Halaman

Minggu, 29 Juli 2012

The Maze of Sins


Disclaimer:
  • The amazing plot : Hunger Games by Suzanne Collins.
  • IndoCapitol, para admin dan staffnya, juga para member. Tanpa adanya kalian, FF ini mustahil ada.
  • Mariel Soehner, Zdenek Zaboj, Allison Harvard sebagai visualisasi dari Hellen, Zephaniah dan Zinnia Lore/Hannah Lore.
***




Hellen Lore; Mother of Zinnia and Zephaniah Lore

***

Begitu aku tersentak kembali pada kesadaran...
Aku t'lah terbenam di dalam lumpur hisap
bernama DOSA....
Terlalu dalam hingga aku tak lagi
memiliki kesempatan untuk
keluar dari sana....

***

"Hanna Bell!"

Aku masih ingat dengan jelas rentetan kejadian ketika nama adikku dipanggil sebagai peserta perempuan dari distrik satu untuk Hunger Games  ke-32. Namanya terdengar menggema dari pengeras suara di sekeliling panggung pada hari pemungutan, bercampur dengan suara desah napas lega tertahan dari para penduduk perempuan distrik satu yang lain. Aku menahan napasku saat itu, menunggu apakah akan ada seseorang yang mencalonkan diri untuk menggantikan posisi Hanna. Biasanya, penduduk distrik satu berlomba-lomba untuk mengajukan diri, tapi tidak saat itu. Tak ada seorang pun yang mengangkat tangannya. Tak ada seorang pun yang mengatakan bersukarela menggantikan Hanna.

Tidak juga aku.


Aku bisa melihat ketakutan Hanna dari caranya menangis. Kepalanya tertunduk, kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Bahunya berguncang hebat. Aku menggigit bibirku, memandangi Hanna dihampiri oleh dua orang penjaga perdamaian. Aku menangis. Aku sepenuhnya sadar bahwa aku akan kehilangan Hanna. Hanna tak pandai bertarung. Hanna tak tahu cara menggunakan senjata meski sudah diajari sedemikian rupa. Hanna adalah tipe yang lebih cocok berada di dapur, menyiapkan makanan lezat untuk kami semua. Hanna adalah tipe gadis yang akan segera mati begitu berdiri di arena bloodbaths.

Lalu Hanna menatapku sebelum ia melangkah naik ke panggung. Matanya menyiratkan permohonan. Semua orang di rumah tahu bahwa aku punya kesempatan menang jika aku yang berada di posisi Hanna sekarang. Tapi, aku punya impian. Impian yang lebih besar daripada keinginanku bertarung di arena. Aku mengalihkan pandanganku ke samping, tak berani menatap Hanna. 

Aku memang menangis. Aku sedih untuk Hanna.

Tapi... aku juga merasakan setitik kelegaan di antara lautan kepedihan di hatiku.


Karena impianku hanya bisa kudapati jika Hanna tiada.

***

2 tahun sebelum Hunger Games ke-32


Usiaku enam belas tahun hari ini. Benar, hari ini adalah hari ulang tahunku. Tapi aku tak berharap akan adanya pesta atau kejutan. Ucapan selamat saja nyaris tak pernah kudapatkan. Orangtuaku terlalu sibuk bekerja dan bagi mereka, mengingat hari ulang tahun bukanlah sesuatu yang cukup penting. Hanya adikku--Hanna--yang tak pernah absen mengucapkan selamat untukku setiap tahunnya. Namun aku belum melihatnya hari ini, Hanna masih berada di sekolah sementara aku sedang dalam perjalanan ke toko perhiasan yang baru saja dibuka oleh Dad. Dad memintaku membantunya di sana jika pekerjaan sambilanku sebagai pembuat parfum sedang senggang.

Lalu tanpa pertanda, hujan mulai turun. Dari berupa rintik-rintik yang turun perlahan, menjadi hujan deras yang tanpa ampun membasahi sekujur tubuhku. Aku cepat-cepat mencari tempat berteduh, melangkah menuju sebuah tempat duduk di pinggir jalan yang memiliki semacam payung besar yang menaunginya dari hujan. Aku beruntung karena belum ada orang yang menempatinya. Aku pun duduk, memeras air dari rambut pirang platinaku lalu duduk sambil memeluk tubuhku yang mulai menggigil. Salahku karena lupa membawa payung dari rumah. Padahal Mum selalu mengingatkanku karena cuaca di Panem yang tak menentu. Ada yang mengatakan, Capitol yang mengatur cuaca di tiap-tiap distrik yang ada di Panem. Aku tak tahu pasti apakah itu benar atau hanya rumor belaka.

Tak lama kemudian, bayangan seseorang melingkupiku. Aku mendongak untuk melihat siapa gerangan yang datang untuk berteduh di tempat yang sama denganku itu. Napasku tertahan, seorang pemuda berambut coklat berdiri membelakangiku. Air hujan menetes-netes dari rambut dan mantel panjangnya. Aku tahu pemuda itu. Sudah setahun aku mengamatinya dari jauh, mengaguminya diam-diam. Namanya Levin Lore, dia satu tahun lebih tua dariku dan kami seringkali berjalan bersisian saat pulang sekolah, meskipun Levin sama sekali tak menyadari tentang keberadaanku.

"Hellen Bell?" tiba-tiba pemuda itu menyebut namaku lalu duduk di sampingku. "Tak keberatan kalau aku duduk di sini sampai hujan berhenti, kan?"

Levin Lore mengetahui namaku dan itu cukup untuk membuatku terpaku karena terkejut. Aku hanya memandang Levin dalam diam. Bibirku seolah beku begitu juga dengan saraf motorikku. Bahkan aku merasa, detik-detik semakin melambat.

"Kau baik-baik saja?" tanya pemuda itu lagi menatapku dengan heran. Tak kuduga, Levin melepas mantelnya lalu memakaikannya ke tubuhku. "Kau akan merasa lebih hangat sekarang. Mantel itu tidak menyerap air."

Aku mengangguk pelan. Debar jantungku semakin tak beraturan. Buru-buru aku menundukkan kepala dan merapatkan mantel itu ke tubuhku begitu menyadari gelora panas mulai menjalar hingga ke wajahku. Levin tak boleh melihat semu merah di pipiku. Mantel itu tak hanya menghangatkan tubuhku, tapi juga hatiku.

"Terimakasih," ujarku dengan suara yang lebih mirip bisikan.

"Levin! Sudah lama menunggu?"

Tiba-tiba sebuah suara yang sangat familiar di telingaku terdengar menyapa Levin. Aku sangat mengenal suara itu. Setiap hari aku mendengarnya. Aku mendongakkan kepala, dan benar saja... seorang gadis berambut pirang platina dengan mata besar tengah berjalan menghampiri tempatku berteduh bersama Levin. Sebuah payung putih menaungi gadis itu. Adikku. Hannah. Kulihat kemudian Levin memeluknya, mengucapkan kata-kata yang tidak sanggup kudengar.

"Hellen?"

"Hanna."

"Kau kehujanan? Lupa membawa payung?"

Aku mengangguk. Tak mampu mengucapkan apa-apa. Hatiku terasa teramat sakit.

"Ah, benar juga," kata Hanna lagi seraya mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu menyodorkan benda itu padaku. Sebuah hadiah. "Selamat ulang tahun, Hellen!"

"Selamat ulang tahun, Hellen," Levin Lore menimpali.

Aku menerima hadiah itu, kulemparkan senyum basa-basi pada keduanya. Aku tak pernah tahu bahwa Hanna berpacaran dengan Levin. Sejak kapan?

"Terimakasih," ujarku untuk kedua kalinya saat itu. Kumasukkan hadiah itu ke dalam tasku, kulepas mantel Levin dan meletakkannya di atas tempat duduk lalu aku berdiri dan berlari meninggalkan keduanya. Membiarkan mereka bertanya-tanya.

Hari itu adalah hari ulang tahunku yang paling buruk dengan patah hati sebagai hadiahnya.


***

"Kau tidak menemui Hanna?" tanya Mama padaku setelah ia keluar dari ruangan tempat Hanna menunggu sebelum berangkat ke Capitol. Wajah Mama basah oleh air mata tapi tatapan tajamnya tak begitu saja pudar. Aku tahu kalau Mama tahu ada sesuatu yang kusembunyikan. Kebencian terpendamku pada Hanna, juga keinginanku untuk merebut Levin darinya.

"Aku tak sanggup," dustaku. "Aku tak ingin menangis di depannya."

Kubiarkan Levin masuk ke dalam. Pertemuan mereka akan jadi pertemuan yang terakhir. Entah kenapa aku sangat yakin Hanna takkan bertahan di arena.

***

Hanna mati.

Seorang pemuda dari distrik dua menikam perutnya berkali-kali lalu seorang gadis dari distrik empat memanahnya tepat di kepala.

Hanna mati.

Aku tersenyum seorang diri seperti kerasukan iblis yang membuatku senang melihat saudariku sendiri tewas dibantai.

