Halaman

Sabtu, 16 April 2011

Not Wanted Christmas Holiday

“Where am I?”

Aku terbangun di atas sebuah tempat tidur usang dan berbau apak, di dalam sebuah ruangan yang penuh dengan keropeng pada dindingnya. Kepalaku terasa sangat berat, begitu pun dengan kelopak mataku. Aku merasa sangat mengantuk. Aku bahkan tak tahu kapan aku datang ke tempat ini. Hal terakhir yang kuingat adalah pria bernama Marquis Holligan yang mengaku sebagai ayah kandungku berdebat dengan sahabatku di kafe tempat aku bekerja menjadi penyanyi paruh waktu lalu aku memutuskan untuk ikut bersama pria itu didorong rasa marah pada semua orang yang telah membohongiku karena berkata bahwa ayah kandungku sudah tiada, termasuk pada sahabatku—Deniska.

Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi. Aneh.

“Rumahku,” ujar sebuah suara bariton, “dan rumahmu juga, Benaya.”

“Mr Holligan…”

“Panggil aku Father, Benaya. Just like you used to call me before,” Mr Holligan menyela dan menatapku nanar. Tatapannya terasa familiar dan membuatku bergidik ngeri. “Dan namaku sebenarnya Marquis Elsveta, sama sepertimu. Benaya Floreano Silvan ELSVETA.” Suara ayahku yang tak kukenal terdengar semakin dingin, lebih dingin dari cuaca yang membekukan tulang-tulangku saat ini. Berbeda dengan Mr Holligan yang tadi menghampiriku di kafe seusai aku bekerja. Keramahan itu telah hilang. Aku merasakan jauh di dalam hatiku bahwa pria di hadapanku ini tidak menyayangiku seperti yang diucapkannya padaku di depan Deniska beberapa waktu lalu. “Bukan Benaya SAWADA!”


Firasatku buruk.

Seharusnya aku mendengar ucapan Deniska untuk tidak ikut kemanapun dengan pria di hadapanku. Seharusnya aku tidak terbuai dengan perasaan senang mengetahui ayah kandungku masih hidup dan lantas berharap mendapatkan kasih sayang seperti yang kudapat dari ayah angkatku. Aku mencengkeram liontin di dadaku, membukanya dan membandingkan wajah yang ada di foto dalam liontin tersebut dengan sosok aslinya di hadapanku. Orang yang sama. Perbedaannya, yang di hadapanku sekarang lebih kurus dan lebih berantakan. Tapi itu tak mengubah kenyataan. Pria ini benar ayah kandungku.

“Fa… Father…” aku menyebutnya dengan canggung. Pria itu asing untukku. Walau di wajahnya aku bisa menemukan refleksi wajahku sendiri, aku tetap merasa tak mengenalnya. Anehnya, aku merasa takut padanya.

“Benar, seperti itu seharusnya,” ayahku terkekeh sembari menjilat bibirnya lalu berjalan menghampiriku yang masih terbaring lemah di atas tempat tidur. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi dan mengapa tubuhku jadi seperti ini. Rasanya persis seperti ketika aku tersadar di rumah sakit dua tahun lalu, saat ingatanku hilang total. Tak mungkin aku sedang berada dalam pengaruh obat bius sekarang. Atau memang itu alasan kantukku ini?

“Apa yang terjadi padaku?” akhirnya aku bertanya juga, “Kenapa aku bisa ada di sini?” Terlebih lagi dalam keadaan tidak sadar, pikirku dalam hati. Aku berusaha mengangkat tubuhku untuk duduk dan bersyukur karena ternyata aku masih sanggup melakukannya.

Kulihat ayahku memandangiku dengan dahi berkerut dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya, “Kau masih kuat duduk?” Kali ini, aku yang balas memandangnya dengan dahi berkerut.
“Apa maksudmu, Father?”

“Ah, bahkan sejak tadi kau masih bisa berbicara dengan normal,” ujar ayahku lagi tanpa menjawab pertanyaanku. Dia terlihat keheranan.

