Halaman

Sabtu, 16 April 2011

Not Wanted Christmas Holiday

“Where am I?”

Aku terbangun di atas sebuah tempat tidur usang dan berbau apak, di dalam sebuah ruangan yang penuh dengan keropeng pada dindingnya. Kepalaku terasa sangat berat, begitu pun dengan kelopak mataku. Aku merasa sangat mengantuk. Aku bahkan tak tahu kapan aku datang ke tempat ini. Hal terakhir yang kuingat adalah pria bernama Marquis Holligan yang mengaku sebagai ayah kandungku berdebat dengan sahabatku di kafe tempat aku bekerja menjadi penyanyi paruh waktu lalu aku memutuskan untuk ikut bersama pria itu didorong rasa marah pada semua orang yang telah membohongiku karena berkata bahwa ayah kandungku sudah tiada, termasuk pada sahabatku—Deniska.

Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi. Aneh.

“Rumahku,” ujar sebuah suara bariton, “dan rumahmu juga, Benaya.”

“Mr Holligan…”

“Panggil aku Father, Benaya. Just like you used to call me before,” Mr Holligan menyela dan menatapku nanar. Tatapannya terasa familiar dan membuatku bergidik ngeri. “Dan namaku sebenarnya Marquis Elsveta, sama sepertimu. Benaya Floreano Silvan ELSVETA.” Suara ayahku yang tak kukenal terdengar semakin dingin, lebih dingin dari cuaca yang membekukan tulang-tulangku saat ini. Berbeda dengan Mr Holligan yang tadi menghampiriku di kafe seusai aku bekerja. Keramahan itu telah hilang. Aku merasakan jauh di dalam hatiku bahwa pria di hadapanku ini tidak menyayangiku seperti yang diucapkannya padaku di depan Deniska beberapa waktu lalu. “Bukan Benaya SAWADA!”

Jumat, 08 April 2011

Not the Best Day


The River Cafe, 28 Desember 1993

“Lagumu bagus, kuakui,” seorang pria setengah baya dengan kumis pirang tipis dan rambut pirang panjang menjuntai hingga ke bahu menghampiri Benaya sambil bertepuk tangan tanpa suara. Pemuda enam belas tahun itu baru saja selesai menyelesaikan pekerjaan sambilannya bernyanyi di kafe yang menyediakan masakan Italia tersebut. Beberapa lagu dari penyanyi-penyanyi terkenal ia nyanyikan atas permintaan para pengunjung yang menyantap makan malam mereka dan beberapa lagu yang ia gubah bersama gitar kesayangannya pun turut mewarnai suasana romantis malam itu. “Namamu Benaya, benar?” Pria itu kembali bertanya bahkan sebelum pemuda yang disapanya menoleh.

“Thanks,” ujar Benaya setelah memasukkan gitarnya kembali ke dalam sarung lalu menggendongnya dan menoleh ke arah seseorang yang menyapanya. Sesaat, pemuda bertubuh tinggi kurus itu mengernyit heran melihat pria di hadapannya. Kacamata hitam menutupi sepasang mata pria itu, terlihat ganjil karena kafe The River memiliki pencahayaan yang temaram. Lagipula saat itu hari sudah malam. “Ya, namaku Benaya, darimana Anda tahu?” ia akhirnya memutuskan untuk mengabaikan keganjilan tersebut dan mengulurkan tangan untuk menyalami pria tersebut. Dalam hati berharap beliau adalah seorang produser dari label musik terkenal yang hendak merekrutnya menjadi penyanyi profesional.