“Where am I?”
Aku terbangun di atas sebuah tempat tidur usang dan berbau apak, di dalam sebuah ruangan yang penuh dengan keropeng pada dindingnya. Kepalaku terasa sangat berat, begitu pun dengan kelopak mataku. Aku merasa sangat mengantuk. Aku bahkan tak tahu kapan aku datang ke tempat ini. Hal terakhir yang kuingat adalah pria bernama Marquis Holligan yang mengaku sebagai ayah kandungku berdebat dengan sahabatku di kafe tempat aku bekerja menjadi penyanyi paruh waktu lalu aku memutuskan untuk ikut bersama pria itu didorong rasa marah pada semua orang yang telah membohongiku karena berkata bahwa ayah kandungku sudah tiada, termasuk pada sahabatku—Deniska.
Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi. Aneh.
“Rumahku,” ujar sebuah suara bariton, “dan rumahmu juga, Benaya.”
“Mr Holligan…”
“Panggil aku Father, Benaya. Just like you used to call me before,” Mr Holligan menyela dan menatapku nanar. Tatapannya terasa familiar dan membuatku bergidik ngeri. “Dan namaku sebenarnya Marquis Elsveta, sama sepertimu. Benaya Floreano Silvan ELSVETA.” Suara ayahku yang tak kukenal terdengar semakin dingin, lebih dingin dari cuaca yang membekukan tulang-tulangku saat ini. Berbeda dengan Mr Holligan yang tadi menghampiriku di kafe seusai aku bekerja. Keramahan itu telah hilang. Aku merasakan jauh di dalam hatiku bahwa pria di hadapanku ini tidak menyayangiku seperti yang diucapkannya padaku di depan Deniska beberapa waktu lalu. “Bukan Benaya SAWADA!”