“…”
Degup keras jantungnya adalah hal pertama yang terdengar setelah membaca paragraf pertama dari surat yang baru saja ia terima dari seekor burung hantu coklat yang ia tahu adalah milik Marquis—ayahnya. Tertulis di sana pemberitahuan bahwa Mandy—ibunya—sakit parah dan kepulangan Benaya sangat diharapkan. Lokasi karavan mereka pun tercantum di akhir surat tersebut. Anak laki-laki itu duduk terpuruk di atas tempat tidurnya di kamar asrama Ravenclaw sambil meremas kuat-kuat lembaran perkamen di tangannya dengan kepala tertunduk. Berita ini sungguh bukan berita yang ingin didengarnya apalagi berita yang harus menjadi alasannya untuk kembali ke karavan Marquis—ke neraka. Tempat yang dihindarinya namun sekaligus dirindukannya karena ada Mandy di sana.
“Ben? Kau kenapa?” Deniska, sahabat Benaya, duduk di sampingnya dan menepuk pelan bahunya. Khawatir melihat keadaan sahabatnya yang tidak biasanya begitu muram. Benaya tetap diam, hanya menyodorkan perkamen yang telah diremasnya pada Deniska lalu merobohkan diri berbaring di atas tempat tidur. Anak laki-laki itu bergerak menghadap ke dinding, membelakangi Deniska. Tak ingin sahabatnya melihat seperti apa wajahnya sekarang. Deniska hanya menepuk pelan punggung Benaya begitu selesai membaca surat yang ditulis di atas perkamen kumal itu. Mengembalikannya pada Benaya lalu beranjak pergi mengajak anak-anak lain yang sekamar dengan mereka. Benaya butuh waktu menyendiri.
“Thanks, Den,” gumam Benaya pelan setelah suara pintu kamar asrama yang tertutup terdengar.
***
Day 1 - 10AM
“Kau yakin mau menginap beberapa hari di sini?” tanya Yusuke Sawada untuk kesekian kalinya hari itu dengan mimik ragu menatap ke arah Benaya—putra angkatnya. Kedua tangan kecoklatan yang besar itu memegang kemudi mobil yang sudah berhenti tak jauh dari tempat karavannya berada.
Benaya mengangguk, “Tentu saja, Pa.” Tak ada senyuman di wajah si anak laki-laki berambut pirang platina sedagu. Tak seperti Benaya yang dikenal oleh jurnalis Daily Prophet itu. Berada dekat dengan tempat Marquis berada sudah membuat Benaya cukup tegang untuk kehilangan kemampuan menarik kedua ujung bibirnya. Sejak dulu selalu begitu. Ia takut pada Marquis. Ia tak pernah bisa tersenyum jika berada di dekat pria itu. Tak pernah bisa.
“Baiklah,” ujar Yusuke akhirnya mengalah, “biar kuantar kau ke sana. Aku belum pernah bertemu dengan orangtua kandungmu, Ben.”
Namun Benaya menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “Jangan. Tidak sekarang, Pa. Aku tak mau Papa bertemu dengan Father… beliau tidak tahu kalau Papa sudah mengadopsiku. Mother yang memberikan ijin. Father tidak.”
Yusuke menghela napas lalu tersenyum tipis. Ditepuknya kepala Benaya dengan lembut dan pria itu menganggukkan kepala, “Terserah kau saja. Mau kujemput kapan?”
“Minggu depan bagaimana?”
“Terlalu lama. Mamamu bisa merengek-rengek nanti. Tiga hari saja, ya?”
“Lima. Tidak bisa kurang lagi.”
“No. Tiga hari saja. Tidak lebih,” Yusuke menggelengkan kepalanya tak mau mengalah. Berdasarkan apa yang pernah diceritakan Benaya tentang ayah kandungnya, Yusuke tidak berani mengambil resiko membiarkan putra angkatnya berada di dekat Marquis untuk waktu yang lama. Tiga hari saja sudah terlalu lama baginya.
“Baiklah. Tiga hari,” ujar Benaya terkekeh. Ia sangat menyayangi pria Asia berkulit gelap itu. Bersyukur bisa bertemu secara kebetulan di Diagon Alley dua tahun yang lalu dan entah bagaimana mereka dengan mudahnya menjadi dekat hingga akhirnya tahun lalu ia resmi diadopsi oleh Yusuke Sawada dan istrinya. Anak laki-laki itu kemudian tersenyum ketika Yusuke mengacungkan ibu jari ke arahnya, “Sampaikan salamku untuk ibumu. Semoga ia baik-baik saja.” Benaya mengangguk lalu memeluk erat pria yang kini disebutnya sebagai Papa, “I love you, Pa…”
“I love you too, Benaya Sawada…”
Yusuke memandangi punggung putra angkatnya keluar dari mobil dengan ekspresi heran. Biasanya Benaya tak mau mengucapkan kata-kata melankolis seperti ‘I love you’ ditambah lagi biasanya jika ia menyebut nama Sawada di belakang nama Benaya, anak laki-laki itu pasti akan menambahkan ‘Elsveta’ lagi di belakangnya.