“Father, apa yang telah kau lakukan pada tubuhku?” tanyaku dengan nada ngeri dan ayahku tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak seperti tokoh-tokoh antagonis dalam film-film Muggle. Dia kemudian duduk di tempat tidur, di hadapanku, mengulurkan tangan untuk mencengkeram tangan kananku dan menariknya. Barulah saat itu aku tersadar, ada bekas luka kecil serupa titik kemerahan pada lipatan sikuku. “Apa ini?” tanyaku lagi.

“Ben, amnesiamu memberi kemudahan untukku membawamu kemari,” ujarnya terkekeh senang. “Kau bahkan sama sekali tak curiga waktu aku memasukkan obat bius dalam minumanmu.” Ayahku mulai tertawa lagi hingga wajahnya memerah. “Mereka bilang aku sudah mati padamu, ya? HAHAHA…” Aku menarik tanganku dari cengkeramannya namun ia mencengkeramku makin keras. “Ternyata keluarga barumu itu pembohong, Ben. Bagaimana rasanya waktu tahu kalau aku masih hidup?”

Ekspresi wajahnya membuatku takut sekaligus muak. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku rasanya jadi mengerti kenapa keluarga Sawada, Belle, Zeus dan Deniska membohongiku soal keberadaan pria di hadapanku ini.

“JAWAB AKU, BENAYA! KAU SELALU SAJA DIAM KALAU AKU BERTANYA!”

Aku terkejut ketika tiba-tiba ayah menampar pipiku sangat keras hingga aku terguling jatuh dari tempat tidur. Tak hanya itu, dia tiba-tiba berdiri dan menendangi perutku, punggungku, kakiku bahkan kepalaku. Dengan kedua tanganku, aku melindungi kepalaku dari tendangannya dan memejamkan mata. Aku menahan sakit yang bertubi-tubi di seluruh tubuhku. Keadaan seperti ini rasanya pernah aku alami. Dulu. Sering. Saat aku masih kecil, saat aku…

“Kenapa diam!?” Dia terus menendangku. Tak peduli pada jeritan kesakitan dari bibirku yang sobek karena tendangannya. “Bukankah sejak dulu kau sudah terbiasa kuperlakukan begini, Ben? Masih belum ingat?”

Tiba-tiba aku mendengar jeritan ibuku di dalam kepala berlanjut dengan kelebatan memoriku yang hilang tentang kenangan saat… “Mother meninggal karena melindungiku…” aku bergumam dan terhenyak. Ingatanku kembali. Ayah sepertinya mendengar suaraku karena dia menghentikan tendangannya. “Kau… Father! KAU PEMBUNUH!” aku menjerit, berdiri dan mencoba menyerang ayahku. Tak sadar bahwa tubuh ayah yang jauh lebih besar dariku bisa dengan mudah membuatku terlempar menabrak dinding di belakangku. “Kau yang membunuh Mother!” aku masih memekik ketika ayah dengan cepat menarik tanganku dan menekuknya ke punggungku, tubuhku dengan cepat diputar balik hingga kini aku bersandar di dadanya, dengan lengan ayah di leherku, memblokir gerakanku.

“Untunglah kau masih sama lemahnya seperti dulu,” ujar ayah tersenyum.

Let go of me!” aku memberontak, menggigit lengan ayahku keras-keras dan berhasil mendapatkan kebebasan sesaat sebelum ayah tiba-tiba menendang punggungku. Aku terjatuh ke lantai. Punggungku sejak awal sudah terasa sakit akibat cedera pada sarafku dua tahun lalu dan ditambah dengan tendangan-tendangan sebelumnya juga tendangan yang baru saja bersarang, punggungku terasa seperti terbelah dua. Aku terengah-engah di lantai dengan wajah pucat pasi. Kutopang tubuh dengan kedua tanganku, berusaha untuk bangkit lagi. Tetapi ayah lebih cepat, dia menginjak punggungku dan menekankan kakinya kuat-kuat.

“Punggungmu cacat, eh?”

“Thanks to you, Father,” ujarku menyindirnya. Dia yang menyebabkan tulang punggungku patah dua tahun lalu, dia yang membuatku kehilangan ingatanku.

"Rupanya pukulan waktu itu tak cukup untuk membuatmu mati," ayahku berdecak kecewa, "Kau tak selemah yang kukira, Benaya." Dia kemudian berjongkok dengan satu kaki masih di atas punggungku, dipegangnya daguku dan dipaksanya aku menoleh ke arahnya. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk mendorong tubuh besar ayahku sekuat tenaga dengan tanganku yang bebas. Dia jatuh terduduk, mendengus lalu berdiri lagi. Saat itu aku sedang berpegangan pada tepi ranjang mengangkat tubuhku yang terasa lebih berat dua kali lipat dari biasanya. Ayah balas mendorongku hingga aku tersungkur kembali ke tempat tidur. Kutendang wajahnya dengan kedua kakiku, aku berhasil membuat hidungnya mengeluarkan darah.

Tiba-tiba saja pintu kamar itu terbuka, dua orang berkostum hitam dan berbadan kekar masuk ke dalam. Aku terkesiap. Tak mengira ada orang lain di rumah yang tak kukenal ini. Dua orang itu memanggil ayahku dengan sebutan `Bos` yang terdengar ganjil di telingaku.

"Kalian sudah datang rupanya," aku melihat ayahku mengambil suatu bungkusan dari salah satu dari mereka. "Tolong, pegangi anak itu."

Aku berusaha lari, namun kondisi badanku saat itu membuat gerakanku melambat. Dua orang berkostum hitam itu memegang masing-masing tanganku, aku dipaksa berbaring di atas tempat tidur. Aku meronta, menendang-nendang kemanapun aku bisa sampai ayah menahan dan menduduki kedua kakiku. 

"Father? Apa yang mau kau lakukan padaku?!" jeritku ketakutan. Kulihat ayah memegang sebuah jarum suntik yang berasal dari dalam bungkusan beserta satu ampul berisi cairan tak berwarna yang kemudian dimasukkannya ke dalam jarum suntik tersebut. "What's that?!" Aku menelan ludah, usahaku meronta sudah tak ada gunanya. Ketika salah satu orang yang memegangiku menarik paksa tanganku agar lurus dengan posisi lipatan sikuku berada di atas, aku hanya bisa memohon pada ayahku, "Please, Father. Don't do this to me!"

Ayah tak menggubris permohonanku, dia malah memberi isyarat pada anak buahnya untuk membekap mulutku hingga aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Cairan ini adalah heroin jenis baru," ujar ayahku tersenyum padaku. Dia mengoleskan alkohol di lipatan sikuku dengan kapas, menyentuhnya, mencari pembuluh darahku. "Aku sedang mengembangkannya bersama beberapa teman," dia melanjutkan. Aku bisa merasakan jarum itu kemudian menembus ke balik kulitku, masuk ke pembuluh darahku. "Efeknya lebih kuat daripada heroin biasa dan hebatnya, heroin ini takkan terdeteksi lewat urin," ayah terkekeh, ia menyuntikkan cairan itu ke dalam tubuhku. 

Aku mengerang. Aku ketakutan. 

Aku tahu, ayah akan menyiksaku sampai aku memohon untuk mati. 

"Kuucapkan selamat padamu, Ben. Kau orang pertama yang merasakan kehebatan heroin baru ini." 

Aku mengerang lagi, mulai merasakan efek obat itu membuatku melayang. Mataku tak lagi fokus. Aku mual. Pusing.

"Heroin baru ini butuh uji coba dan kebetulan sekali aku menemukanmu di kafe itu," ayahku terus berkata-kata, "Aku juga perlu tahu sejauh mana tubuh manusia bisa bertahan dengan obat ini."

Setelah itu, aku tak tahu apa yang terjadi, setiap kali kesadaranku kembali, ayah kembali menyuntikkan obat itu padaku sambil mengucapkan sesuatu yang membuatku didera perasaan bersalah, "Ibumu mati karena kau." Atau, "Kalau saja kau tak menghindar, aku takkan kehilangan Mandy waktu itu." Atau, "Kau yang membuat hidupku hancur, Ben. Aku takkan membiarkanmu bersenang-senang." Entah sudah berapa hari berada di tempat itu dalam keadaan yang semakin lemah, tanpa asupan makanan, tanpa diberi minum yang cukup, ayah kembali menyuntikkan obat itu. Setiap suntikan, dosisnya selalu ditambahkan. Setiap suntikan, aku selalu tidur lebih lama. Tidur dalam perasaan rileks yang aneh.

"Kenapa kau masih belum juga mati?" tanya ayah kali itu sambil menyuntikkan lagi tubuhku dengan heroin barunya. Kali ini, aku bisa merasakan, ia menyuntikan cairan itu berkali-kali, entah berapa banyak yang masuk mengaliri pembuluh darahku. Aku sudah tak peduli lagi. Obat itu memberiku rasa nyaman yang membuatku gila. Membuatku membayangkan banyak hal-hal menyenangkan dalam lelapku, tak peduli senegatif apapun bisikan yang disampaikan ayah sebelum aku tertidur. Membuatku berjumpa lagi dengan ibu yang kurindukan. Aku tak lagi merasa kesakitan ataupun kedinginan. Aku bahkan sudah tak punya kemampuan untuk bicara. Hanya terdiam memandangi ayahku menghancurkan tubuhku, membunuhku pelan-pelan.

Aku tak sadar ketika tiba-tiba jarum itu patah karena gerakan tiba-tiba yang dibuat ayah. Dalam setengah sadarku, aku melihat kelebatan orang-orang yang mendobrak masuk ke dalam kamar itu, menarik ayahku menjauh dariku disusul suara hantaman dan bentakan keras. Itu suara Zeus, aku masih mengenalinya. Lalu suara lain terdengar di telingaku, memanggil-manggil namaku dengan nada memaksa. Deniska.

"Ben!? Ben!?"

Suara itu terdengar makin jauh, aku menoleh ke arahnya, memandang pada kedua mata rubinya yang terlihat ketakutan. Tubuhku mulai bereaksi pada obat yang disuntikkan oleh ayah. Nampaknya memang terlalu banyak hingga tubuhku gemetar hebat, aku kejang. Semuanya kemudian gelap ketika mataku tak lagi bisa melihat dengan benar meski mataku terbuka lebar. Aku mengerang. Aku berteriak tertahan. Sesuatu mendorong keras dari dalam tubuhku, memaksa keluar dari mulutku.

Busa.

Aku tahu, aku merasakannya. Aku sudah berada di ambang maut. Ayah memasukkan dosis yang terlalu banyak dengan sengaja. Untuk membunuhku.

"BEN! BERTAHANLAH!"

Aku sudah tak bisa lagi bereaksi. Hanya ada penyesalan dalam hatiku karena aku belum sempat melakukan banyak hal yang ingin kulakukan untuk masa depanku. Aku menatap Deniska dengan kekuatan terakhirku, meremas tangan Zeus yang menggenggamku erat. "Ben! Bertahanlah, jagoan!" Zeus menyemangatiku bersama dengan Deniska, "Marquis sudah diamankan, Ben! Please, kau harus bertahan!" Kakak sepupuku membersihkan busa dari mulutku yang mulai membiru. Kusunggingkan senyum lemah ke arahnya. Itu tenaga terakhirku. Setelah itu aku dikuasai oleh gelap.

Tanganku tak lagi bisa meremas tangan Zeus. Jatuh terkulai ke sisi tubuhku.

Hal terakhir yang kurasakan, tubuhku diangkat. Pasti itu Zeus.

Ataukah malaikat maut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar