Halaman

Minggu, 06 Juni 2010

Surat Tahun Pertama STAYNE WINDSTROKE yang ASLI!!!

Stayne Windstroke duduk bersimpuh di atas lantai dingin itu. Pandangannya bergeming sejak dua menit lalu—dan, segaris dengan arah tatapannya, ada sepasang mata kecil serupa manik hitam: milik seekor burung hantu angkuh, yang berbulu cokelat kehitaman dan bercakar kokoh. Bertengger di kusen jendela, dengan tatapan jumawa khas nokturnal yang balas menatapnya dingin. Stayne mengangkat sebelah alis.

“Sampai kapan kau mau bisu, Hocus Pocus?”

Wajah datar itu juga tidak berubah, sama-sama keras kepala, alisnya bertaut semakin dalam bahkan ketika pertanyaannya sudah selesai. Tapi, masih hening. Riak sinar matahari yang memantul-mantul di belakang punggung si burung hantu berubah terik, mencairkan ketenangan Stayne sampai titik dimana sang Windstroke muda mengepalkan kedua tangannya tanpa sadar. Gudang yang dingin itu juga sama sekali tidak membantu untuk membekukan rasa penasarannya. Debu berhasil menegaskan detail-detail dari setiap furnitur yang tidak terurus di dalamnya. Kotak-kotak kayu bertumpuk teratur dan diselimuti kain, mengelilingi titik inti di sana yang berupa meja besar penuh barang-barang tidak-terdefinisi. Sementara itu, Stayne semakin larut dalam keinginan untuk membuat api unggun lima detik lagi demi menikmati daging burung hantu bumbu—oh, belum, urusan mereka masih belum selesai. Sayang sekali. Stayne kemudian mencondongkan punggungnya perlahan, dan membunuh jarak di antara mereka dalam diam.

Masih bersimpuh, ubin batu, dan spasi antar mata yang tinggal sejengkal.

“Kau pasti suruhan penyihir. Aku yakin.”

Ya. Kau pikir dia tuli, tidak pernah mendengar gosip bahwa keluarga Windstroke secara mengejutkan terkontaminasi macam-macam darah penyihir dalam darah mereka? Ini bukan kebetulan lagi. Stayne adalah yang ketiga. Well… Stayne sebenarnya tidak peduli, tetapi dia tahu bahwa sudah dua dari keluarga besar itu yang hanyut dalam dunia tongkat sihir dan rapalan mantra. Membuatnya skeptisismenya meluap-luap, seperti ombak yang pasang dan mengikis pasir-pasir kesabarannya kini. Tapi, lagi-lagi, pikiran tenang itu menang. Stayne membekukan frasanya di ujung lidah sejenak, sampai dia mengujar tanpa emosi.

“Buktikan kau penyihir. Bisa, kan?”

Merogoh isi saku jinsnya, Stayne lantas mengukirkan senyuman miring yang sangat samar. Garis lurus. Berkilat. Keperakan. Diletakkannya di atas kusen jendela tempat si burung hantu bertengger kini.

“Tes pertama, ubah jarum itu jadi korek api!! A-BRA-KA-DA-BRA!!”

Stayne berdiri. Bergegas, dia merentangkan dua lengannya, dan gerakannya beku di udara dengan kedua telapak tangan yang terbuka. Matanya melotot, dipenuhi oleh serangkaian kilat harapan yang tak-terkatakan.

"............................................”

Dan jangkrik berdesing semakin keras di luar. Samar-samar Stayne dengar suara Dad yang sedang memanggil-manggil Jade di halaman. Dedaunan bergemerisik, rahangnya jatuh beberapa senti, sampai dia kembali pada roman wajah datarnya. Mendengus, Stayne kini menggosok ujung hidungnya yang tidak gatal. “Oke, aku juga tidak bisa. Jadi kita seri.” Dia mengujar dengan nada kosong, menatap sinis si burung hantu yang mulai kelihatan bosan. Otaknya memilin-milin strategi lain, dan sebuah roda imajiner di dalamnya berhenti pada satu ide yang membuat Stayne kini mengangkat dagu dengan penuh kemenangan. Hmph. Memang, bagaimanapun manusia tidak akan ada yang kalah dari hewan begundal yang otaknya bahkan tidak lebih besar dari upil semut. Haa.

“Tes kedua: tirukan aku. Balita pun bisa—dan kalau kau masih tidak bisa, berarti kau hanya burung hantu biasa, yang sebentar lagi berubah bentuk jadi lima irisan daging bumbu barbeque.”

Jeda. Stayne mengatur posisi tepat di depan si burung hantu, dan menarik napas panjang. Pandangannya memicing sengit sejenak, sampai dia mundur selangkah, dan…

“HEAAAA!!”

Kayang. Lenting sempurna. Dengan keahlian setara seseorang yang memiliki bakat untuk itu sejak lahir. Ada gelegak euforia yang memoles ekspresi datar si pemuda sekarang, meninggalkan jejak berupa mata hitam pekatnya yang dipenuhi kilatan. “Nah! Kau tidak bisa, kan?! HAHAHA.” Tertawa maniakal, masih tanpa ekspresi ataupun sudut bibir yang melengkung, dia menatap si burung hantu dengan darah yang sudah memenuhi otaknya sehingga wajah itu jadi agak memerah. Tetapi yang didapatkannya sebagai balasan hanyalah segaris tatapan hitam kecil yang nampak mencemooh—dan si burung hantu melesat terbang keluar dari jendela, bahkan sebelum Stayne sempat mengerjap.


“…O-OI!!”

Dia bangkit lagi dengan terburu-buru. Terengah, Stayne mengusap keringat di satu sudut pelipisnya, seiring langkahnya yang mendekat ke tepian jendela. Nihil. Burung angkuh itu sudah jadi satu titik yang menghilang di antara awan dan langit biru, menyisakan tatapan penuh dendam dari si Windstroke muda, namun kilatan sengit tersebut tidak bertahan lama karena ada segulung perkamen yang dicetuk-cetuk angin. Menggulir jatuh dari kusen jendela. Untuk sejenak Stayne bergeming seperti fase awal pertemuannya dengan si burung hantu, tetapi pada akhirnya dia mengangkat bahu, memutuskan bahwa secarik kertas saja tidak akan membunuhnya. Entahlah. Sejak awal firasatnya kurang baik untuk ini, kau tahu. Ck.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar