Cerpen ini diikutsertakan pada lomba Cerbul Kastil Fantasi bulan November di Goodreads.
***
Jalanan yang
dilewatinya gelap dan becek, bau tengik sampah yang menumpuk di sudut jalan
membuatnya menahan napas dan berjalan lebih cepat. Segera saja sepatu bot dan
ujung-ujung celana panjang yang dipakainya kotor oleh cipratan tanah basah yang
menempel. Jaket hitam panjang bertudung yang menutupi kepala dan bagian atas
tubuhnya basah oleh gerimis yang masih turun perlahan di kota tua itu. Di kanan
kiri jalan tampak para tunawisma yang berteduh dengan berlapis-lapis koran sebagai
alas duduk. Seorang ibu memeluk tiga orang anaknya yang menangis kedinginan
serta didera kelaparan. Seorang kakek tua berbaring tak peduli di atas karton
yang dilebarkan, di sisinya seorang nenek tua sibuk berdoa rosario.
Berlusin-lusin anak kecil bergerombol di bawah lindungan atap yang menonjol
keluar, beberapa terlihat tertawa mengerjai anak-anak yang lebih
lemah—menyirami mereka dengan menendangi genangan air. Suara tawa dan jerit
mereka menutupi suara langkah sepatunya yang berkecipak saat ia melompat ke
atas tumpukan peti kayu lalu ke jendela sebuah bangunan tua yang terbengkalai.
Bagian dalam
bangunan itu dilapisi dengan debu tebal yang segera beterbangan ketika sepatu botnya
menapak di atas lantai yang dilapisi karpet usang. Kegelapan menjadi lebih
pekat di dalam, ia nyaris tidak bisa melihat apa-apa sebelum ia mengaktifkan
penglihatan keduanya yang segera memberinya akses untuk melihat seluruh ruangan
tanpa kesulitan. Ia pun bisa melihat
semua makhluk halus yang berdiam di sana. Ada yang melayang-layang dalam wujud
seperti kelelawar kecil, ada juga yang meringkuk di sudut-sudut ruang.
“Rupanya kau
sudah datang, Draqou,” sebuah suara misterius memecah keheningan disusul gumpalan
asap yang segera menampakkan sosok pria dewasa setinggi seratus delapan puluh
limaan. Sosok samaran—tentu saja. Dari jarak yang begitu dekat, aura kengerian
yang menguar dari sosok itu terasa semakin kental dan mengintimidasi, membuat
Draqou menelan ludah diam-diam. Jika bukan karena keterikatan pada kontrak,
Draqou lebih memilih untuk tidak dekat-dekat dengan sosok tersebut.
“Ya, Master
Urk,” Draqou menjawab seraya menundukkan kepala memberikan hormat. Tudung
jaketnya diturunkan, memperlihatkan rambutnya yang sehitam arang, panjang
menutupi sepasang telinganya yang meruncing pada ujung-ujungnya. Warna biru
cerah matanya kini terlihat lebih jelas, menatap ke arah sosok penyihir yang
memanggilnya datang malam itu. Kulit pada sisi sebelah kanan wajahnya lebih
gelap dari sisi yang lain, sebuah pertanda bahwa dirinya adalah separuh
manusia, separuh jin.
“Rupanya kau
masih saja suka menyia-nyiakan waktu dengan berjalan kaki ke tempat perjanjian
kita,” kata Master Urk dengan nada menyindir.
“Apakah
gerangan permintaan Master sehingga memanggil saya ke sini?” tanya Draqou sopan
tanpa merespon sindiran Master Urk padanya. Kontrak antara mereka terjadi
beberapa bulan lampau. Berbeda dengan para pengontrak lain yang tamak, Master
Urk tidak menyampaikan tiga permintaan sekaligus. Hal ini menyebabkan Draqou
tidak dapat mencari Master baru karena peraturan kontrak yang mengikatnya
sedemikian rupa, ia sama seperti tawanan sampai tiga permintaan Master Urk ia
kabulkan seluruhnya.