Kali ini, anak laki-laki itu hanya tersenyum.
***
Day 1 - 10.15AM
Langit hari itu cerah. Matahari bersinar tepat di tengah-tengah langit. Terkesan bersemangat membagikan kilaunya pada dunia yang disinarinya. Pepohonan yang mengelilingi hutan kecil di pinggir jalan raya London mungkin sekarang tengah berpesta pora menikmati panas sang surya dan memberikan kesejukan pada orang-orang yang berlindung di bawah dahan-dahan kokoh mereka. Benaya berjalan lambat-lambat dengan tas ransel menggantung di punggung, rambut pirang platinanya terlihat putih tertimpa cahaya. Sesekali ia menoleh ke belakang dan melambaikan tangan ke arah mobil Yusuke. Gesturnya gelisah. Seolah ingin cepat-cepat sampai namun juga tidak. Benaya ingin cepat melihat kondisi ibunya tapi tak ingin cepat bertemu dengan ayahnya. Ironis.
Ia mengangkat kepala memperhatikan apa yang kini terhampar di hadapannya. Kain-kain putih, aneka kostum warna-warni dan berbagai pakaian basah tergantung pada tali-tali yang diikat dari pohon ke pohon. Harum sabun cuci tercium. Harum yang membuatnya semakin rindu pada Mandy sehingga ia memutuskan untuk bergegas melangkah mendekati karavan yang menjadi tempat tinggalnya sejak lahir. Karavan yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Tempat di mana ayah dan ibu kandungnya berada.
Benaya menarik napas mempersiapkan hati sebelum ia kemudian mengangkat tangan kanannya untuk menarik pintu karavan. Tapi ia kemudian tersentak ketika sebuah sentuhan lembut menepuk bahunya dari belakang. Anak laki-laki itu menolehkan kepalanya dan seketika itu juga ia terlonjak dan melompat memeluk sosok yang ternyata adalah Mandy—ibu kandungnya yang dikabarkan sakit parah tersenyum memandangi dirinya dengan mimik terkejut. Tak ada yang terlihat sakit dari Mandy. Wanita itu mengenakan bandana putih di kepala dan celemek putih basah di atas pakaiannya yang mengartikan bahwa wanita itu baru saja selesai mencuci pakaian.
“Mother… kudengar kau sakit,” ujar Benaya masih memeluk ibunya, “Sudah lebih baik sekarang?”
Mandy melepaskan pelukan Benaya, menatap putranya dengan kedua alis saling bertaut. Wanita muda itu menggelengkan kepala dan jemarinya sibuk membuat kata isyarat, ‘Aku tidak sakit’.
“Tidak sakit?” Benaya menyebutkan apa yang diisyaratkan oleh Mandy dengan ekspresi yang tak kalah bingungnya, “Tapi aku menerima surat…”
Ucapannya terpotong ketika pintu karavan tiba-tiba terbuka. Mandy dengan cepat menarik Benaya berdiri di sampingnya sebelum pintu itu membentur tubuh kurus si anak laki-laki. Sosok tinggi besar dengan rambut sewarna dengan Benaya kemudian muncul dari ambang pintu. Wajahnya mirip dengan Benaya namun terkesan jauh lebih keras. Gurat-gurat bekas luka terlihat samar di pipi dan leher pria itu. Dengan kedua matanya, Marquis menatap Benaya tajam hingga anak laki-laki itu tanpa sadar melangkah mundur dan mencengkram telapak tangan ibunya kuat-kuat.
“Aku yang mengirim surat itu,” kata Marquis tersenyum miring. Tangannya yang kasar terulur menepuk keras pipi putra tunggalnya. “Kau tidak ingat rumah, eh? Tak suka tinggal di karavan? Kalau bukan karena surat itu kurasa kau tahun ini pun takkan pulang kemari.”
“A… aku…”
Benaya tercekat. Tak bisa menjawab karena ia tak punya alasan yang tepat untuk menyangkal pernyataan Marquis padanya. Namun dalam hati ia sangat marah karena Marquis tega menipunya sedemikian rupa bahkan sampai mengatakan Mandy sakit parah. Anak laki-laki itu menggigit bibir bawahnya mencoba menahan amarah dan rasa takut yang membuat jantungnya berdetak begitu cepat. Mandy merangkulnya. Memberikan perlindungan semampu yang ia bisa berikan untuk putra satu-satunya.
“Siapa yang mengantarmu kemari?” tanya Marquis penuh selidik, “Ayah barumu, eh? Di mana dia? Kenapa tidak ikut kemari supaya aku bisa menghajarnya?” Kedua tangan pria itu kini mencengkram kerah kaos Benaya, menariknya mendekat hingga rangkulan Mandy terlepas. “Kau begitu membenciku sampai-sampai nekat menjadi anak keluarga lain?! KAU ANGGAP AKU DAN IBUMU APA?! JAWAB!!”
Tubuh anak laki-laki itu gemetar hebat karena rasa takut. Ia melirik ke arah Mandy berusaha meminta jawaban kenapa Marquis tahu soal diadopsinya ia ke keluarga Sawada namun ibunya membuang muka karena perasaan bersalah. Dengan susah payah Benaya menelan ludah. Berusaha tidak bertatapan mata dengan Marquis. Tubuhnya diguncang-guncang keras hingga ia terpaksa menutup mata. Kedua tangannya terangkat mendorong tubuh Marquis agar cengkraman pria itu lepas dari kaosnya. “JAWAB AKU, BENAYA!” teriak Marquis lagi.
Benaya hanya diam. Menggigit bibirnya semakin kuat menahan tangis yang ia rasa akan segera meledak. Dirasakannya tangan Mandy memeluk pinggangnya dari belakang dan menariknya, membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Isak tangis sang ibu terdengar. Dengan tangan gemetar, Mandy berusaha meminta belas kasihan pada Marquis untuk melepaskan Benaya. Marquis menggeram. Dengan kasar ia menarik kembali Benaya, mendorong Mandy ke belakang lalu melemparkan tubuh kurus Benaya hingga menghantam bodi karavan. Tidak puas dengan itu, Marquis melangkah mendekat dan mendaratkan satu tendangan keras di perut putranya. Tak peduli dengan rintihan anak dan istrinya.
“Dengar, Ben,” Marquis meletakkan telunjuknya di ujung hidung Benaya, “Aku takkan membiarkan kau pergi lagi dari sini. Tidak ke Hogwarts. Tidak juga ke keluarga brengsek yang mengadopsimu. Mulai besok, kau ikut aku beratraksi di jalan. Sedikit saja ada kesalahan pada gerakanmu, kau akan terima hukuman yang setimpal.”
Begitu Marquis masuk kembali ke karavan, Mandy segera berlari menghampiri Benaya yang terkapar di tanah memegangi perutnya. Diangkatnya tubuh Benaya dan dipeluknya erat-erat hingga tangisnya mereda. Benaya hanya diam membalas pelukan ibunya, menenangkan wanita itu dengan berkata bahwa ia tidak apa-apa.
Ia berbohong—tentu saja.
***
Day 1 – 1.30PM
“Mother, aku benar-benar tak apa-apa,” ujar Benaya untuk kesekian kalinya siang itu. Ia hanya berdua dengan Mandy sampai Marquis pulang malam nanti. Ia berbaring di tempat tidur kecilnya di dalam karavan dengan kepala di atas pangkuan Mandy yang membelai-belai rambutnya. Wanita itu masih saja terisak dengan mata sembab memandangi memar di perut Benaya. Jemari wanita itu bergerak mengujarkan kalimat dengan bahasa isyarat. Kata maaf terujar berulang kali lewat gerakan jemari Mandy. Maaf karena telah memberitahu soal keluarga Sawada pada Marquis. Maaf karena tak menyadari Marquis mengirimkan surat berisi dusta pada Benaya hingga putranya itu terpaksa pulang. Padahal ia sudah berupaya agar Benaya tidak pulang lagi ke karavan meski karena itu Marquis sering memukulnya.
“Jangan minta maaf. Kau tak salah, Mother,” Benaya meraih jemari ibunya dan menggenggamnya kuat-kuat, “Aku tahu kau bukannya sengaja.” Anak laki-laki itu tersenyum, “Daripada membahas itu terus, lebih baik dengarkan ceritaku tentang Hogwarts.”
Mandy mengangguk dan Benaya pun mulai bercerita. Diceritakannya semua tentang apa yang ia lakukan saat pertama kali melarikan diri dari karavan menuju ke Leaky Cauldron. Bagaimana ia berjuang mencari uang untuk makan dan membeli keperluan sekolahnya. Bagaimana seorang anak laki-laki bernama Caleb Wyard berbaik hati membelikannya tongkat sihir tanpa meminta imbalan lalu tentang Cannelle Smirnoff yang berbagi anggur dan roti dengannya di penginapan. Tak lupa kisah lucu tentang Portia Pivaroth yang ia lahap tangannya karena begitu laparnya ia.
“Saat aku membuka mata, kepalan tangan anak itu sudah ada di dalam mulutku,” ujar Benaya tertawa mengingat kejadian konyol itu. Mandy hanya tersenyum—pahit. Jemarinya kembali bergerak-gerak memberikan isyarat ‘pasti berat, ya.’ Benaya menggeleng lalu melanjutkan ceritanya dengan bersemangat, “Tidak. Setelah itu aku mengadakan pertunjukkan akrobat bersama Oswald dan aku mendapatkan banyak uang dari sana, Mother! Aku bahkan masuk koran lokal dan dari sana lah aku mengenal Papa Yusuke err—yang mengadopsiku itu.”
Anak laki-laki itu terus bercerita tentang sahabatnya Deniska, tentang Oswald, Argentum, Joshua, Juliet, Estelle sampai Sorrel. Lalu tentang pertemuannya dengan Nabelle dan Zeus yang ternyata adalah kakak sepupu jauhnya. Ia juga menceritakan tentang kebenciannya pada labu dan kejadian-kejadian menyebalkan yang melibatkan labu. Terakhir, tentang Quidditch yang tahun itu diikutinya. Tak lama kemudian, anak laki-laki itu jatuh tertidur kelelahan di pangkuan Mandy.
Ia memang sudah tiga belas tahun. Tapi di depan seorang ibu, semua anak akan kembali jadi anak kecil biasa. Tak peduli berapapun usianya.
***
Day 1 – 7.25PM
“Aku tidak mau!” ujar Benaya keras ketika Marquis menarik tangannya supaya menghampiri Mr Grants—seorang pria berusia awal empat puluhan dengan kepala botak, kulit kemerahan dan perut buncit seperti wanita hamil. Anak laki-laki itu menepis tangan sang ayah dan berlari ke tempat ibunya berada, memohon bantuan dari wanita bisu itu. Mandy memeluk Benaya dan dengan jemarinya wanita itu berusaha mencari-cari alasan agar malam itu Benaya tak perlu ikut dengan Mr Grants.
“Oh, ayolah. Mr Grants hanya berniat mengajak Benaya bersenang-senang. Bukan ingin menyakitinya,” ujar Marquis dengan nada tak sabar. Mr Grants tersenyum di belakang Marquis, melambaikan tangan ke arah Benaya yang langsung membuang muka. Mr Grants adalah salah satu om-om mesum yang selalu berdalih mengajaknya jalan-jalan padahal sebenarnya tujuan di baliknya sama sekali tidak demikian. Bersenang-senang. Ya, hanya satu pihak yang bersenang-senang sementara dirinya terpaksa menahan sakit dan menahan amarah serta rasa terhina yang mencabik-cabik tubuhnya.
Lagipula, mana ada orang yang mengajak anak usia tiga belas tahun jalan-jalan malam hari dan baru diantar pulang di pagi hari? Marquis benar-benar sudah dibutakan oleh banyaknya uang yang disodorkan padanya.
`Ben baru datang. Dia harus berlatih untuk atraksi besok,` Mandy menggelengkan kepalanya, berdiri di depan Benaya. Jemari-jemarinya sibuk bergerak sementara matanya menatap tajam pada suaminya. `Tidak sekarang, Marquis.’
Bujukan Mandy berhasil. Marquis berbalik dan berbincang dengan Mr Grants serta mengantar pria itu keluar dari karavan. Tak lama kemudian Marquis kembali masuk dan langsung merenggut kaos Benaya dengan kasar, “KELUAR! Aku ingin kau melatih tubuhmu sekarang!”
Benaya mendengus lalu melangkah keluar dari karavan. Dihabiskannya malam itu dengan melatih kembali otot-otot tubuhnya yang kaku dengan melakukan beragam atraksi yang mungkin akan dilakukannya besok. Berkali-kali anak laki-laki itu terjatuh dari atas tali yang direntangkan oleh Marquis, berkali-kali pula ia mendapat tamparan keras dari sang ayah. Malam itu, nerakanya tidak berakhir. Belum.
Nerakanya baru akan dimulai.
***
Day 2 – 9.30AM
Central Park, London
Central Park, London
“Sepertinya kau harus minta ibumu membuatkan kostum baru,” ujar Marquis memandangi tubuh putranya yang terbalut celana panjang merah metalik yang agak kependekan dan sebuah rompi biru berkilat menutupi bagian atas tubuhnya yang kurus. Lebam yang ada di perut Benaya akibat tendangan Marquis kemarin telah ditutupi dengan riasan sehingga tidak terlihat. Anak laki-laki itu hanya mengangkat alis dan bahunya sebagai jawaban lalu segera berlari melambaikan tangan pada penonton yang sudah mulai berkerumun di pinggir jalan tempat mereka mengadakan pertunjukan jalanan hari ini.
“SELAMAT SIANG, CENTRAL PARKKKK!!” teriaknya bersemangat sekalipun dalam hati ia sebenarnya menggerutu, “Terimakasih atas kesediaan kalian berkumpul di sini. Sebentar lagi aku dan ayahku akan mempersembahkan atraksi-atraksi yang akan membuat kalian tak bisa beranjak dari sini! Duduk dan nikmatilah! Bila Anda menyukai atraksi kami, silakan masukkan uang Anda ke dalam kotak yang sudah disediakan.”
Penonton-penonton cilik bersorak dan bertepuk tangan ketika Benaya menampilkan kemampuan salto beruntunnya sebagai pembukaan lalu memberikan high five pada mereka sebagai ungkapan terimakasih.
“Benayaku yang cantik sudah kembali rupanya.”
Anak laki-laki itu mengerling. Senyum yang menghias di wajahnya perlahan menghilang menjadi garis datar tanpa ekspresi ketika melihat siapa yang menyapa dan membelai pundaknya di antara kerumunan penonton.
Another Mr Grants. Even worse.
“Bagaimana jika kita jalan-jalan setelah ini?” ujar pria berkacamata hitam itu tersenyum miring, “Sudah lama tidak bermain denganmu.”
“In your dream, Mr Bones,” jawab anak laki-laki itu singkat lalu melompat salto dua kali ke belakang dan berlari menghampiri Marquis yang sudah siap memulai atraksi pertama mereka.
Dua buah botol kaca kosong berwarna hijau ia pegang di masing-masing tangan. Dengan cekatan, Benaya melemparkan dua botol itu berputar-putar di udara. Marquis melemparkan botol tambahan dan anak laki-laki itu dengan mudah menangkapnya tanpa menghentikan gerak tangannya memainkan botol-botol kaca di udara. Penonton bersorak semakin keras. Sebagai penutup atraksi, Benaya melemparkan ketiga botol kaca itu tinggi-tinggi lalu bersalto ke depan dan berlutut dengan tangan terentang ke atas. Tepat di tempat ketiga botol kaca kemudian berjatuhan ke tangannya. Anak laki-laki itu berdiri dengan senyum lebar lalu membungkuk memberi hormat. Siap untuk atraksi selanjutnya.
Dua jam berlalu dengan cepat di tengah sorak-sorai penonton yang tak henti bertepuk tangan. Akhir pertunjukkan sudah di depan mata. Benaya mengangkat kedua tangannya memberikan salam perpisahan pada para penonton yang telah meluangkan waktu mereka. Ketika ia hendak mengucapkan terimakasih, Marquis menyela.
“MASIH ADA SATU ATRAKSI LAGI!” ujar pria dalam kostum yang sama dengannya itu, “Putraku akan meniti tambang yang telah dipasang di tengah panggung ini dengan bersalto!”
Gemuruh tepuk tangan kembali membahana. Benaya menatap ayahnya dengan mata terbelalak, “Tapi Father, tak ada jala pengaman.”
“Bukankah itu tantangannya?” desis Marquis mendorong tubuh putranya supaya segera bersiap-siap. “SAKSIKANLAH! ATRAKSI PALING BERBAHAYA! JIKA ANAK INI SAMPAI JATUH, TUBUHNYA AKAN TERBANTING KE LANTAI PANGGUNG!”
Sorakan kembali bergemuruh. Ada yang menatap dengan ketakutan. Ada yang semakin bersemangat. Benaya menelan ludah. Sudah dua tahun ia tidak melakukan atraksi ini. Ia tak tahu apakah keseimbangannya masih sebaik dulu atau tidak. Otot-otot di telapak kakinya sudah terlalu lama tidak bersentuhan dengan tali tambang. Saat latihan semalam pun ia berulang kali terjatuh. Tapi Marquis telah meneriakkan atraksi itu pada penonton. Ia tak bisa mundur atau memohon pembatalan atraksi. Tak ada pilihan lain, anak laki-laki itu segera memanjat naik dengan keringat dingin mengucur di pelipisnya. Jantungnya berdebar, wajahnya pucat pasi ketakutan. Jarak antara tali tambang dengan lantai panggung mungkin sekitar tiga meter. Ia tak tahu apa yang akan terjadi jika ia sampai jatuh ke bawah sana.
“Dear Merlin,” bisik anak laki-laki itu memanjatkan doanya, “Kumohon, lindungi aku.”
Benaya pun mulai menjejakkan kaki kanannya ke atas tambang. Merasakan kembali tekstur kasar tali tersebut di telapak kakinya. Ia tahu, telapak kakinya tak selentur dulu. Mencengkram tali kini terasa sulit dilakukan. Ia menatap ke seberang. Memperhitungkan jarak dan mengira-ngira berapa kali ia harus bersalto untuk sampai ke sana. Pertama-tama ia memutuskan untuk meniti tali dengan cara biasa. Kedua tangan ia rentangkan untuk menjaga keseimbangan dan ia mulai melangkah. Lambat dan penuh pertimbangan. Bisa dilihatnya pandangan tak sabar Marquis di bawah sana namun ia berusaha untuk tidak peduli. Ia perlu memupuk rasa percaya dirinya lebih dulu.
Tiga kali salto, pikirnya ketika tiba di seberang.
