Halaman

Minggu, 09 Desember 2012

Draqou


Cerpen ini diikutsertakan pada lomba Cerbul Kastil Fantasi bulan November di Goodreads.
***

Jalanan yang dilewatinya gelap dan becek, bau tengik sampah yang menumpuk di sudut jalan membuatnya menahan napas dan berjalan lebih cepat. Segera saja sepatu bot dan ujung-ujung celana panjang yang dipakainya kotor oleh cipratan tanah basah yang menempel. Jaket hitam panjang bertudung yang menutupi kepala dan bagian atas tubuhnya basah oleh gerimis yang masih turun perlahan di kota tua itu. Di kanan kiri jalan tampak para tunawisma yang berteduh dengan berlapis-lapis koran sebagai alas duduk. Seorang ibu memeluk tiga orang anaknya yang menangis kedinginan serta didera kelaparan. Seorang kakek tua berbaring tak peduli di atas karton yang dilebarkan, di sisinya seorang nenek tua sibuk berdoa rosario. Berlusin-lusin anak kecil bergerombol di bawah lindungan atap yang menonjol keluar, beberapa terlihat tertawa mengerjai anak-anak yang lebih lemah—menyirami mereka dengan menendangi genangan air. Suara tawa dan jerit mereka menutupi suara langkah sepatunya yang berkecipak saat ia melompat ke atas tumpukan peti kayu lalu ke jendela sebuah bangunan tua yang terbengkalai.


Bagian dalam bangunan itu dilapisi dengan debu tebal yang segera beterbangan ketika sepatu botnya menapak di atas lantai yang dilapisi karpet usang. Kegelapan menjadi lebih pekat di dalam, ia nyaris tidak bisa melihat apa-apa sebelum ia mengaktifkan penglihatan keduanya yang segera memberinya akses untuk melihat seluruh ruangan tanpa kesulitan.  Ia pun bisa melihat semua makhluk halus yang berdiam di sana. Ada yang melayang-layang dalam wujud seperti kelelawar kecil, ada juga yang meringkuk di sudut-sudut ruang.

“Rupanya kau sudah datang, Draqou,” sebuah suara misterius memecah keheningan disusul gumpalan asap yang segera menampakkan sosok pria dewasa setinggi seratus delapan puluh limaan. Sosok samaran—tentu saja. Dari jarak yang begitu dekat, aura kengerian yang menguar dari sosok itu terasa semakin kental dan mengintimidasi, membuat Draqou menelan ludah diam-diam. Jika bukan karena keterikatan pada kontrak, Draqou lebih memilih untuk tidak dekat-dekat dengan sosok tersebut.

“Ya, Master Urk,” Draqou menjawab seraya menundukkan kepala memberikan hormat. Tudung jaketnya diturunkan, memperlihatkan rambutnya yang sehitam arang, panjang menutupi sepasang telinganya yang meruncing pada ujung-ujungnya. Warna biru cerah matanya kini terlihat lebih jelas, menatap ke arah sosok penyihir yang memanggilnya datang malam itu. Kulit pada sisi sebelah kanan wajahnya lebih gelap dari sisi yang lain, sebuah pertanda bahwa dirinya adalah separuh manusia, separuh jin.

“Rupanya kau masih saja suka menyia-nyiakan waktu dengan berjalan kaki ke tempat perjanjian kita,” kata Master Urk dengan nada menyindir.

“Apakah gerangan permintaan Master sehingga memanggil saya ke sini?” tanya Draqou sopan tanpa merespon sindiran Master Urk padanya. Kontrak antara mereka terjadi beberapa bulan lampau. Berbeda dengan para pengontrak lain yang tamak, Master Urk tidak menyampaikan tiga permintaan sekaligus. Hal ini menyebabkan Draqou tidak dapat mencari Master baru karena peraturan kontrak yang mengikatnya sedemikian rupa, ia sama seperti tawanan sampai tiga permintaan Master Urk ia kabulkan seluruhnya.

“Aku masih memiliki dua permintaan lagi,” kata Master Urk seolah-olah Draqou sudah lupa soal itu atau sengaja mengulur-ulur waktu. “Dan hari ini, aku ingin menyebutkan permintaanku yang kedua.”

Draqou mendengarkan. Sedikitpun ia tidak membuka suara untuk menginterupsi sekalipun ia sudah mulai tidak sabar. Berada di dekat Master Urk untuk waktu yang lama bukan sesuatu yang disukainya. Bau tubuhnya busuk entah karena apa. Reputasinya sebagai penyihir pun tidak ada satu pun yang terdengar bagus di telinga Draqou. Permintaan Master Urk yang pertama mengharuskannya membunuh seorang manusia fana yang bekerja di dalam badan pemerintahan. Manusia fana yang diketahui Draqou diharapkan oleh banyak orang untuk menjadi pemimpin negara yang berikutnya. Pekerjaan itu bukan pekerjaan yang sulit, meski manusia fana itu dilindungi oleh ribuan pasukan bersenjata. Ia bisa masuk ke dalam kediamannya tanpa suara, tanpa jejak—karena ia bukan manusia biasa.

Tapi permintaan kedua ini... siapakah yang Master Urk inginkan untuk ia bunuh?

Suara kukuk burung hantu terdengar memenuhi udara bersama gemerisik angin yang menggoyangkan dedaunan. Gerimis sudah berhenti sepenuhnya di luar sana dan hewan-hewan malam mulai melakukan aktivitasnya. Draqou menatap sang penyihir dengan tak sabar, kedua tangannya ia selipkan ke dalam saku celana jinsnya. Kenapa menyebutkan permintaan kedua saja membutuhkan waktu begitu lama? Ataukah permintaan ini jauh lebih sulit daripada yang sebelumnya? Atau justru terlalu mudah hingga Master Urk ragu menyebutkannya?

“Aku ingin kau membunuh seseorang lagi,” akhirnya Master Urk mulai berbicara. “Aku yakin kau bisa melakukan tugas ini sebaik yang sebelumnya.” Senyum licik terlihat menghiasi wajah Master Urk yang dipenuhi bekas luka. “Meski tentu saja... tidak akan mudah karena sebagian dirimu yang masih manusia itu.” Lalu ia tertawa keras hingga makhluk-makhluk halus yang sejak tadi melayang-layang di sekeliling ruangan merasa terganggu dan memutuskan untuk pindah ke ruangan lain. Draqou bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Master Urk di balik tawa dan senyum liciknya itu. Tidak bisa ia mengabaikan firasat buruk yang seketika timbul dalam hatinya.

“Siapa?” tanya Draqou—rahangnya mengeras.

“Hm?”

“Siapa yang kau ingin kubunuh kali ini?”

“Anak muda, kau sungguh tak sabaran,” kekeh Master Urk menepuk pundaknya dengan akrab.

“Aku tak punya waktu seharian untuk mendengar permintaanmu, Master Urk.”

“Baiklah. Aku pun ingin tugas kali ini kau lakukan dengan cepat. Malam ini juga.” Master Urk kini berdiri di belakangnya, mendekatkan bibirnya ke telinga Draqou hingga ia merasakan dingin menusuk hingga ke tulang-tulangnya. “Aku... ingin... kau... membunuh....”

Draqou menahan napas.

“Alena. Alena Stierlight.”

Darah seolah tiba-tiba berhenti mengaliri pembuluh darah di tubuhnya ketika mendengar nama itu disebut. Dengan gerakan cepat, Draqou memutar tubuhnya hingga ia kini berhadap-hadapan dengan Master Urk.

“Dengan segala hormat...,” ujarnya terbata, “...siapa yang Master sebut tadi?”

“Aku yakin kau sudah mendengarnya dengan jelas, Draqou,” Master Urk terkekeh geli. “Telingamu bisa mendengar suara yang sangat kecil sekalipun kalau aku tak salah mengingat. Mustahil rasanya apabila kau tidak dengar kata-kataku tadi. Apalagi nama yang kusebut itu adalah nama seorang penyihir wanita yang paling terkenal saat ini.”

Draqou menelan ludah. Seketika saja tindakan yang begitu sederhana terasa berlipat-lipat kali lebih berat.

“Kenapa Master ingin membunuhnya?” Kenapa harus memintaku?

“Perjanjian kita tidak menyebutkan aku harus memberitahu alasanku. Kau tentunya ingat itu, kan?”

“Kenapa Anda memintaku? Anda seharusnya bisa melakukannya sendiri kalau mau.”

Master Urk kembali tergelak. “Ya, ya, Draqou... sebenarnya memang bisa saja seperti itu, tapi tidak ada alasan kenapa aku tidak boleh memakai permintaan keduaku, eh? Kita masih terikat kontrak.”

Ia tidak bisa menjawab. Deru napasnya terdengar lebih berat seiring dengan membesarnya amarah dalam dirinya. Ia menggigit bibir kuat-kuat, kaki kanannya bergerak gundah menggosok-gosok lantai berdebu dengan sol sepatunya. Alena Stierlight adalah seorang penyihir wanita terkuat di kota itu. Kepercayaan perdana menteri. Mantan pengontrak jasa Draqou.

Juga satu-satunya wanita yang dicintainya.

“Kau tidak akan menolak permintaanku, kan? Draqou? Aku sempat mendengar desas-desus bahwa kau dekat dengan penyihir wanita itu, dan menurut pendapatku hal itu akan jadi keuntungan untukmu,” Master Urk tersenyum penuh pengertian. Jika Draqou tidak tahu seperti apa Master Urk, ia tidak akan merasa semuak ini melihatnya. “Lagipula, kontrak kita tak bisa dibatalkan tanpa merugikan dirimu sendiri.”

“Aku mengerti.”

---

Brengsek!

Draqou menendangi batu-batu kerikil yang dilewatinya sepanjang perjalanan. Ia tidak tahu harus bagaimana, harus kemana lagi selain berjalan mendekati wilayah tempat tinggal Alena di pusat kota. Tugasnya harus diselesaikan malam ini juga sesuai dengan permintaan Master Urk. Sejak ia mengenyam pendidikan dunia jin, ia sudah diajarkan bahwa apa pun permintaan pengontraknya, ia harus mengabulkannya. Kecuali jika permintaan itu adalah membangkitkan kematian. Dan jika ia menolak, resikonya adalah nyawanya sendiri. Baginya mengabulkan permintaan bukanlah sesuatu yang sulit dan personal—setidaknya selama ini begitulah yang dirasakannya.

Tapi satu kali pun Draqou tidak pernah membayangkan bahwa ia akan diminta menghabisi seseorang yang sangat berarti baginya.

Alena... bagaimana mungkin ia bisa menghabisi nyawa gadis yang selalu ingin dilindunginya?

Rasanya akan seperti membinasakan dirinya sendiri.

---

“Draqou? Kaukah itu?”

Gadis itu mengenakan gaun terusan sutra berwarna merah malam ini. Roknya jatuh ringan semata kaki, melambai lembut seiring dengan langkah anggun kedua kakinya yang langsing. Pita yang melilit di bagian pinggang menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Rambut pirangnya diikat membentuk cepol yang dihiasi jepit rambut sederhana berbentuk mahkota bunga kecil. Ia melangkah mendekati jendela, menarik tirainya hingga terbuka. Binar matanya berubah cerah ketika dilihatnya seorang pemuda berdiri di ambang jendela yang segera ia buka.

“Kenapa kau tidak langsung masuk saja seperti biasanya?” tanya Alena ketika Draqou sudah duduk di atas tempat tidurnya dengan wajah muram. Gadis itu duduk di sampingnya, memperhatikan raut muka pemuda separuh jin itu. Ia langsung mengerti bahwa ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiran kekasihnya itu. Jika sedang dalam masalah, Draqou berubah menjadi sangat pendiam. “Kau kenapa? Ada masalah?”

Draqou mengerjapkan matanya, menoleh menatap sepasang mata hijau limau milik Alena. Ingin ia menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu tapi ia pun tahu ia tidak bisa berbohong. Tidak pada gadis itu. Sebagai gantinya, pemuda itu menghela napas berat lalu merengkuh tubuh Alena dengan kedua lengannya—memeluknya erat. Perbuatannya itu menimbulkan tanda tanya yang semakin besar dalam benak Alena.

“Draqou?”

“Hm?”

“Aku tidak bisa membaca pikiranmu, jadi kumohon bicaralah,” bujuk Alena.

“Tidak. Tidak ada apa-apa. Memangnya aku tidak boleh memelukmu, hm?” Draqou tersenyum, memberikan sebuah kecupan ringan di bibir gadis itu lalu melepas pelukannya. Dengan canggung kedua matanya memandangi seisi kamar Alena, pada sebuah foto berbingkai emas yang memperlihatkan gambar Alena beserta kedua orangtua dan ketiga adiknya, lalu pada ornamen-ornamen sihir pelindung yang dipasang seolah-olah adalah penghias ruangan.

“Kau tahu... kau itu tidak pandai berbohong, Draqou,” Alena merajuk. Digenggamnya tangan Draqou dengan kedua tangannya. “Apakah ini berhubungan dengan permintaan pengontrakmu?”

Draqou terdiam, ia berpikir. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya pada Alena?

“Permintaannya terlalu berat untukmu?” tanya Alena lagi. Disentuhnya pipi Draqou dengan tangan kanannya. Gadis itu sangat khawatir, sebab ia tahu resiko yang akan ditanggung kekasihnya jika tidak bisa mengabulkan permintaan pengontraknya. “Kau akan mengabulkannya, kan? Kau pasti bisa melakukannya, Draqou. Aku yakin.”

“Jangan mengucapkan sesuatu yang tak kau mengerti, Alena!” bentak Draqou marah. Alena terkesiap, refleks menarik tangannya. Pemuda itu berdiri lalu berjalan mendekati meja nakas di sisi tempat tidur Alena. Di atas meja itu ada sebuah pajangan berbentuk harimau yang terbuat dari batu giok. Ia yang memberi harimau itu pada Alena pada hari jadi mereka, sebuah jimat pelindung yang akan selalu menjauhkan gadis itu dari marabahaya. Jika ia harus membunuh Alena, ia harus terlebih dulu menghancurkan harimau itu. Juga mantra-mantra pelindung kuat lain yang mungkin sudah dipasang oleh Alena selama ini. Tapi, sanggupkah ia membunuh Alena?

“Aku tidak bisa. Kali ini aku tidak bisa mengabulkan permintaannya.” Draqou mengusapkan tangannya pada harimau itu. Bagaimana bisa? Bahkan membayangkannya saja membuat dadanya serasa ditusuk-tusuk ribuan jarum.

“Draqou....”

Draqou merasakan gadis itu bergerak mendekatinya, berada di belakangnya kini. Alena merengkuh pinggang Draqou dengan kedua tangan rampingnya dan meletakkan dagu di bahu kanannya.

“Aku tak ingin kehilanganmu...,” bisiknya. “Paling tidak, lakukanlah itu untukku. Agar aku tidak perlu kehilangan dirimu.”

Alena, seandainya kau tahu apa permintaannya, kau takkan bicara begini....

“Aku juga tak ingin kehilangan kamu, Alena...,” bisiknya lirih. Tatapan pedihnya menghunjam Alena.
Suara hembusan napas Alena terhenti sesaat. Draqou tahu, gadis itu kini menyadari permintaan apa yang tengah diemban olehnya.

“Dia... memintamu membunuhku...? Benar, Draqou?” Suara Alena bergetar, seperti kedua tangannya. Meski ia tidak tahu siapa pengontrak Draqou, ia bisa menerka siapa kira-kira yang akan meminta pemuda itu membunuhnya. Satu-satunya penyihir yang menganggapnya sebagai ancaman. “Urk... si culas itu....”

Draqou berbalik, kini berhadapan dengan Alena. Pemuda itu mengangguk dan membelai pipi Alena dengan lembut.

“Aku takkan melakukannya.”

“Draqou... tapi kau....”

Ditempelkannya jari telunjuk ke bibir Alena. “Ssh... ini keputusanku. Lebih baik aku yang hancur daripada harus melihatmu mati di tanganku.”

“Aku akan membunuhnya kalau aku sampai kehilanganmu!”

Lepas dari atribut dan kehebatannya, Alena adalah seorang gadis yang memiliki hati teramat lembut. Dengan mudah gadis itu mencucurkan air mata di depan Draqou saat ia merasa sedih atau tertekan. Draqou memeluknya, membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya. Dengan lembut, pemuda itu mencium puncak kepala gadis itu sambil mengusap-usapnya pelan. Malam ini, adalah malam terakhir untuknya. Ia takkan bisa lagi bertemu dengan Alena, takkan bisa lagi mengagumi paras cantiknya yang membuat siapa pun mendecakkan kekaguman. Dengan gerakan perlahan, Draqou mengangkat dagu gadis itu dan dua pasang mata mereka saling menatap. Dipandanginya setiap lekuk halus yang membentuk wajah Alena, menghapalnya dalam benak seakan dengan begitu Alena akan selalu tinggal di dalam dirinya.

Alena pun melakukan hal yang sama. Disisirnya helaian rambut Draqou dengan jemarinya. Disentuhnya hidung mancung si pemuda, lalu tulang pipinya... hingga ke belakang lehernya. Gadis itu menarik Draqou mendekat lalu mencium bibirnya. Keduanya memejamkan mata, tenggelam dalam keinginan untuk saling menyentuh, saling merasakan... untuk yang terakhir kali. Sesekali isakan Alena terdengar memecah hening, sesekali desah napas Draqou terdengar mengusir sepi. Setelah malam ini, semuanya akan berakhir, pikir Draqou.

Tiba-tiba serangan rasa sakit mendera perutnya. Draqou melepaskan pelukannya dari Alena, menunduk, dan mendapati sebilah pisau telah menembus tubuhnya. Pemuda itu mengerang, melangkah mundur satu langkah.

“Alena...?”

Gadis itu tampak terkejut dengan perbuatannya. Kedua matanya yang basah terbelalak, kedua tangannya memegang sebilah pisau yang kini berlumuran darah kekasihnya. Draqou menatapnya tak percaya. Namun ia tak menunjukkan perlawanan.

“Jangan mendekat!” seru Alena ketika Draqou dengan langkah terhuyung mencoba merebut pisaunya. Gadis itu bergerak mundur menuju lemari pakaiannya lalu dengan cepat mengambil sebuah tongkat sihir yang tersimpan di dalamnya. Wajah Alena terlihat bengis. Ekspresi yang belum pernah dilihat Draqou dan yang tidak disangkanya akan pernah ia lihat ditujukan kepadanya.

“Alena, tenang,” kata Draqou. Pakaiannya kini bernoda merah karena darah yang terus keluar dari lukanya. “Aku... tak berniat membunuhmu.”

“DIAM!” Alena merapalkan mantra dan Draqou pun terhempas keras ke belakang, menabrak meja rias hingga cerminnya pecah berantakan. Gadis itu melanjutkan ucapannya, “Aku tahu hari ini akan datang. Aku pernah melihatmu bersama dengan Urk! Aku tahu kau mendekatiku karena berharap aku akan jatuh cinta padamu sehingga aku akan lengah, dan kau bisa membunuhku dengan mudah!” Alena melangkah menghampiri Draqou yang tengah berusaha berdiri. “Aku ikuti permainanmu,” katanya sambil tertawa. “Aku tidak pernah sedikit pun menyukaimu. Kau hanya makhluk rendahan bodoh yang mengira aku bisa terjebak tipuanmu.”

“Alena... aku tidak....” Draqou merintih. Sekujur tubuhnya sakit. Tapi hatinya yang lebih sakit saat ini.  “Aku tidak menipumu!”

Sekali lagi tubuhnya terhempas keras, kali ini pecahan-pecahan cermin itu melukainya. Alena sama sekali tidak mau mendengar penjelasannya. Semakin ia mencoba, gadis itu semakin gencar menyerangnya.

Draqou tak punya pilihan. Ia melompat dengan cepat, mendarat di punggung gadis itu dengan tangan melingkari leher jenjangnya. Alena melawan, tongkat sihirnya mengeluarkan cahaya yang menghancurkan kamar itu, tapi tidak Draqou. Ketika tangan gadis itu bergerak mendekatinya, dengan cepat ia merebut tongkat sihir itu dari tangan Alena.

“Kembalikan!” desis Alena. Draqou melepaskannya, gadis itu pun langsung menyerangnya dengan membabibuta, berusaha menggapai tongkat sihir yang dipegang Draqou tinggi di atas kepala. Hilang sudah semua kecantikan yang biasanya ditunjukkan oleh gadis itu. Ia kini tampak seperti gadis kecil yang ketakutan mainannya direbut. “Kembalikan tongkatku, Jin!”

“Padahal, aku benar-benar mencintaimu,” bisik Draqou.

Ia benar-benar kecewa. Amarahnya membuncah. Dipatahkannya tongkat sihir yang merupakan sumber kekuatan Alena. Diabaikannya jeritan gadis itu. Draqou tak menyia-nyiakan waktu, ia segera mencekik leher gadis itu dan dengan cepat aliran panas segera berkumpul di telapak tangannya dan berubah menjadi api yang melalap tubuh Alena dengan kecepatan tak terkira. Draqou melangkah mundur, kedua matanya terus menatap tubuh Alena yang terbakar.

Namun gadis itu tidak menjerit.

Kedua mata Draqou terbelalak. Ia merasa tak sanggup bernapas.

Apa yang baru saja didengarnya?

Di tengah suara api yang berkobar... ia mendengar suara Alena berkata...





“Aku mencintaimu, Draqou.”

2 komentar:

  1. Ini cerita yang mengawali ketertarikanku untuk membaca seluruh karya2mu :) draqou alena abiel pome puput benpo yuki naoto katya sergei shin bi jeorin n the little girl from upstairs. Nice to meet you all !!! I dont what makes a story good, i am not good at feeling the emotion and romance in story because i never read much book before
    . Cant tell which one is good, tapi yang aku tau aku ga bosen baca cerita2 disini dan selalu penasaran hingga ending. And i surely laugh when i read pome and 4 idiots!! Keep on writing !! And i will keep on reading your creation ^__^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you for reading and leaving comment here. It's really meaningful :D I'm glad you like to read my stories! Thanks again :D

      Hapus