“Aku masih memiliki
dua permintaan lagi,” kata Master Urk seolah-olah Draqou sudah lupa soal itu
atau sengaja mengulur-ulur waktu. “Dan hari ini, aku ingin menyebutkan
permintaanku yang kedua.”
Draqou
mendengarkan. Sedikitpun ia tidak membuka suara untuk menginterupsi sekalipun
ia sudah mulai tidak sabar. Berada di dekat Master Urk untuk waktu yang lama
bukan sesuatu yang disukainya. Bau tubuhnya busuk entah karena apa. Reputasinya
sebagai penyihir pun tidak ada satu pun yang terdengar bagus di telinga Draqou.
Permintaan Master Urk yang pertama mengharuskannya membunuh seorang manusia
fana yang bekerja di dalam badan pemerintahan. Manusia fana yang diketahui
Draqou diharapkan oleh banyak orang untuk menjadi pemimpin negara yang
berikutnya. Pekerjaan itu bukan pekerjaan yang sulit, meski manusia fana itu
dilindungi oleh ribuan pasukan bersenjata. Ia bisa masuk ke dalam kediamannya
tanpa suara, tanpa jejak—karena ia bukan manusia biasa.
Tapi
permintaan kedua ini... siapakah yang Master Urk inginkan untuk ia bunuh?
Suara kukuk
burung hantu terdengar memenuhi udara bersama gemerisik angin yang menggoyangkan
dedaunan. Gerimis sudah berhenti sepenuhnya di luar sana dan hewan-hewan malam
mulai melakukan aktivitasnya. Draqou menatap sang penyihir dengan tak sabar,
kedua tangannya ia selipkan ke dalam saku celana jinsnya. Kenapa menyebutkan
permintaan kedua saja membutuhkan waktu begitu lama? Ataukah permintaan ini
jauh lebih sulit daripada yang sebelumnya? Atau justru terlalu mudah hingga
Master Urk ragu menyebutkannya?
“Aku ingin kau
membunuh seseorang lagi,” akhirnya Master Urk mulai berbicara. “Aku yakin kau
bisa melakukan tugas ini sebaik yang sebelumnya.” Senyum licik terlihat
menghiasi wajah Master Urk yang dipenuhi bekas luka. “Meski tentu saja... tidak
akan mudah karena sebagian dirimu yang masih manusia itu.” Lalu ia tertawa
keras hingga makhluk-makhluk halus yang sejak tadi melayang-layang di
sekeliling ruangan merasa terganggu dan memutuskan untuk pindah ke ruangan lain.
Draqou bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Master Urk di balik tawa
dan senyum liciknya itu. Tidak bisa ia mengabaikan firasat buruk yang seketika
timbul dalam hatinya.
“Siapa?” tanya
Draqou—rahangnya mengeras.
“Hm?”
“Siapa yang
kau ingin kubunuh kali ini?”
“Anak muda,
kau sungguh tak sabaran,” kekeh Master Urk menepuk pundaknya dengan akrab.
“Aku tak punya
waktu seharian untuk mendengar permintaanmu, Master Urk.”
“Baiklah. Aku
pun ingin tugas kali ini kau lakukan dengan cepat. Malam ini juga.” Master Urk
kini berdiri di belakangnya, mendekatkan bibirnya ke telinga Draqou hingga ia
merasakan dingin menusuk hingga ke tulang-tulangnya. “Aku... ingin... kau...
membunuh....”
Draqou menahan
napas.
“Alena. Alena
Stierlight.”
Darah seolah
tiba-tiba berhenti mengaliri pembuluh darah di tubuhnya ketika mendengar nama
itu disebut. Dengan gerakan cepat, Draqou memutar tubuhnya hingga ia kini
berhadap-hadapan dengan Master Urk.
“Dengan segala
hormat...,” ujarnya terbata, “...siapa yang Master sebut tadi?”