***

Selanjutnya, aku mendekati Levin Lore. Memberikannya segala perhatian yang ia butuhkan. Aku selalu ada di sisinya setiap saat hingga ia terbiasa dengan keberadaanku di sana. Hingga ia jadi bergantung padaku. Dan setahun kemudian, ia melamarku dan kami menikah.

Satu hal yang aku tak tahu adalah... Hanna yang meminta Levin untuk mencoba mencintaiku di hari terakhir pertemuan mereka.

Pernikahan kami berjalan dengan baik. Tak pernah ada keributan di antara kami. Kupikir, aku telah mendapatkan kebahagiaan yang kuinginkan. Hingga putri pertama kami lahir. Putri yang kuberi nama Zirconia. Buah hatiku. Buah cintaku dengan Levin. Warna rambutnya serupa dengan rambutku. Hidung dan bibirnya menyerupai Levin. Tapi sepasang mata besarnya mengingatkan aku pada Hanna. Tatapan Zinnia padaku selalu terasa bagai hujaman mata pisau yang menorehkan rasa bersalah, mengingatkan aku pada dosa karena telah mengharapkan kematian Hanna untuk kepentinganku sendiri. Hal itu membuatku membenci putriku sendiri. Tahun demi tahun, rasa cintaku pada Zinnia berkurang... semakin menipis ketika Zephaniah lahir, dan habis sepenuhnya ketika Levinku yang tercinta mati bersimbah darah dengan kunai menembus jantungnya.

Zinnia yang membunuhnya, aku terus mengucapkan itu di bibirku, di hatiku.

Sangkalan Zinnia kuabaikan.

Kujadikan kejadian itu sebagai alasan untuk menghindari Zinnia sepenuhnya.

Kematian Levin membuat perasaanku mati. Aku terlena dalam kesedihan karena kehilangan Levin untuk selamanya. Zephaniah kecil pun terlupakan. Aku menjadi seonggok tubuh yang tak memiliki semangat untuk melanjutkan kehidupan. Aku selalu mengurung diriku di dalam kamar. Membiarkan semuanya tetap sama seperti sebelum Levin pergi. Bingkai foto pernikahan kami selalu kupegang erat di tanganku, kadang kupeluk dan kutangisi. Menuding Zinnia sebagai pembunuh membuatku merasa lebih tenang. Membuatku merasa lebih ringan. Melihat anak itu menangis membuatku puas.

Hey, aku tak sadar telah semakin tenggelam dalam lumpur hisap bernama dosa itu.

Lalu tiba-tiba, anak itu sudah cukup besar untuk mengajukan diri menjadi volunteer di Hunger Games ke-48. Sorak-sorai kembali bergema di hatiku untuk sebuah alasan yang tak jelas. Nampaknya aku memang telah membenci anak itu, telah menganggap kematian Levin adalah kesalahannya. Aku tertawa-tawa setelah anak itu dibawa pergi ke Capitol. Yakin dalam hatiku bahwa nasib Zinnia akan sama seperti Hanna. Kuabaikan jeritan marah Zephaniah tiap kali aku tertawa menyaksikan perjuangan kakaknya di arena. Anak yang adalah darah dagingku sendiri, tapi tak kukenali. Anak itu jatuh cinta di arena. Betapa bodohnya ia, hatiku berkata. Capitol jelas akan mengincarnya karena hal itu. Dan aku tertawa semakin keras ketika Zinnia mulai menampakkan kelemahannya. Ucapan anak itu terngiang-ngiang di telingaku saat aku tidur. Ingin pulang, katanya. Benci Capitol, dia bilang.

Kata-kata yang persis sama seperti yang diucapkan Hanna sepuluh tahun yang lalu.

Amarah menguasaiku. Kumaki-maki anak itu lewat layar televisi. Kusumpahi anak itu agar cepat mati. Aku sudah muak melihatnya namun aku tak bisa tidak menyaksikan tayangan yang diputar berulang-ulang itu. Mungkin, jauh dalam hatiku, aku masih menyayangi anak itu. Ada rasa penyesalan karena telah melemparkan kesalahan padanya, yang tertutupi oleh kebencian. Dan saat anak itu menghembuskan napas terakhirnya di pelukan anak lelaki dari distrik dua, kurasakan cairan hangat mengalir dari sudut-sudut mataku.

Namun bibirku mengeluarkan tawa. Tawa kepedihan.

Aku ibu yang tak berguna. Apa gunanya aku merebut Levin dari Hanna bila akhirnya semua berantakan?

Hidupku hanya berupa tumpukan kisah tragedi. Dan aku tokoh antagonisnya.


***
ZEPHANIAH'S PoV





Berisik!


