Cerita ini diikutsertakan dalam Lomba Cerbul KasFan bulan Oktober di Grup Kastil Fantasi - Goodreads.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada banyak kisah cinta yang diceritakan berulang-ulang dengan berbagai versi, juga berbagai akhir. Ada kisah yang berakhir bahagia, ada pula yang berakhir pedih bahkan tragis. Seperti kisah Duyung Ragil yang cintanya pada seorang manusia berakhir pada kematian setelah mengorbankan suara dan mengalami penyiksaan tiap kali menjejakkan kakinya di daratan. Kisah-kisah itu dianggap sebagai kisah cinta yang tak lekang oleh waktu, kisah cinta yang layak untuk diingat sepanjang masa.
Kisah cinta Ragil adalah aib untukku, kisah cinta yang mengumbarkan kebodohan karena jatuh cinta pada predator yang memburu warga lautan tanpa belas kasihan. Mereka bahkan mengotori lautan kami dengan bahan kimia yang meracuni banyak ikan-ikan dan membuat kami seringkali terjangkit penyakit kulit mengerikan yang sulit untuk disembuhkan.
Untung saja di Amalfi, manusia-manusianya tidak suka merusak. Lautan kami jernih dan airnya menyegarkan. Pada bulan Februari dan Oktober, di sepanjang pantai dan pada dataran yang bertingkat akan dipenuhi pohon-pohon berbuah kuning. Para manusia suka bermain di laut, meluncur di atas air dengan papan panjang dengan ujung-ujung meruncing, sekedar berenang di tepian atau membuat replika istana dari pasir pantai. Tak jarang juga ada manusia yang tenggelam karena terbawa ombak, dan tugas kamilah untuk mengirim mereka kembali ke tepian jika hal itu terjadi—tanpa sepengetahuan mereka.
Aku takkan jadi seperti Ragil. Takkan pernah. Aku tak menyukai manusia. Mendengar saudari-saudariku menganggap kisah Ragil sebagai petualangan yang romantis benar-benar membuatku muak. Dan sekalipun manusia yang sekarang berada di pelukanku adalah makhluk terindah yang pernah kulihat seumur hidupku, aku takkan jatuh cinta padanya.
Aku menemukan dia hanyut terbawa arus dan pelan-pelan tubuhnya yang berat tenggelam ke kedalaman laut. Sebenarnya, ingin kubiarkan saja dia mati tenggelam, tapi sayang peraturan laut akan menghukumku bila aku tidak menolongnya. Ada sebuah luka memanjang di keningnya, mengeluarkan darah yang bisa saja mengundang predator laut untuk datang. Tubuhnya kurus tapi tidak terlihat lemah, aku bisa melihat otot tangan dan perutnya terbentuk nyaris sempurna. Kelopak matanya tertutup rapat, bulu mata pirangnya berkilauan tersiram cahaya dari langit di atas permukaan laut begitu juga dengan rambutnya. Bibirnya berwarna merah muda dan tipis. Kubayangkan bibir itu hanya akan tersisa menjadi garis tipis jika manusia itu tersenyum. Kulitnya kecoklatan, sehat terbakar matahari. Jenis warna yang takkan dimiliki para duyung yang selalu berada di dalam air. Lalu, sebagai manusia, tentu saja dia memiliki sepasang kaki yang membuatku bergidik.
Singkatnya, manusia yang kuselamatkan ini begitu indah. Terlalu indah hingga aku tak bisa memalingkan mataku darinya ketika dia kubaringkan di dekat batu karang di tepi pantai.
Tanganku bergerak, dengan jemariku aku meraba wajahnya, mengusap hidungnya yang mancung lalu bibirnya. Ada semacam godaan dalam diriku untuk melihat seperti apa matanya ketika sepasang kelopak mata itu terbuka, hingga aku tetap diam di tempatku ketika manusia itu mengerang dan terbangun. Bersamaan dengan itu, matahari mulai berubah warna menjadi merah, mewarnai langit dengan tiga warna penuh pesona yang tak terbayangkan.