“Aku yakin kau
sudah mendengarnya dengan jelas, Draqou,” Master Urk terkekeh geli. “Telingamu
bisa mendengar suara yang sangat kecil sekalipun kalau aku tak salah mengingat.
Mustahil rasanya apabila kau tidak dengar kata-kataku tadi. Apalagi nama yang
kusebut itu adalah nama seorang penyihir wanita yang paling terkenal saat ini.”
Draqou menelan
ludah. Seketika saja tindakan yang begitu sederhana terasa berlipat-lipat kali
lebih berat.
“Kenapa Master
ingin membunuhnya?” Kenapa harus
memintaku?
“Perjanjian
kita tidak menyebutkan aku harus memberitahu alasanku. Kau tentunya ingat itu,
kan?”
“Kenapa Anda
memintaku? Anda seharusnya bisa melakukannya sendiri kalau mau.”
Master Urk
kembali tergelak. “Ya, ya, Draqou... sebenarnya memang bisa saja seperti itu,
tapi tidak ada alasan kenapa aku tidak boleh memakai permintaan keduaku, eh?
Kita masih terikat kontrak.”
Ia tidak bisa
menjawab. Deru napasnya terdengar lebih berat seiring dengan membesarnya amarah
dalam dirinya. Ia menggigit bibir kuat-kuat, kaki kanannya bergerak gundah
menggosok-gosok lantai berdebu dengan sol sepatunya. Alena Stierlight adalah
seorang penyihir wanita terkuat di kota itu. Kepercayaan perdana menteri.
Mantan pengontrak jasa Draqou.
Juga
satu-satunya wanita yang dicintainya.
“Kau tidak
akan menolak permintaanku, kan? Draqou? Aku sempat mendengar desas-desus bahwa
kau dekat dengan penyihir wanita itu, dan menurut pendapatku hal itu akan jadi
keuntungan untukmu,” Master Urk tersenyum penuh pengertian. Jika Draqou tidak
tahu seperti apa Master Urk, ia tidak akan merasa semuak ini melihatnya.
“Lagipula, kontrak kita tak bisa dibatalkan tanpa merugikan dirimu sendiri.”
“Aku
mengerti.”
---
Brengsek!
Draqou
menendangi batu-batu kerikil yang dilewatinya sepanjang perjalanan. Ia tidak
tahu harus bagaimana, harus kemana lagi selain berjalan mendekati wilayah
tempat tinggal Alena di pusat kota. Tugasnya harus diselesaikan malam ini juga
sesuai dengan permintaan Master Urk. Sejak ia mengenyam pendidikan dunia jin,
ia sudah diajarkan bahwa apa pun permintaan pengontraknya, ia harus
mengabulkannya. Kecuali jika permintaan itu adalah membangkitkan kematian. Dan
jika ia menolak, resikonya adalah nyawanya sendiri. Baginya mengabulkan
permintaan bukanlah sesuatu yang sulit dan personal—setidaknya selama ini
begitulah yang dirasakannya.
Tapi satu kali
pun Draqou tidak pernah membayangkan bahwa ia akan diminta menghabisi seseorang
yang sangat berarti baginya.
Alena...
bagaimana mungkin ia bisa menghabisi nyawa gadis yang selalu ingin dilindunginya?
Rasanya akan
seperti membinasakan dirinya sendiri.
---
“Draqou?
Kaukah itu?”
Gadis itu
mengenakan gaun terusan sutra berwarna merah malam ini. Roknya jatuh ringan semata
kaki, melambai lembut seiring dengan langkah anggun kedua kakinya yang
langsing. Pita yang melilit di bagian pinggang menonjolkan lekuk tubuhnya yang
indah. Rambut pirangnya diikat membentuk cepol yang dihiasi jepit rambut
sederhana berbentuk mahkota bunga kecil. Ia melangkah mendekati jendela,
menarik tirainya hingga terbuka. Binar matanya berubah cerah ketika dilihatnya
seorang pemuda berdiri di ambang jendela yang segera ia buka.
