Halaman

Jumat, 08 April 2011

Not the Best Day


The River Cafe, 28 Desember 1993

“Lagumu bagus, kuakui,” seorang pria setengah baya dengan kumis pirang tipis dan rambut pirang panjang menjuntai hingga ke bahu menghampiri Benaya sambil bertepuk tangan tanpa suara. Pemuda enam belas tahun itu baru saja selesai menyelesaikan pekerjaan sambilannya bernyanyi di kafe yang menyediakan masakan Italia tersebut. Beberapa lagu dari penyanyi-penyanyi terkenal ia nyanyikan atas permintaan para pengunjung yang menyantap makan malam mereka dan beberapa lagu yang ia gubah bersama gitar kesayangannya pun turut mewarnai suasana romantis malam itu. “Namamu Benaya, benar?” Pria itu kembali bertanya bahkan sebelum pemuda yang disapanya menoleh.

“Thanks,” ujar Benaya setelah memasukkan gitarnya kembali ke dalam sarung lalu menggendongnya dan menoleh ke arah seseorang yang menyapanya. Sesaat, pemuda bertubuh tinggi kurus itu mengernyit heran melihat pria di hadapannya. Kacamata hitam menutupi sepasang mata pria itu, terlihat ganjil karena kafe The River memiliki pencahayaan yang temaram. Lagipula saat itu hari sudah malam. “Ya, namaku Benaya, darimana Anda tahu?” ia akhirnya memutuskan untuk mengabaikan keganjilan tersebut dan mengulurkan tangan untuk menyalami pria tersebut. Dalam hati berharap beliau adalah seorang produser dari label musik terkenal yang hendak merekrutnya menjadi penyanyi profesional.


“Aku menanyakannya pada seorang pelayan,” pria itu menjawab dengan lugas lalu mempersilakan Benaya untuk duduk di sebuah meja yang terdekat dengan panggung. “Keberatan jika berbincang-bincang sejenak denganku sambil menikmati makan malam? Aku tertarik dengan selera musikmu.”

Benaya kembali terheran-heran. Tak biasanya ada seseorang yang terang-terangan menghampirinya dan mengajaknya makan malam bersama seperti ini. Jantungnya berdegup semakin cepat karena gairah yang timbul akibat pemikiran dan harapannya. Mungkin ini hari keberuntungannya. 

“Tentu, aku tak keberatan, Tuan…?”

“Holligan. Marquis Holligan.”

“Ah, tuan Holligan. Nama Anda sama seperti nama almarhum ayahku,”—bahkan perawakannya. Benaya meletakkan gitarnya di salah satu kursi yang melingkari meja bertaplak putih itu. Pemuda itu tersenyum. “Kuharap Anda juga tak keberatan jika aku minta waktu sejenak untuk menelepon ke rumah. Ibuku akan sangat marah jika aku pulang terlambat tanpa memberitahunya.”

Pria itu mengangguk.

Benaya segera menghampiri konter bar di mana pesawat telepon kafe itu ada. Ia segera menelepon ke rumah dan kebetulan Yusuke Sawada—ayah angkatnya—yang menerima telepon tersebut. “Halo? Papa,” Benaya mulai berbicara. “Aku akan pulang sedikit terlambat malam ini. Seseorang mengundangku makan malam.”

“Kekasihmu?” tanya suara di seberang sana dengan nada menggoda.

“Sayangnya bukan,” Benaya tertawa. “Ini mungkin jauh lebih baik dari itu, Pa. Pria ini berkata dia tertarik dengan lagu dan selera musikku.”

“Kedengarannya menjanjikan. Baiklah, jangan terlalu lama. Aku tak tahu sampai kapan Mamamu akan sabar menunggu. Mengerti?”

“Yes, Sir.”

“Punggungmu bagaimana? Malam ini cuaca lebih dingin dari biasanya.”

“Sedikit sakit tapi tak mengganggu,” ujar Benaya seraya melirik ke arah pria berkacamata hitam itu. “Aku tutup teleponnya, ya. Tuan Holligan menunggu. Bye, Papa."

Ia pun menutup teleponnya dan segera berjalan kembali ke meja di mana pria berkacamata hitam itu menunggunya. Benaya melirik sekilas ke luar kafe mencari sosok sahabatnya—Deniska—yang tadi mengiringi nyanyiannya dengan gesekan biolanya yang klasik. Ah, Deniska rupanya sedang berbincang-bincang dengan kekasihnya di meja yang ada di luar sana. Benaya tersenyum lalu duduk dan kembali menatap Mr Holligan.

“Maaf membuat Anda menunggu, Mr Holligan,” ujar Benaya ramah, “Boleh aku tanya sesuatu pada Anda?”

Pria itu mengangguk, tanpa tersenyum.

“Apakah Anda seorang produser musik atau semacamnya?”

Mr Holligan terdiam sejenak, menatap Benaya di balik kacamata hitam yang menyembunyikan ekspresi sebenarnya lalu tiba-tiba saja pria itu tertawa terbahak-bahak membuat Benaya mau tak mau ikut tertawa demi kesopanan. Meski sebenarnya pemuda itu tak mengerti alasannya.

“Kau ini sangat frontal, anak muda,” Mr Holligan akhirnya berujar. Tawa masih tersisa di mulut pria itu. “Ya, aku seorang produser musik dan aku sedang mencari penyanyi baru untuk diorbitkan.”