Aku tersentak ketika sepasang mata biru itu menatapku. Bayangan matahari terbenam terpantul di sana, memberikan kesan hangat yang membakar dadaku—menyakitkan.
Inikah yang dirasakan Ragil ketika dia mati karena mencintai manusia?
Sebelum manusia itu benar-benar sadar seutuhnya, kudapatkan lagi akal sehatku dan aku segera kembali ke laut lalu berenang menjauh.
***
Aku berenang cepat melewati terumbu-terumbu karang, membubarkan kerumunan ikan badut yang tengah berenang, menghindari kawanan ubur-ubur hingga aku sampai di rumahku. Segera aku bersembunyi dalam tempat tidurku yang berbentuk kerang raksasa. Jantungku berdetak kencang, membuat dadaku sakit dan sesak. Serangan panik mendatangiku. Bagaimana jika aku telah terkena virus yang dibawa manusia? Bagaimana jika aku mati karena nyeri hebat yang kurasakan di dadaku ini?
“Kau kenapa, Abiel?”
Salah satu kakakku tiba-tiba sudah duduk di sampingku di tempat tidur. Tangannya membelai rambut hijauku yang serupa rumput laut. Aku selalu iri pada rambutnya yang berwarna merah muda lembut seperti telur salmon.
“Dadaku sakit, Kak.”
Mata kakakku membesar, kelihatannya dia mendadak mencemaskan keadaanku. Kali ini tangannya memegang keningku.
“Kau tidak demam tapi wajahmu merah sekali. Kau habis darimana?”
“Dari atas. Ada manusia yang tenggelam...,” jawabku sambil menekan dadaku yang tiba-tiba bertambah sakit. “Setelah melihat manusia itu dadaku jadi sakit sekali.”
Tak kuduga, tiba-tiba saja kakakku tertawa.
“Kau tahu apa artinya rasa sakit di dadamu itu, Abiel?” tanyanya sambil membelai rambutku.
Aku menggeleng.
“Kau jatuh cinta. Manusia itu setampan apa, sih? Biasanya kau kan tak pernah tertarik pada manusia.”
Aku terpaku. Tangan kananku masih menekan dadaku yang berdentum-dentum. Pikiranku tiba-tiba kosong seperti kertas putih lalu ingatanku kembali pada saat aku terpesona memandangi manusia itu di atas sana. Mustahil! Tak mungkin aku jatuh cinta. Aku tak suka pada manusia. Bagiku, jatuh cinta pada manusia sama saja dengan penyakit yang akan menggerogoti tubuhku sampai mati. Persis seperti yang dialami Ragil. Mati. Menjadi buih.
“Omong kosong!” ujarku marah. Kudorong kakakku menjauh. “Ini bukan jatuh cinta! Aku sakit karena manusia itu! Aku akan mati!”
“Dasar bodoh,” kakakku tertawa lagi. “Tidak ada duyung yang mati hanya karena jatuh cinta. Memang rasanya seperti itu kalau kau bertemu dengan belahan jiwamu.”
Aku tak percaya. Kakak-kakakku selalu berkata jatuh cinta itu rasanya sangat menyenangkan. Tapi yang kurasakan sekarang adalah rasa sakit, serta keinginan yang hebat untuk menemui manusia itu lagi dan memandangi keindahannya. Aku kecanduan! Jelas ini adalah penyakit! Kutinggalkan kakakku dan kugerakkan ekorku kuat-kuat untuk kembali ke permukaan laut. Kususuri tepian Pantai Amalfi yang panjang, kucari sosok manusia yang telah memberiku penyakit ini. Tapi dia tak kutemukan di mana-mana. Kini jantungku terasa seperti dilubangi, sesak, aku kesulitan bernapas. Gila, pikirku. Ini gila. Penyakit itu benar-benar menggerogoti tubuhku dengan kecepatan yang tak terduga.
Kutunggu satu hari, dia masih belum juga terlihat.
Kukembali lagi dua hari kemudian, sosoknya tak juga kutemukan.
Hingga pada hari ketiga, kulihat dia duduk di tepi pantai, di tempat dia kuletakkan setelah kuselamatkan. Dia mengenakan pakaian yang aneh, sebuah jubah hitam dengan kerah tinggi menutupi kedua belah pipinya. Di tangannya ada sebotol cairan berwarna kuning cerah yang sering kulihat dibawa-bawa oleh manusia-manusia yang tinggal di Amalfi. Aku terkejut ketika mendapati bibirku menyunggingkan senyum dan kulepaskan satu desah napas yang membebaskan sesak dari dadaku. Aku pasti sudah sinting karena aku berenang mendekati manusia itu seperti terhipnotis. Manusia itu menyadari kehadiranku, dia tersenyum lebar memamerkan dua gigi taring yang runcing memanjang (aku tak ingat dia punya taring saat menyelamatkannya) dan sekali lagi dadaku berdentum hingga aku lupa menarik napas. Akal sehatku sudah berteriak-teriak mengingatkan aku akan bahaya, tapi aku tak beranjak dari tempatku hingga manusia itu kini berjongkok tepat di hadapanku.
“Kau yang menyelamatkanku waktu itu,” katanya penuh dengan keyakinan. Demi Neptunus, aku tak pernah mendengar suara yang begitu memabukkan. Terdengar seperti harmoni terindah di telingaku. “Siapa namamu?”
Kutatap dia, lalu kugigit bibirku. Dadaku semakin sakit karenanya.
“Jangan takut, aku takkan bilang pada siapa-siapa tentang dirimu. Namaku Arthur.” Dia mengucapkan itu sambil melepaskan sepasang taring dari mulutnya. "Sorry, aku baru dari pesta Halloween."
“Abiel,” jawabku singkat, sedikit ngeri karena manusia ternyata bisa melepas-lepas gigi seenaknya begitu.
“Terimakasih, Abiel, karena sudah menyelamatkan hidupku.”
Manusia itu mendekatkan wajahnya, menyentuhkan bibir tipisnya ke bibirku. Laut seolah bergemuruh di kepalaku saat itu, membuatku tak bisa berpikir, membuatku lupa untuk bernapas, membuat dadaku sakit luar biasa.
Tidak. Tidak! Ini tidak boleh terjadi!
Kulingkarkan tanganku di lehernya, kutarik dia ke dalam air. Ikan-ikan kecil berenang mengelilingi kami. Cahaya matahari yang menembus permukaan air menerangi kami. Suara nyanyian ombak menjadi latar belakang yang membuai. Tak lama kemudian, dia mulai meronta dan melepaskan ciumannya. Aku tahu dia mulai kehabisan udara di dalam paru-parunya. Dia manusia, tidak bisa bertahan hidup di dalam air. Kali ini aku yang mencium bibirnya, mendekapnya erat dan membawanya semakin dalam ke dasar laut. Kini dia akan merasakan sakit dan sesak yang sama di dadanya—persis seperti yang kurasakan. Perlahan, dia mulai lemas dan berhenti meronta. Kedua matanya yang indah itu tertutup rapat. Aku menang. Jika manusia itu mati, penyakitku pasti akan segera sembuh. Bukan jantungku yang pecah, tapi jantungnya. Bukan aku yang mati.
Dia yang mati.
Manusia itu mati.
Aku tersenyum lega ketika kubawa dia kembali ke daratan.
Tapi kenapa... air mata berwarna hijau kini mengalir tanpa henti di kedua mataku? Kenapa dadaku terasa jauh lebih sakit dari sebelumnya? Kenapa dari mulutku terdengar suara jeritan terpilu yang sebelumnya tak pernah kudengar?
Kenapa...?
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada banyak kisah cinta yang diceritakan berulang-ulang dengan berbagai versi, juga berbagai akhir. Ada kisah yang berakhir bahagia, ada pula yang berakhir pedih bahkan tragis. Seperti kisah Duyung Ragil yang cintanya pada seorang manusia berakhir pada kematian setelah mengorbankan suara dan mengalami penyiksaan tiap kali menjejakkan kakinya di daratan. Kisah-kisah itu dianggap sebagai kisah cinta yang tak lekang oleh waktu, kisah cinta yang layak untuk diingat sepanjang masa.
Kisah cinta Ragil adalah aib untukku, kisah cinta yang mengumbarkan kebodohan karena jatuh cinta pada predator yang memburu warga lautan tanpa belas kasihan. Mereka bahkan mengotori lautan kami dengan bahan kimia yang meracuni banyak ikan-ikan dan membuat kami seringkali terjangkit penyakit kulit mengerikan yang sulit untuk disembuhkan.
Untung saja di Amalfi, manusia-manusianya tidak suka merusak. Lautan kami jernih dan airnya menyegarkan. Pada bulan Februari dan Oktober, di sepanjang pantai dan pada dataran yang bertingkat akan dipenuhi pohon-pohon berbuah kuning. Para manusia suka bermain di laut, meluncur di atas air dengan papan panjang dengan ujung-ujung meruncing, sekedar berenang di tepian atau membuat replika istana dari pasir pantai. Tak jarang juga ada manusia yang tenggelam karena terbawa ombak, dan tugas kamilah untuk mengirim mereka kembali ke tepian jika hal itu terjadi—tanpa sepengetahuan mereka.
Aku takkan jadi seperti Ragil. Takkan pernah. Aku tak menyukai manusia. Mendengar saudari-saudariku menganggap kisah Ragil sebagai petualangan yang romantis benar-benar membuatku muak. Dan sekalipun manusia yang sekarang berada di pelukanku adalah makhluk terindah yang pernah kulihat seumur hidupku, aku takkan jatuh cinta padanya.
Aku menemukan dia hanyut terbawa arus dan pelan-pelan tubuhnya yang berat tenggelam ke kedalaman laut. Sebenarnya, ingin kubiarkan saja dia mati tenggelam, tapi sayang peraturan laut akan menghukumku bila aku tidak menolongnya. Ada sebuah luka memanjang di keningnya, mengeluarkan darah yang bisa saja mengundang predator laut untuk datang. Tubuhnya kurus tapi tidak terlihat lemah, aku bisa melihat otot tangan dan perutnya terbentuk nyaris sempurna. Kelopak matanya tertutup rapat, bulu mata pirangnya berkilauan tersiram cahaya dari langit di atas permukaan laut begitu juga dengan rambutnya. Bibirnya berwarna merah muda dan tipis. Kubayangkan bibir itu hanya akan tersisa menjadi garis tipis jika manusia itu tersenyum. Kulitnya kecoklatan, sehat terbakar matahari. Jenis warna yang takkan dimiliki para duyung yang selalu berada di dalam air. Lalu, sebagai manusia, tentu saja dia memiliki sepasang kaki yang membuatku bergidik.
Singkatnya, manusia yang kuselamatkan ini begitu indah. Terlalu indah hingga aku tak bisa memalingkan mataku darinya ketika dia kubaringkan di dekat batu karang di tepi pantai.
Tanganku bergerak, dengan jemariku aku meraba wajahnya, mengusap hidungnya yang mancung lalu bibirnya. Ada semacam godaan dalam diriku untuk melihat seperti apa matanya ketika sepasang kelopak mata itu terbuka, hingga aku tetap diam di tempatku ketika manusia itu mengerang dan terbangun. Bersamaan dengan itu, matahari mulai berubah warna menjadi merah, mewarnai langit dengan tiga warna penuh pesona yang tak terbayangkan.
Aku tersentak ketika sepasang mata biru itu menatapku. Bayangan matahari terbenam terpantul di sana, memberikan kesan hangat yang membakar dadaku—menyakitkan.
Inikah yang dirasakan Ragil ketika dia mati karena mencintai manusia?
Sebelum manusia itu benar-benar sadar seutuhnya, kudapatkan lagi akal sehatku dan aku segera kembali ke laut lalu berenang menjauh.
***
Aku berenang cepat melewati terumbu-terumbu karang, membubarkan kerumunan ikan badut yang tengah berenang, menghindari kawanan ubur-ubur hingga aku sampai di rumahku. Segera aku bersembunyi dalam tempat tidurku yang berbentuk kerang raksasa. Jantungku berdetak kencang, membuat dadaku sakit dan sesak. Serangan panik mendatangiku. Bagaimana jika aku telah terkena virus yang dibawa manusia? Bagaimana jika aku mati karena nyeri hebat yang kurasakan di dadaku ini?
“Kau kenapa, Abiel?”
Salah satu kakakku tiba-tiba sudah duduk di sampingku di tempat tidur. Tangannya membelai rambut hijauku yang serupa rumput laut. Aku selalu iri pada rambutnya yang berwarna merah muda lembut seperti telur salmon.
“Dadaku sakit, Kak.”
Mata kakakku membesar, kelihatannya dia mendadak mencemaskan keadaanku. Kali ini tangannya memegang keningku.
“Kau tidak demam tapi wajahmu merah sekali. Kau habis darimana?”
“Dari atas. Ada manusia yang tenggelam...,” jawabku sambil menekan dadaku yang tiba-tiba bertambah sakit. “Setelah melihat manusia itu dadaku jadi sakit sekali.”
Tak kuduga, tiba-tiba saja kakakku tertawa.
“Kau tahu apa artinya rasa sakit di dadamu itu, Abiel?” tanyanya sambil membelai rambutku.
Aku menggeleng.
“Kau jatuh cinta. Manusia itu setampan apa, sih? Biasanya kau kan tak pernah tertarik pada manusia.”
Aku terpaku. Tangan kananku masih menekan dadaku yang berdentum-dentum. Pikiranku tiba-tiba kosong seperti kertas putih lalu ingatanku kembali pada saat aku terpesona memandangi manusia itu di atas sana. Mustahil! Tak mungkin aku jatuh cinta. Aku tak suka pada manusia. Bagiku, jatuh cinta pada manusia sama saja dengan penyakit yang akan menggerogoti tubuhku sampai mati. Persis seperti yang dialami Ragil. Mati. Menjadi buih.
“Omong kosong!” ujarku marah. Kudorong kakakku menjauh. “Ini bukan jatuh cinta! Aku sakit karena manusia itu! Aku akan mati!”
“Dasar bodoh,” kakakku tertawa lagi. “Tidak ada duyung yang mati hanya karena jatuh cinta. Memang rasanya seperti itu kalau kau bertemu dengan belahan jiwamu.”
Aku tak percaya. Kakak-kakakku selalu berkata jatuh cinta itu rasanya sangat menyenangkan. Tapi yang kurasakan sekarang adalah rasa sakit, serta keinginan yang hebat untuk menemui manusia itu lagi dan memandangi keindahannya. Aku kecanduan! Jelas ini adalah penyakit! Kutinggalkan kakakku dan kugerakkan ekorku kuat-kuat untuk kembali ke permukaan laut. Kususuri tepian Pantai Amalfi yang panjang, kucari sosok manusia yang telah memberiku penyakit ini. Tapi dia tak kutemukan di mana-mana. Kini jantungku terasa seperti dilubangi, sesak, aku kesulitan bernapas. Gila, pikirku. Ini gila. Penyakit itu benar-benar menggerogoti tubuhku dengan kecepatan yang tak terduga.