Kututup telingaku rapat-rapat dengan kedua tangan namun suara tawa itu masih terus terdengar. Kubenamkan kepalaku di bawah tumpukan bantal hingga napasku sesak tapi suara tawa itu masih terus ada. Menggangguku. Mengusikku. Membuatku serasa gila.

Wajahku yang pucat basah oleh air mata yang tak berhenti mengalir. Kedua mataku merah dan bengkak akibat terlalu banyak menangis. Aku menderita melihat kakakku bertarung di arena, aku merasakan kepedihan yang dirasakan Zinnia di sana. Rasa takutnya, juga ketidakinginannya membunuh lebih banyak nyawa tak berdosa. Aku tahu sejak dulu bahwa Zinnia bukan pribadi yang jahat meski bibirnya selalu berkata demikian. Berdarah dingin bukanlah sifatnya. Semua itu terbukti di arena. Zinnia jatuh cinta. Zinnia menangis. Zinnia memeluk para peserta yang mati dan menutup mata mereka yang terbuka. Bahkan Zinnia menempelkan kembali kepala-kepala yang terpisah dari tubuhnya, menangisi mereka.

Sejak awal, arena bukan tempat yang tepat untuk Zinnia.

Seharusnya, ketika Zinnia berkata akan pergi, aku melarangnya lebih keras lagi.

Tapi semua sudah terlambat. Ketika Zinnia menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Arch Halmington. Aku harusnya merasa cukup puas hanya dengan menyadari bahwa Zinnia meninggal dalam pelukan orang yang dicintainya, mendapatkan kecupan dan kebebasan yang diinginkannya.

Seharusnya begitu.

Suara tawa Mama membuatku kesedihanku berubah jadi amarah. Kulempar bantal-bantal yang menutupi kepalaku ke lantai. Kuhapus air mataku dan aku berjalan keluar dari kamar, menuju ke dapur. Akal sehatku telah dikacaukan gema tawa Mama. Kubuka laci dan kuambil sebilah pisau dari sana. Lalu aku berjalan mengendap-endap ke kamar Mama. Mama duduk membelakangiku, menatap televisi sambil tertawa semakin keras. Suara tawa yang begitu ganjil. Suara tawa setan, batinku berkata.

Tanpa berpikir panjang, kubungkam mulutnya dari belakang dengan tangan kiriku. Aneh, Mama tak berontak. Ia malah terkekeh ketika akhirnya aku mengangkat tangan kananku dan menggunakan pisau dapur untuk menggorok leher Mama--menghabisi nyawanya.

Lalu setetes air mata jatuh di punggung tanganku.

Mama menangis.

Kujatuhkan pisauku ke lantai. Mama turut jatuh kemudian. Darah terus mengucur deras dari lehernya yang terbuka. Aku berdiri di sampingnya, menatap nanar dan ketakutan.

"Kenapa Mama menangis?" aku bertanya.

Mama tak menjawab. Aku tahu ia tak bisa. Tubuhnya kemudian berhenti bergerak. Mama pergi untuk selamanya. Aku pun ambruk di sampingnya. Paru-paruku terasa sakit luar biasa, aku seperti ditikam ribuan pisau. Kupikir, mungkin aku akan mati juga saat itu bersama Mama.

Tapi aku selamat.

Saat aku terbangun, aku ada di sebuah kamar yang tak kukenal. Maria duduk di sampingku. Matanya basah oleh air mata. Tangannya menggenggam tanganku. Ia mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja mulai sekarang.

Semua akan baik-baik saja.


Benarkah?

2 komentar:

  1. ....OM MY GOD YOU'RE SO TALENTED!!! O////O

    How could you write a sad angst story so beautifully? How? HOW?? ;;A;;

    Bagus banget FF-nya, sayang! *squish you* Ceritamu yang paling aku suka so far XD Deskripnya ngalir dan halus banget pergantian adegannya. Emosi tiap karakternya juga kerasa banget, aku jadi bisa ngebayanin gimana campur aduknya perasaan ibunya Zinnia. Dan plot twistnya baguuusss...oh my ;;A;;

    Kalimat favoritku: Satu hal yang aku tak tahu adalah... Hanna yang meminta Levin untuk mencoba mencintaiku di hari terakhir pertemuan mereka.

    Kamu jago banget bikin romance tragedy, serius deh ;;A;; *envy*

    Keep on writing, baby, you're gifted *hugs&kisses* ^__^

    BalasHapus
  2. I should start my reaction with the same sentence...

    O MY GOD!! =))

    Your comment is always making me blush and speechless, do you know that? -////-
    I'm glad to know that you like this story I wrote :">
    Finally I can write something angsty yet romantic lol....

    I'll keep writing if I have such a sweet reader like you *kisses*

    BalasHapus