“Fine. Let’s do this,” ujar anak laki-laki itu menggosok-gosokan kedua telapak tangannya lalu diangkatnya ke udara, ancang-ancang untuk melakukan salto ke depan sebanyak tiga kali di atas tali tambang. Penonton terdiam menambah ketegangan. Semua pasang mata menatap ke arah Benaya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengayunkan tubuhnya menyamping, menempatkan kedua tangan di atas tambang lalu dengan satu hentakan keras dan cepat mengangkat kakinya ke udara kemudian mendarat dalam posisi berdiri lagi. Keheningan yang sempat terjadi kini kembali berubah menjadi riuh-rendah suara tepuk tangan dan sorakan penonton. Benaya menghela napas lega.
Satu putaran salto berhasil dilakukannya.
Sisa dua lagi.
Sekali lagi salto dilakukannya. Pendaratannya kali ini nyaris saja menyebabkan dirinya terjatuh jika ia tidak dengan cepat menunduk dan berpegangan pada tali. Napas Benaya tersengal. Wajahnya pucat pasi. Satu kali lagi, pikirnya. Bolehkah ia menyerah? Tubuhnya gemetar sekarang. Ia tak bisa menyangkal bahwa ia ketakutan. Benaya melirik ke arah Marquis memohon untuk menghentikan semuanya tapi ayahnya menggeleng keras dan memelototi dirinya. Ia tak punya pilihan, tak pernah punya pilihan jika bersangkutan dengan Marquis.
Ia kembali mengangkat tangannya ke udara berusaha mencari keseimbangan yang stabil untuk bersalto. Salto terakhir dan ia akan aman.
Telapak tangannya basah karena keringat. Dadanya naik turun karena ketegangan membuatnya susah bernapas. Penonton pun mulai tegang karena Benaya tak kunjung bergerak. Mereka mulai resah dan berbisik-bisik. Menunjuk-nunjuk ke atas ke arah Benaya sambil menggeleng-geleng kepala. Benaya memejamkan mata. Mencoba menenangkan dirinya. Ia tak boleh takut. Takut hanya akan menggagalkan semuanya.
“TURUN! TURUN SAJA KALAU TAKUT!” teriak seorang penonton memprovokasi penonton lainnya. Anak laki-laki itu semakin serba salah. Ditertawakan begitu banyak orang baru pertama kali dialami oleh Benaya. Bisa dilihatnya wajah Marquis memerah karena amarah. Jika ia menyerah, ia akan aman. Tapi Marquis pasti akan menghajarnya habis-habisan. “KEMBALIKAN UANG KAMI!!” teriak penonton yang lain menambah panas suasana.
“Cepat salto, Ben!” Marquis menghardiknya dari bawah. “Jangan main-main denganku!”
Anak laki-laki itu mengangguk dan mengayunkan kembali tubuhnya ke depan. Kedua tangannya berpegangan erat pada tali tambang, kedua kakinya terayun ke udara. Pada momen yang tepat ia melepas kedua tangannya berkonsentrasi pada kedua telapak kakinya untuk menapak tepat di atas tali tambang. Satu kaki berhasil menapak namun ia mendadak kehilangan keseimbangan. Telapak kakinya tak sempat mencengkram tali.
Penonton berteriak. Perempuan-perempuan mengangkat telapak tangan menutupi mata mereka. Anak-anak memejamkan mata. Yang lainnya menunjuk-nunjuk ke udara.
Benaya merasakan tubuhnya melayang jatuh dengan cepat. Ia bahkan tak sempat berteriak ketika tubuhnya terhempas di atas lantai panggung dengan keras. Marquis berlari menghampirinya dengan umpatan-umpatan kasar. Kedua pipinya ditepuk-tepuk dengan keras. Pandangannya tak lagi fokus. Suara-suara di sekelilingnya terdengar bagai ribuan sayap lebah mendengung. Perlahan, kedua kelopak matanya menutup.
Pertunjukkannya berakhir.
***
Day 2 – 11.30AM
Central Park, London
Behind the stage
Central Park, London
Behind the stage
“Apa yang kau pikirkan di atas sana, anak bodoh!?”
Itu, pertanyaan pertama yang dilontarkan Marquis ketika Benaya membuka mata dan merintih karena rasa nyeri yang sangat di punggung dan kaki kanannya. Benaya terbaring di atas tempat tidur bersprei putih di belakang panggung Central Park. Bukannya bersyukur karena putranya baik-baik saja setelah jatuh dari ketinggian 3 meter, Marquis malah menggerutu seperti orang kesetanan memarahi Benaya.
“Sekolah gila itu membuat tubuhmu jadi kaku! Kau mengacaukan semuanya, Ben! Kau tahu berapa kerugian yang akan kutanggung karena kejadian ini?! Biaya pengobatanmu dan lainnya… sialan!”
Benaya membuang muka. Wajahnya sepucat kertas. Ia berusaha mengangkat tubuhnya untuk duduk namun punggungnya terasa terbakar hingga ia membatalkan niatnya.
“Mr Elsveta tenang saja. Soal biaya pengobatan Benaya biar kuurus,” ujar suara seorang pria yang membuat Benaya terkejut. Mr Bones. Ia baru ingat kalau Mr Bones adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit terbesar di London. Wajahnya semakin pias ketika kemudian pria itu menawarkan bantuan untuk membawa dirinya untuk dirawat di rumahnya untuk menekan biaya dan Marquis menyetujuinya dengan tawa terbahak-bahak.
Pasrah. Benaya hanya diam ketika Mr Bones membantunya berdiri dan membawanya ke mobil. Menuju ke rumah besar milik pria itu.
A dirty night.
***
Day 3 – 9.10AM
“Ingat, Benaya. Jangan ikut atraksi dulu sementara ini. Ada sedikit retakan di tulang punggungmu,” ujar Mr Bones setelah membantu Benaya turun dari mobil sedan merahnya. “Kakimu yang terkilir itu juga masih harus diistirahatkan. Jangan terlalu banyak dipakai berjalan. Kau yakin tak perlu rawat inap di rumah sakit?”
Anak laki-laki itu tersenyum timpang. Menggenggam kruk yang menopang tubuh sebelah kanannya. Tubuh kurusnya kini terbungkus kemeja biru muda kedodoran milik Mr Bones dan celana panjang merah metalik yang dipakainya saat pertunjukkan kemarin.
“Kalaupun aku harus dirawat di rumah sakit, aku takkan sudi dirawat olehmu,” ujar Benaya dingin.
“Jangan ketus begitu padaku, Ben. Aku serius mengkhawatirkan kondisimu.”
“Jangan bercanda,” Benaya menatap tajam Mr Bones, “Bukankah Anda justru lebih suka menambah rasa sakit di tubuhku?”
Benaya dengan susah payah melangkah. Setiap langkah membuatnya mengernyitkan wajah karena sakit yang menggigiti sekujur tubuhnya. Ia tak menggubris Mr Bones yang memanggil dan menawarkan bantuan. Karavannya hanya sekitar lima meter di depannya namun terasa berkali-kali lipat jauhnya karena ia tak bisa melangkah dengan cepat. Sesekali anak laki-laki itu diam di tempat menopangkan tubuhnya pada kruk sebelum mulai berjalan kembali.
Ia kelelahan. Ingin segera membaringkan tubuhnya dan tidur hingga sakitnya hilang. Namun begitu ia berdiri tepat di depan pintu karavan, ia tahu bahwa keinginannya tak mungkin terlaksana dalam waktu cepat.
Dari depan pintu terdengar suara barang pecah disertai teriakan Marquis dan rintihan Mandy. Ia panik. Entah apa yang terjadi hingga Marquis mengamuk seperti itu. Ia mengangkat tangannya perlahan untuk membuka pintu karavan dan terkejut saat sebuah botol plastik kosong terbang ke arahnya dan menabrak keningnya.
“Mother!” anak laki-laki itu menjerit ketika melihat Mandy tergeletak di lantai. Darah mengalir dari kepala ibunya menggenang membentuk lingkaran di sekeliling tubuh wanita itu. Jantung Benaya terasa seperti berhenti berdetak melihat pemandangan itu. Marquis berdiri di samping Mandy dengan tangan mengepal dan wajah merah padam dengan segaris luka yang mengucurkan darah di pipi. Di tangan Mandy tergenggam sebuah botol kaca yang sudah pecah separuh.
Jemari Mandy bergerak begitu menyadari kedatangan Benaya, ‘Jangan kemari. Pergi.’
Benaya tidak melihat peringatan ibunya. Anak laki-laki itu dengan susah payah menaiki undakan karavan, tak memedulikan sakit pada punggung dan kakinya. Ia tahu tak mungkin bisa melawan Marquis apalagi dengan keadaannya saat ini. Namun insting seorang anak mendorongnya untuk melindungi Mandy. Kruk yang menopang tubuhnya ia lepas begitu saja. Anak laki-laki itu menjatuhkan diri ke atas karpet yang mengalasi seluruh permukaan bagian dalam karavan lalu ia merangkak mendekati tubuh ibunya, menutupi tubuh wanita itu dengan tubuhnya sendiri.
“Father, hentikan!” ujarnya dengan suara parau, “Kau mau membunuh Mother?!”
“Ibumu perlu diajari untuk tunduk pada suami,” geram Marquis menatap Benaya dengan mata nanar, “Dan kau juga.” Ditariknya tubuh Benaya dengan kasar hingga berdiri di hadapannya. Tak peduli dengan jerit kesakitan yang keluar dari bibir putranya. Marquis mencengkram kerah kemeja Benaya, mengangkat anak laki-laki itu hingga kedua kakinya tidak lagi menjejak karpet karavan. Benaya mengerang kesakitan namun pria itu terkekeh. Bau alkohol tercium dari napas Marquis.
“Kau mabuk, Father.”
“DIAM! Di sini hanya aku yang berhak bicara!!” bentak Marquis, “Kau juga harus diajari untuk hormat pada ayahmu!”
“ARGHHH!!” Benaya menjerit ketika tubuhnya dengan keras dihantam ke lemari. Napasnya tersengal. Ia mulai tercekik karena cengkraman tangan Marquis di kerah bajunya. “Fa-ther… can’t breathe…”
Cengkraman Marquis tiba-tiba mengendur. Mandy menusukkan botol kaca pecah yang dipegangnya ke kaki Marquis yang langsung mengamuk dan menendang perut Mandy berulang kali. Benaya menjerit, digigitnya tangan Marquis keras-keras hingga kerah kemejanya bebas sepenuhnya. Anak laki-laki itu merosot jatuh. Tubuhnya gemetar kesakitan namun ia seolah tak merasakannya. Dengan gerak yang cepat untuk seseorang yang terluka, anak laki-laki itu kembali menutupi tubuh ibunya. Ditatapnya wajah Mandy yang basah oleh air mata dan darah. Ia sungguh tak habis pikir ada apa sebenarnya sehingga kedua orangtuanya saling melukai seperti ini. Biasanya, Mandy selalu mengalah hingga amarah Marquis tak tersulut.
“Ada apa sebenarnya, Mother?” bisik Benaya terisak. Ia sedih melihat keadaan ibunya sekaligus marah karena perbuatan ayahnya. Seandainya, seandainya ia selamat hari ini. Ia akan memohon pada Yusuke untuk membawa serta Mandy bersama dengannya ke rumah keluarga Sawada. Mandy tiba-tiba memeluknya, mengangkat tubuhnya hingga kini ia yang berada di bawah ibunya. Gerakan itu terlalu cepat hingga ia lagi-lagi mengerang kesakitan. Namun erangannya tertutup oleh teriakan ibunya. Teriakan yang baru pertama kali ia dengar dari mulut ibunya yang bisu.
Ia melihat kejadiannya dengan jelas. Marquis memukul kepala ibunya dengan vas bunga. Seharusnya pukulan itu mengenai kepalanya. Mandy mengorbankan dirinya. Bagai adegan gerak lambat, ia melihat darah keluar dari mulut Mandy sebelum tubuh wanita itu rebah lagi ke karpet. Tak bergerak lagi.
“Mother…” gumam Benaya ketakutan. Anak laki-laki itu menyeret tubuhnya mundur. Menjauh dari Marquis yang justru berjalan mendekatinya. “Pembunuh…” desis Benaya. Ia terjebak. Tak ada tempat lagi untuk menghindar. Punggungnya terasa terbelah dua dan kakinya tak mampu bergerak cepat. Anak laki-laki itu menggapai-gapai ke atas meja ketika menyadari tubuhnya bersandar dengan lemari penyimpanan peralatan memasak ibunya. Ia membuka-buka laci mencari-cari sesuatu yang bisa ia pakai untuk membela diri.
Marquis berdiri di depannya. Tepat di depannya hingga ia terpaksa mendongak untuk melihat wajah ayahnya yang kini terlihat seperti setan di matanya. Setan dengan air mata berurai.
“Aku terpaksa. Aku tak sengaja melakukannya,” ujar Marquis. Suaranya bergetar. “Ibumu terus menerus memaksaku menjemputmu di tempat Mr Bones. Dia bahkan mengataiku ayah yang tidak becus. Ben, dia membuatku marah besar.”
“Kau pembunuh!”
Tangannya menemukan gagang pisau di dalam salah satu laci. Digenggamnya dengan tangan gemetar pisau tersebut dan mengacungkannya ke arah Marquis.
“Jangan, Nak. Kau bukan anak yang mampu melukai orang lain,” Marquis berjongkok di depan Benaya. Pisau di tangannya direbut dengan mudah oleh Marquis. Benaya menelan ludah. “Tapi, aku terpaksa harus menghabisimu karena kau bisa jadi saksi yang memberatkanku. Tidak, tidak, aku tidak mau berurusan dengan polisi. Karena itu aku harus membunuhmu. Walaupun itu berarti aku akan kehilangan sumber uangku.”
“Father, kau sudah gila…” ujar Benaya tersengal ketika Marquis tiba-tiba memegang kepalanya dengan dua tangan dan mulai membentur-benturkannya ke permukaan meja dapur yang keras. Makin lama makin keras. Ia tak bisa melawan. Tubuhnya sudah terlalu lelah dan kesakitan. Tendangan yang kemudian diterimanya berkali-kali pun tak lagi terasa apa-apa. Ia merasa melayang. Seolah ada di sana tapi juga tak ada. Dua hal yang terakhir ia ingat sebelum semuanya gelap adalah ayunan pemukul bisbol Marquis dan wajah Yusuke Sawada.
Dear Merlin,Kuharap semua ini hanya mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar