatakan.

"............................................”

Dan jangkrik berdesing semakin keras di luar. Samar-samar Stayne dengar suara Dad yang sedang memanggil-manggil Jade di halaman. Dedaunan bergemerisik, rahangnya jatuh beberapa senti, sampai dia kembali pada roman wajah datarnya. Mendengus, Stayne kini menggosok ujung hidungnya yang tidak gatal. “Oke, aku juga tidak bisa. Jadi kita seri.” Dia mengujar dengan nada kosong, menatap sinis si burung hantu yang mulai kelihatan bosan. Otaknya memilin-milin strategi lain, dan sebuah roda imajiner di dalamnya berhenti pada satu ide yang membuat Stayne kini mengangkat dagu dengan penuh kemenangan. Hmph. Memang, bagaimanapun manusia tidak akan ada yang kalah dari hewan begundal yang otaknya bahkan tidak lebih besar dari upil semut. Haa.

“Tes kedua: tirukan aku. Balita pun bisa—dan kalau kau masih tidak bisa, berarti kau hanya burung hantu biasa, yang sebentar lagi berubah bentuk jadi lima irisan daging bumbu barbeque.”

Jeda. Stayne mengatur posisi tepat di depan si burung hantu, dan menarik napas panjang. Pandangannya memicing sengit sejenak, sampai dia mundur selangkah, dan…

“HEAAAA!!”

Kayang. Lenting sempurna. Dengan keahlian setara seseorang yang memiliki bakat untuk itu sejak lahir. Ada gelegak euforia yang memoles ekspresi datar si pemuda sekarang, meninggalkan jejak berupa mata hitam pekatnya yang dipenuhi kilatan. “Nah! Kau tidak bisa, kan?! HAHAHA.” Tertawa maniakal, masih tanpa ekspresi ataupun sudut bibir yang melengkung, dia menatap si burung hantu dengan darah yang sudah memenuhi otaknya sehingga wajah itu jadi agak memerah. Tetapi yang didapatkannya sebagai balasan hanyalah segaris tatapan hitam kecil yang nampak mencemooh—dan si burung hantu melesat terbang keluar dari jendela, bahkan sebelum Stayne sempat mengerjap.


“…O-OI!!”

Dia bangkit lagi dengan terburu-buru. Terengah, Stayne mengusap keringat di satu sudut pelipisnya, seiring langkahnya yang mendekat ke tepian jendela. Nihil. Burung angkuh itu sudah jadi satu titik yang menghilang di antara awan dan langit biru, menyisakan tatapan penuh dendam dari si Windstroke muda, namun kilatan sengit tersebut tidak bertahan lama karena ada segulung perkamen yang dicetuk-cetuk angin. Menggulir jatuh dari kusen jendela. Untuk sejenak Stayne bergeming seperti fase awal pertemuannya dengan si burung hantu, tetapi pada akhirnya dia mengangkat bahu, memutuskan bahwa secarik kertas saja tidak akan membunuhnya. Entahlah. Sejak awal firasatnya kurang baik untuk ini, kau tahu. Ck.

Elmira

Nitip Regisan Elmira =))

Nama :
Elmira Rosemary Summerleaf

Jenis Kelamin: Perempuan

Status Darah: Pureblood

Domisili: Skull Alley, London

Tempat Tanggal Lahir: London, 1 Agustus 1977

Latar Belakang Karakter: Elmira dibuang begitu dilahirkan oleh kedua orang tuanya dan dipungut oleh anak-anak Skull Alley; gadis kecil itu pun tumbuh besar di sana.

Visualisasi: Izzi Murder

Latar Belakang Visualisasi: anonym

Keterangan Tambahan: Cadel. Tak bisa menyebut huruf R. Dalam pelafalan diganti dengan huruf 'Y' atau 'L'. Menyebut namanya sendiri 'Elmiya'.

Jumat, 28 Mei 2010

Me and THAT Little Girl

Disclaimer:
  • Dunia Ryokubita & Staff
  • Toshihiko Hikawa (mine)
  • Kotoko Hikawa (Mijuh)
  • Miwako Kitagawa (charfik punya gw)
  • Beberapa charfik lain yang males gw sebutin karena semuanya punya gw
FF ini random banget. Cuma buat nunjukkin betapa sisconnya Toshihiko ke Kotoko. Tiba-tiba aja pengen nulis tentang dua anak ini. Moga-moga aja bisa dinikmati.


"Selamat ulang tahun ke-16, niichan!" seru Kotoko sambil bertepuk tangan begitu kakak semata wayangnya selesai meniup lilin ulang tahun dan mengucapkan permohonan dalam hati. Pemuda berambut hitam itu tersenyum hangat pada Kotoko dan menepuk-nepuk kepala gadis kecil itu dengan penuh sayang. Ulang tahunnya yang ke-16 hanya dirayakan berdua dengan Kotoko di rumah. Tanpa kehadiran sang ayah yang tentu saja lebih memilih menghabiskan waktunya di tempat kerja daripada pulang dan bertemu dengan kedua anaknya. Kue ulang tahun pun ia beli sendiri dengan uang jajannya yang takkan pernah habis.