“Apakah Anda merasa aku bisa menjadi penyanyi yang diorbitkan perusahaan Anda?” tanya Benaya lagi penasaran. Khusus untuk bidang yang digelutinya ini, Benaya tak ingin hanya berpasrah pada keadaan. Dunia musik begitu keras dan jika ia tidak berusaha maka ia takkan pernah bisa menggapai impiannya. Sekarang kesempatan ada di depan mata dan ia jelas takkan mengabaikan kesempatan itu. Kadang, kesempatan hanya datang satu kali seumur hidup. “Kalau Anda ingin, aku bisa mengirimkan demo tape dari semua lagu yang telah kutulis pada Anda. Ada sekitar lima buah yang su—”

“Wow, wow, sabar, anak muda,” Mr Holligan memotong ucapan Benaya dan tertawa renyah. “Kau bersemangat, itu poin yang sangat bagus.” Benaya tersenyum kikuk. “Kau bawa demo tapenya sekarang?” tanya Mr Holligan dan Benaya menggeleng. “Sebenarnya, aku sedang mengumpulkan uang untuk membuatnya. Tapi aku janji akan segera mengirimkannya pada Anda, secepatnya.”

Mr Holligan mengangguk-angguk lalu menjentikkan jari memanggil seorang pelayan yang segera datang tergopoh-gopoh ke meja mereka. “Kita pesan makanan dulu, Benaya,” ujar Mr Holligan tersenyum datar. “Aku minta seporsi beef steak dengan saus barbecue lalu sebotol bir terbaik yang kalian punya di kafe ini,” Mr Holligan memesan, “Pesan yang kau mau, Benaya. Kutraktir.”

“Ah, terimakasih, Mr Holligan,” ujar Benaya sungkan lalu menoleh ke arah pelayan, “Kalau begitu samakan pesananku. Tapi untuk minumannya, aku minta jus jeruk.”

Tak lama setelah pesanan mereka datang, Deniska menghampiri Benaya bersama dengan Beauty Donks—kekasihnya. Ekspresi Deniska terlihat aneh ketika mendapati sahabatnya tengah bersama dengan seorang pria mencurigakan. Menyadari ekspresi tersebut, Benaya berdiri dan mendekati sahabatnya. “Deniska, Beauty, perkenalkan ini Mr Holligan. Beliau seorang produser musik,” ujar Benaya memperkenalkan Mr Holligan pada sahabatnya. “Beliau tertarik dengan musikku, Den,” bisiknya di telinga Deniska. Sahabatnya hanya mengangguk samar dan terus memerhatikan Mr Holligan dengan tampang curiga. Di samping itu, Beauty tersenyum sopan dan menyapa pria berkacamata tersebut. Terlihat mencoba untuk terlihat wajar, “Selamat malam, Mr Holligan.”

Mr Holligan tersenyum lebar, ikut berdiri kemudian menyodorkan tangan pada Beauty dan juga Deniska, “Marquis Holligan. Produser musik. Aku berminat merekrut teman kalian ini dan mengorbitkannya. Kalian seharusnya ikut senang, eh? Kalau tak salah tadi kau yang memainkan biola di panggung.”

Deniska mengangguk, tak juga bicara sehingga Mr Holligan jadi terlihat serba salah.

“Benaya, bagaimana kalau kita lanjutkan pembicaraan kita di tempat tinggalku?” tanya Mr Holligan tiba-tiba.

Benaya nyaris saja mengiyakan ketika Deniska tiba-tiba memotong kata-katanya, “Kurasa pembicaraan apapun itu bisa dilakukan di tempat ini, Mr Holligan.”

“Ah, masalahnya, aku ingin segera memperlihatkan studio rekaman pribadiku pada temanmu ini, Deniska,” Mr Holligan menepuk bahu pemuda albino itu dengan gestur akrab. “Kau bilang perlu uang untuk membuat demo tape, Benaya? Kau bisa pakai studioku jika bersedia ke tempatku malam ini juga. Gratis. Bagaimana?” Mr Holligan tersenyum penuh arti pada Benaya yang mulai bimbang.

“Memangnya tidak bisa besok atau hari lain, Mr Holligan? Kenapa kesannya Anda begitu memaksa supaya Benaya ke tempatmu hari ini juga?” tanya Beauty tiba-tiba. “Memangnya Anda sebegitunya memerlukan penyanyi baru di perusahaan Anda?”

Mr Holligan mendengus, terlihat kesal. Benaya yang melihat hal tersebut mungkin bisa berpengaruh pada karir musiknya mencoba mendinginkan suasana. “Maafkan teman-temanku, Mr Holligan. Tapi kurasa mereka benar, aku tak mungkin bisa ke tempat Anda sekarang,” ujar Benaya. Bagaimana pun ia telah berjanji pada ayah angkatnya untuk segera pulang dan janji adalah hutang meski ia merasa tak enak melihat perubahan ekspresi pada wajah Mr Holligan. “Aku sudah berjanji pada ayahku untuk pulang begitu selesai makan malam dengan Anda.”
“Ayah… ayah…” geram Mr Holligan. Pria itu tiba-tiba saja meletakkan kedua tangannya di pundak Benaya dan mendekatkan wajahnya ke wajah pemuda itu. Benaya mengernyit heran, tak mengerti dengan perubahan perilaku pria berambut panjang tersebut. Deniska, dengan cepat menarik kacamata hitam itu lepas dari wajah Mr Holligan dan pemuda albino itu tercekat. “Kau… ayah kandung Benaya?!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar