“…”
Degup keras jantungnya adalah hal pertama yang terdengar setelah membaca paragraf pertama dari surat yang baru saja ia terima dari seekor burung hantu coklat yang ia tahu adalah milik Marquis—ayahnya. Tertulis di sana pemberitahuan bahwa Mandy—ibunya—sakit parah dan kepulangan Benaya sangat diharapkan. Lokasi karavan mereka pun tercantum di akhir surat tersebut. Anak laki-laki itu duduk terpuruk di atas tempat tidurnya di kamar asrama Ravenclaw sambil meremas kuat-kuat lembaran perkamen di tangannya dengan kepala tertunduk. Berita ini sungguh bukan berita yang ingin didengarnya apalagi berita yang harus menjadi alasannya untuk kembali ke karavan Marquis—ke neraka. Tempat yang dihindarinya namun sekaligus dirindukannya karena ada Mandy di sana.
“Ben? Kau kenapa?” Deniska, sahabat Benaya, duduk di sampingnya dan menepuk pelan bahunya. Khawatir melihat keadaan sahabatnya yang tidak biasanya begitu muram. Benaya tetap diam, hanya menyodorkan perkamen yang telah diremasnya pada Deniska lalu merobohkan diri berbaring di atas tempat tidur. Anak laki-laki itu bergerak menghadap ke dinding, membelakangi Deniska. Tak ingin sahabatnya melihat seperti apa wajahnya sekarang. Deniska hanya menepuk pelan punggung Benaya begitu selesai membaca surat yang ditulis di atas perkamen kumal itu. Mengembalikannya pada Benaya lalu beranjak pergi mengajak anak-anak lain yang sekamar dengan mereka. Benaya butuh waktu menyendiri.
“Thanks, Den,” gumam Benaya pelan setelah suara pintu kamar asrama yang tertutup terdengar.
***