“Kenapa kau tidak
langsung masuk saja seperti biasanya?” tanya Alena ketika Draqou sudah duduk di
atas tempat tidurnya dengan wajah muram. Gadis itu duduk di sampingnya,
memperhatikan raut muka pemuda separuh jin itu. Ia langsung mengerti bahwa ada
sesuatu yang tengah mengganggu pikiran kekasihnya itu. Jika sedang dalam
masalah, Draqou berubah menjadi sangat pendiam. “Kau kenapa? Ada masalah?”
Draqou mengerjapkan
matanya, menoleh menatap sepasang mata hijau limau milik Alena. Ingin ia
menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu tapi ia pun tahu
ia tidak bisa berbohong. Tidak pada gadis itu. Sebagai gantinya, pemuda itu
menghela napas berat lalu merengkuh tubuh Alena dengan kedua lengannya—memeluknya
erat. Perbuatannya itu menimbulkan tanda tanya yang semakin besar dalam benak
Alena.
“Draqou?”
“Hm?”
“Aku tidak
bisa membaca pikiranmu, jadi kumohon bicaralah,” bujuk Alena.
“Tidak. Tidak
ada apa-apa. Memangnya aku tidak boleh memelukmu, hm?” Draqou tersenyum,
memberikan sebuah kecupan ringan di bibir gadis itu lalu melepas pelukannya.
Dengan canggung kedua matanya memandangi seisi kamar Alena, pada sebuah foto
berbingkai emas yang memperlihatkan gambar Alena beserta kedua orangtua dan
ketiga adiknya, lalu pada ornamen-ornamen sihir pelindung yang dipasang
seolah-olah adalah penghias ruangan.
“Kau tahu...
kau itu tidak pandai berbohong, Draqou,” Alena merajuk. Digenggamnya tangan
Draqou dengan kedua tangannya. “Apakah ini berhubungan dengan permintaan
pengontrakmu?”
Draqou
terdiam, ia berpikir. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya pada Alena?
“Permintaannya
terlalu berat untukmu?” tanya Alena lagi. Disentuhnya pipi Draqou dengan tangan
kanannya. Gadis itu sangat khawatir, sebab ia tahu resiko yang akan ditanggung
kekasihnya jika tidak bisa mengabulkan permintaan pengontraknya. “Kau akan
mengabulkannya, kan? Kau pasti bisa melakukannya, Draqou. Aku yakin.”
“Jangan
mengucapkan sesuatu yang tak kau mengerti, Alena!” bentak Draqou marah. Alena
terkesiap, refleks menarik tangannya. Pemuda itu berdiri lalu berjalan
mendekati meja nakas di sisi tempat tidur Alena. Di atas meja itu ada sebuah
pajangan berbentuk harimau yang terbuat dari batu giok. Ia yang memberi harimau
itu pada Alena pada hari jadi mereka, sebuah jimat pelindung yang akan selalu
menjauhkan gadis itu dari marabahaya. Jika ia harus membunuh Alena, ia harus
terlebih dulu menghancurkan harimau itu. Juga mantra-mantra pelindung kuat lain
yang mungkin sudah dipasang oleh Alena selama ini. Tapi, sanggupkah ia membunuh
Alena?
“Aku tidak
bisa. Kali ini aku tidak bisa mengabulkan permintaannya.” Draqou mengusapkan
tangannya pada harimau itu. Bagaimana bisa? Bahkan membayangkannya saja membuat
dadanya serasa ditusuk-tusuk ribuan jarum.
“Draqou....”
Draqou
merasakan gadis itu bergerak mendekatinya, berada di belakangnya kini. Alena merengkuh
pinggang Draqou dengan kedua tangan rampingnya dan meletakkan dagu di bahu
kanannya.
“Aku tak ingin
kehilanganmu...,” bisiknya. “Paling tidak, lakukanlah itu untukku. Agar aku
tidak perlu kehilangan dirimu.”
Alena, seandainya kau tahu apa permintaannya,
kau takkan bicara begini....
“Aku juga tak
ingin kehilangan kamu, Alena...,” bisiknya lirih. Tatapan pedihnya menghunjam
Alena.
Suara hembusan
napas Alena terhenti sesaat. Draqou tahu, gadis itu kini menyadari permintaan apa
yang tengah diemban olehnya.
“Dia...
memintamu membunuhku...? Benar, Draqou?” Suara Alena bergetar, seperti kedua
tangannya. Meski ia tidak tahu siapa pengontrak Draqou, ia bisa menerka siapa
kira-kira yang akan meminta pemuda itu membunuhnya. Satu-satunya penyihir yang
menganggapnya sebagai ancaman. “Urk... si culas itu....”
Draqou
berbalik, kini berhadapan dengan Alena. Pemuda itu mengangguk dan membelai pipi
Alena dengan lembut.
“Aku takkan
melakukannya.”
“Draqou...
tapi kau....”
Ditempelkannya
jari telunjuk ke bibir Alena. “Ssh... ini keputusanku. Lebih baik aku yang
hancur daripada harus melihatmu mati di tanganku.”
“Aku akan
membunuhnya kalau aku sampai kehilanganmu!”
Lepas dari
atribut dan kehebatannya, Alena adalah seorang gadis yang memiliki hati teramat
lembut. Dengan mudah gadis itu mencucurkan air mata di depan Draqou saat ia
merasa sedih atau tertekan. Draqou memeluknya, membiarkan gadis itu menangis
dalam pelukannya. Dengan lembut, pemuda itu mencium puncak kepala gadis itu
sambil mengusap-usapnya pelan. Malam ini, adalah malam terakhir untuknya. Ia
takkan bisa lagi bertemu dengan Alena, takkan bisa lagi mengagumi paras
cantiknya yang membuat siapa pun mendecakkan kekaguman. Dengan gerakan
perlahan, Draqou mengangkat dagu gadis itu dan dua pasang mata mereka saling
menatap. Dipandanginya setiap lekuk halus yang membentuk wajah Alena,
menghapalnya dalam benak seakan dengan begitu Alena akan selalu tinggal di
dalam dirinya.
Alena pun
melakukan hal yang sama. Disisirnya helaian rambut Draqou dengan jemarinya.
Disentuhnya hidung mancung si pemuda, lalu tulang pipinya... hingga ke belakang
lehernya. Gadis itu menarik Draqou mendekat lalu mencium bibirnya. Keduanya
memejamkan mata, tenggelam dalam keinginan untuk saling menyentuh, saling
merasakan... untuk yang terakhir kali. Sesekali isakan Alena terdengar memecah
hening, sesekali desah napas Draqou terdengar mengusir sepi. Setelah malam ini,
semuanya akan berakhir, pikir Draqou.
Tiba-tiba
serangan rasa sakit mendera perutnya. Draqou melepaskan pelukannya dari Alena,
menunduk, dan mendapati sebilah pisau telah menembus tubuhnya. Pemuda itu
mengerang, melangkah mundur satu langkah.
“Alena...?”
Gadis itu
tampak terkejut dengan perbuatannya. Kedua matanya yang basah terbelalak, kedua
tangannya memegang sebilah pisau yang kini berlumuran darah kekasihnya. Draqou menatapnya
tak percaya. Namun ia tak menunjukkan perlawanan.
“Jangan
mendekat!” seru Alena ketika Draqou dengan langkah terhuyung mencoba merebut
pisaunya. Gadis itu bergerak mundur menuju lemari pakaiannya lalu dengan cepat
mengambil sebuah tongkat sihir yang tersimpan di dalamnya. Wajah Alena terlihat
bengis. Ekspresi yang belum pernah dilihat Draqou dan yang tidak disangkanya
akan pernah ia lihat ditujukan kepadanya.
“Alena,
tenang,” kata Draqou. Pakaiannya kini bernoda merah karena darah yang terus
keluar dari lukanya. “Aku... tak berniat membunuhmu.”
“DIAM!” Alena
merapalkan mantra dan Draqou pun terhempas keras ke belakang, menabrak meja
rias hingga cerminnya pecah berantakan. Gadis itu melanjutkan ucapannya, “Aku
tahu hari ini akan datang. Aku pernah melihatmu bersama dengan Urk! Aku tahu
kau mendekatiku karena berharap aku akan jatuh cinta padamu sehingga aku akan lengah,
dan kau bisa membunuhku dengan mudah!” Alena melangkah menghampiri Draqou yang
tengah berusaha berdiri. “Aku ikuti permainanmu,” katanya sambil tertawa. “Aku
tidak pernah sedikit pun menyukaimu. Kau hanya makhluk rendahan bodoh yang
mengira aku bisa terjebak tipuanmu.”
“Alena... aku
tidak....” Draqou merintih. Sekujur tubuhnya sakit. Tapi hatinya yang lebih
sakit saat ini. “Aku tidak menipumu!”
Sekali lagi
tubuhnya terhempas keras, kali ini pecahan-pecahan cermin itu melukainya. Alena
sama sekali tidak mau mendengar penjelasannya. Semakin ia mencoba, gadis itu
semakin gencar menyerangnya.
Draqou tak
punya pilihan. Ia melompat dengan cepat, mendarat di punggung gadis itu dengan
tangan melingkari leher jenjangnya. Alena melawan, tongkat sihirnya
mengeluarkan cahaya yang menghancurkan kamar itu, tapi tidak Draqou. Ketika tangan
gadis itu bergerak mendekatinya, dengan cepat ia merebut tongkat sihir itu dari
tangan Alena.
“Kembalikan!”
desis Alena. Draqou melepaskannya, gadis itu pun langsung menyerangnya dengan
membabibuta, berusaha menggapai tongkat sihir yang dipegang Draqou tinggi di
atas kepala. Hilang sudah semua kecantikan yang biasanya ditunjukkan oleh gadis
itu. Ia kini tampak seperti gadis kecil yang ketakutan mainannya direbut. “Kembalikan
tongkatku, Jin!”
“Padahal, aku
benar-benar mencintaimu,” bisik Draqou.
Ia benar-benar
kecewa. Amarahnya membuncah. Dipatahkannya tongkat sihir yang merupakan sumber
kekuatan Alena. Diabaikannya jeritan gadis itu. Draqou tak menyia-nyiakan
waktu, ia segera mencekik leher gadis itu dan dengan cepat aliran panas segera
berkumpul di telapak tangannya dan berubah menjadi api yang melalap tubuh Alena
dengan kecepatan tak terkira. Draqou melangkah mundur, kedua matanya terus
menatap tubuh Alena yang terbakar.
Namun gadis
itu tidak menjerit.
Kedua mata
Draqou terbelalak. Ia merasa tak sanggup bernapas.
Apa yang baru
saja didengarnya?
Di tengah
suara api yang berkobar... ia mendengar suara Alena berkata...
“Aku mencintaimu,
Draqou.”
Ini cerita yang mengawali ketertarikanku untuk membaca seluruh karya2mu :) draqou alena abiel pome puput benpo yuki naoto katya sergei shin bi jeorin n the little girl from upstairs. Nice to meet you all !!! I dont what makes a story good, i am not good at feeling the emotion and romance in story because i never read much book before
BalasHapus. Cant tell which one is good, tapi yang aku tau aku ga bosen baca cerita2 disini dan selalu penasaran hingga ending. And i surely laugh when i read pome and 4 idiots!! Keep on writing !! And i will keep on reading your creation ^__^
Thank you for reading and leaving comment here. It's really meaningful :D I'm glad you like to read my stories! Thanks again :D
Hapus