Kutunggu satu hari, dia masih belum juga terlihat.
Kukembali lagi dua hari kemudian, sosoknya tak juga kutemukan.
Hingga pada hari ketiga, kulihat dia duduk di tepi pantai, di tempat dia kuletakkan setelah kuselamatkan. Dia mengenakan pakaian yang aneh, sebuah jubah hitam dengan kerah tinggi menutupi kedua belah pipinya. Di tangannya ada sebotol cairan berwarna kuning cerah yang sering kulihat dibawa-bawa oleh manusia-manusia yang tinggal di Amalfi. Aku terkejut ketika mendapati bibirku menyunggingkan senyum dan kulepaskan satu desah napas yang membebaskan sesak dari dadaku. Aku pasti sudah sinting karena aku berenang mendekati manusia itu seperti terhipnotis. Manusia itu menyadari kehadiranku, dia tersenyum lebar memamerkan dua gigi taring yang runcing memanjang (aku tak ingat dia punya taring saat menyelamatkannya) dan sekali lagi dadaku berdentum hingga aku lupa menarik napas. Akal sehatku sudah berteriak-teriak mengingatkan aku akan bahaya, tapi aku tak beranjak dari tempatku hingga manusia itu kini berjongkok tepat di hadapanku.
“Kau yang menyelamatkanku waktu itu,” katanya penuh dengan keyakinan. Demi Neptunus, aku tak pernah mendengar suara yang begitu memabukkan. Terdengar seperti harmoni terindah di telingaku. “Siapa namamu?”
Kutatap dia, lalu kugigit bibirku. Dadaku semakin sakit karenanya.
“Jangan takut, aku takkan bilang pada siapa-siapa tentang dirimu. Namaku Arthur.” Dia mengucapkan itu sambil melepaskan sepasang taring dari mulutnya. "Sorry, aku baru dari pesta Halloween."
“Abiel,” jawabku singkat, sedikit ngeri karena manusia ternyata bisa melepas-lepas gigi seenaknya begitu.
“Terimakasih, Abiel, karena sudah menyelamatkan hidupku.”
Manusia itu mendekatkan wajahnya, menyentuhkan bibir tipisnya ke bibirku. Laut seolah bergemuruh di kepalaku saat itu, membuatku tak bisa berpikir, membuatku lupa untuk bernapas, membuat dadaku sakit luar biasa.
Tidak. Tidak! Ini tidak boleh terjadi!
Kulingkarkan tanganku di lehernya, kutarik dia ke dalam air. Ikan-ikan kecil berenang mengelilingi kami. Cahaya matahari yang menembus permukaan air menerangi kami. Suara nyanyian ombak menjadi latar belakang yang membuai. Tak lama kemudian, dia mulai meronta dan melepaskan ciumannya. Aku tahu dia mulai kehabisan udara di dalam paru-parunya. Dia manusia, tidak bisa bertahan hidup di dalam air. Kali ini aku yang mencium bibirnya, mendekapnya erat dan membawanya semakin dalam ke dasar laut. Kini dia akan merasakan sakit dan sesak yang sama di dadanya—persis seperti yang kurasakan. Perlahan, dia mulai lemas dan berhenti meronta. Kedua matanya yang indah itu tertutup rapat. Aku menang. Jika manusia itu mati, penyakitku pasti akan segera sembuh. Bukan jantungku yang pecah, tapi jantungnya. Bukan aku yang mati.
Dia yang mati.
Manusia itu mati.
Aku tersenyum lega ketika kubawa dia kembali ke daratan.
Tapi kenapa... air mata berwarna hijau kini mengalir tanpa henti di kedua mataku? Kenapa dadaku terasa jauh lebih sakit dari sebelumnya? Kenapa dari mulutku terdengar suara jeritan terpilu yang sebelumnya tak pernah kudengar?
Kenapa...?
Good Storry
BalasHapusThank you for reading :D
Hapus