"Potong kuenya sekarang!" seru gadis kecil itu lagi. Dengan topi berbentuk Hello Kitty bertengger di kepala, Kotoko Hikawa terlihat sangat manis dan menggemaskan di mata Toshihiko. Sudah cukup untuk pengganti badut ulang tahun. Hahaha. Tentu saja ia tak memerlukan segala kehebohan pesta yang diperuntukkan untuk anak-anak tersebut. Bisa menghabiskan waktu berdua dengan Kotoko merayakan ulang tahunnya sudah lebih dari cukup. Semenjak kematian ibunya selepas melahirkan Kotoko, hidupnya telah ia dedikasikan untuk gadis kecil itu. Terlebih ketika ayahnya mendadak berubah perilaku dan menjadi kasar pada dirinya dan juga Kotoko. Ia hanya memiliki Kotoko dan begitu juga sebaliknya.

"Ini kue bagian Kotoko-chan," ujar Toshihiko seraya menyodorkan sebuah piring dengan sepotong kue ulang tahun di atasnya. Kue tersebut penuh dengan krim coklat kesukaan Kotoko. Ia sengaja memilih kue tersebut meski ia sendiri tidak begitu menyukai makanan manis. Diperhatikannya gadis kecil itu melahap kue ulang tahun dengan senyum mengembang di wajahnya yang mungil. Melihat senyum Kotoko adalah sebuah hadiah ulang tahun yang tak tergantikan baginya.

Usia enam belas tahun membuat Toshihiko merasa telah menjadi seorang pemuda yang dewasa dan bebas melakukan apapun yang ia inginkan tanpa perlu ijin terlebih dahulu pada Hikawa tua termasuk urusan menggoda lawan jenis. Oh, tentu saja ada seorang gadis yang ia suka. Ia sedang berada dalam usia yang wajar untuk hal tersebut, bukan? Sekalipun ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Kotoko bukan berarti ia lantas tidak tertarik dengan lawan jenis. Gadis beruntung itu bernama Miwako Kitagawa. Memiliki rambut hitam panjang berkilau yang tergerai lurus hingga ke pinggang. Kulit gadis itu putih mulus bagaikan porselen tanpa cela dengan dua bola mata besar yang membuat wajah si gadis sangat manis seperti boneka.

Toshihiko mengenal Miwako sekitar beberapa bulan yang lalu. Gadis itu adalah murid pindahan dari Hokkaido dan kebetulan masuk di kelas yang sama dengannya. Pertemuan pertama mereka terbilang tidak mengenakan. Hari itu, Toshihiko terpaksa berangkat sekolah dengan bus umum. Miwako berada di bus yang sama dan ketika terjadi goncangan, gadis itu nyaris jatuh dan tanpa sengaja menginjak kaki Toshihiko cukup keras. Toshihiko yang pada dasarnya adalah seorang pemuda temperamental membentak Miwako hingga gadis itu menangis. Ironisnya, detik itu juga Toshihiko jatuh hati pada Miwako.

"Niichan tidak makan kuenya?" tanya Kotoko. Suara gadis kecil itu membuyarkan lamunannya tentang Miwako. Pemuda itu tersenyum timpang pada Kotoko dan dengan cepat menyendokkan sepotong kecil kue ulang tahun ke mulutnya. "Makan, kok," ujarnya sambil mengunyah. "Kotoko-chan suka kuenya?"

"Tentu saja. Oishii," jawab gadis kecil itu dengan wajah belepotan krim coklat. Toshihiko tersenyum dan mengambil serbet untuk membersihkan wajah Kotoko. "Belepotan. Jelek, ih," ujarnya bercanda sambil mengernyit.

♫~♪~♫ Tulililit ♫~♪~♫

Sebuah pesan teks masuk di telepon genggam Toshihiko. Pesan yang membuat wajah pemuda itu seketika berubah cerah dengan kedua mata membelalak terkejut. Pesan yang datang dari Miwako Kitagawa.

Kudengar hari ini kau ulang tahun? Selamat ulang tahun, Toshihiko-kun.
Kalau tak keberatan, aku sudah memesan tempat di kafe A. Ingin merayakan ulang tahunmu berdua saja.
Ada yang ingin kubicarakan. Bisa?

"Dari siapa, niichan?" tanya Kotoko penasaran.

Kamis, 27 Mei 2010

Introducing my OC's

Blog ini gw peruntukkan untuk FF char-char RPF gw yang nggak gw buatin blog secara khusus. Semua itu dikarenakan begitu cepatnya char-char gw beranak-pinak sehingga rasanya mustahil kalau gw buatin satu-satu. Niatnya mungkin malah semuanya bakal gw gabung disini. Jadi FF Collections gitu. Sebelumnya gw mau nge-list semua char-char gw yang telah lahir ataupun yang akan lahir =))

IndoHogwarts

Nabelle M. Elsveta || Zeus Pierre || Elliot R. Brainstein

Beauty Donks || Doryne O. L. Larz || Benaya Elsveta

xXx [add later]
Odille Colette || Hidden Char ||[Jonah Julius]


[Mimosa Vervain] || [Elmira G. Podolski] || [June Roxanne]

[add later]
Rubeus Hagrid || Michael Corner

Ryokubita

Naoto Matsushima || Megumi Nobu || Chikako Mori

Toshihiko Hikawa || Chiaki Kashiwabara || Tomoyo Uehara

Fumiya Hibiki || Kiyoshi Ikuya

IndoOlympians

Aphrodite || Demeter

Wolferine Crescentino || Alecto

Kiell Campbell || NPC Aphrodite || NPC Demeter

Orinthia Lee || Aidan Astaroth