Halaman

Senin, 18 Juli 2011

The Doll House



“You’re sorted to Gryffindor for a reason, Rue. Topi Seleksi tak mungkin salah. Mungkin Gryffindor memang jati dirimu yang sesungguhnya. Suatu hari kau pasti mengerti.”

The Doll House, July 1995

Jujur kukatakan kepadamu, rumah tempatku tinggal sangatlah megah. Desain bangunannya menyerupai rumah-rumah Inggris pada jaman Victoria. Begitu juga dengan seluruh interior bagian dalamnya. Terdiri dari tiga lantai yang masing-masing memiliki langit-langit tinggi, banyak lorong yang berliku yang seringkali membuatku tersesat meski sudah sekitar empat belas tahun aku tinggal di rumah ini. Seluruh ruangan rumah ini bernuansa kayu yang hangat. Kalau bukan karena pelayan-pelayannya, aku sebenarnya sangat menyukai suasana rumah ini. Kenapa?

Kedua orangtua angkatku memiliki semacam kegilaan pada boneka-boneka porselen. Mereka mengoleksi berjenis-jenis boneka tersebut dan dipajang pada rak-rak kaca hampir di setiap lorong rumah. Ada satu kamar khusus yang sangat besar yang isinya boneka-boneka koleksi langka yang sangat mahal. Aku dan Mimmy tak pernah diijinkan masuk ke sana. Lalu, sekitar dua tahun yang lalu, ayah angkatku tiba-tiba saja memecat hampir seluruh pelayan di rumah kecuali Liselle—pelayan pribadi Mimmy sejak kecil. Pelayan-pelayan pengganti pun segera berdatangan hari berikutnya.

Mereka sangat cantik. Perawakan mereka sempurna.

Sayang... mereka bukan manusia.

Pelayan-pelayan baru yang dibawa Aldaniel Vervain adalah boneka porselen seukuran manusia yang telah diberikan mantra penggerak. Lebih mengerikan lagi, beberapa dari mereka bisa berbicara. Untung saja mereka tidak benar-benar bertingkah seperti manusia sungguhan karena itu akan menambah kengerian rumah ini. Meski begitu, tetap saja menakutkan. Sejak hari itu aku dan Mimmy lebih memilih tinggal dalam kamar saat matahari sudah meninggalkan langit. Bermain dengan si kecil Orchid—putri kandung orangtua angkatku—menjadi pilihan yang jauh lebih baik daripada harus berpapasan dengan pelayan boneka di koridor yang gelap.


***

"Rue," panggil Mimmy malam itu. Kakak angkatku yang cantik sudah beberapa waktu ini jarang bersuara, lebih suka duduk diam di sisi jendela sambil menatap keluar sampai-sampai aku nyaris mengira ia berubah wujud menjadi boneka sungguhan. Oh, bukan berarti aku percaya kalau Mimmy adalah boneka yang disihir jadi manusia. Sejak pertama kali bertemu dengannya dulu, aku sudah tahu kalau Mimmy manusia biasa yang terlalu polos sehingga percaya begitu saja apa yang diucapkan papa dan mama angkat kami. "Rie lama tak muncul, ya?"

Aku mengangguk pelan. Rie adalah alter-ego yang kerap muncul saat kondisi jiwaku sedang sangat lemah. "Begitulah. Kenapa? Mimmy kangen Rie?"

Kakakku itu menggeleng pelan lalu diam lagi menatap rembulan yang bersinar lembut di langit gelap. Aku yang tak tahu harus berkata apa hanya bisa diam memerhatikannya. Merasa mungkin Mimmy perlu Rie sebagai teman bicara. Belakangan ini Mimmy terlihat seperti memikirkan sesuatu, terutama setiap kali papa habis memanggil Mimmy ke ruangannya.

"Mimmy perlu cerita sesuatu pada Rie? Sesuatu yang tak bisa diceritakan pada Rue?"

Mimmy tak menjawab tapi aku melihat kakak angkatku itu diam-diam menangis.

Melihat seseorang yang disayangi menangis, membuatku tidak bisa tidak memikirkannya. Aku pura-pura berbaring dan tidur padahal aku menunggu hingga Mimmy akhirnya memutuskan untuk meninggalkan jendela dan beranjak ke tempat tidurnya sendiri.

Malam itu aku mendengarnya terisak padahal ia sangat jarang menangis. Aku pun menangis dalam diam bersamanya. Aku sama sekali belum terpikirkan apa gerangan yang membuat Mimmy seperti itu. Lalu Mimmy tertidur, aku pun turut tertidur.

***

"Maaf," ujarku pada Luis—pacarku—karena untuk kesekian kalinya aku melamun saat ia bicara padaku. Padahal aku yang mengajaknya jalan-jalan hari ini. Suara isak tangis Mimmy dan bayangan wajahnya menangis mengganggu benakku sedemikian rupa hingga aku merasa bersalah karena bersenang-senang sendirian. Kuremas tangan Luis erat-erat lalu kupeluk dia. Sudah dua tahun kami menjalin hubungan dan jujur saja perasaanku pada Luis ternyata tidak pernah berubah. Aku masih menyayanginya, semakin menyayanginya. "Rue benar-benar kepikiran soal Mimmy," akhirnya aku jujur pada Luis. "Selama ini Mimmy tak pernah sesedih itu, Luis. Rue penasaran ada apa tapi Mimmy tak mau cerita."

"Mungkin Kak Mimmy masih membutuhkan waktu. Suatu saat Kak Mimmy pasti cerita," Luis balas memelukku dan aku mengangguk. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Sesuatu yang mungkin berhubungan dengan kemurungan Mimmy.

"Kurasa kau benar...," aku mengusap lembut pipi Luis dan tersenyum. Aku punya rencana yang harus kulakukan malam ini. "Kita main lagi yuk, Luis."

***

"Rue harus melakukannya."

Aku menyampaikan niatku malam itu pada Tulip—boneka beruang yang selalu kubawa kemana-mana—dan juga pada Froggy serta Usagi—dua boneka milik Mimmy. Boneka-boneka itu bisa bicara, diberi sihir oleh Aldaniel Vervain supaya bisa menjadi teman bicara kami.

"Rue yakin, kemurungan Mimmy pasti ada hubungannya dengan Papa," ujarku ketika ketiga boneka itu mengungkapkan keberatan mereka. "Jadi, sebelum Papa pulang dan memanggil Mimmy ke ruangannya, Rue akan lebih dulu menyelinap ke sana. Liselle sudah bilang akan membantu Rue, kok."

"Memangnya kau berani, Rue?" Froggy si boneka kodok mengujar dengan nada mencemooh, "Jangan-jangan kau malah menggagalkan rencanamu karena kau menangis ketakutan nanti!"

"Benar, Rue... kau sudah pikirkan baik-baik?" kali ini Tulip yang bertanya. Usagi seperti biasa lebih suka diam saja. "Kalau Mr. Vervain tahu, kau bisa dihukum berat."

Aku merapatkan bibirku lalu dahiku mengerut. Aku tahu, aku ini masih anak lelaki empat belas tahun yang pengecut, makanya Froggy dan Tulip bisa berkata seperti itu. Mereka tahu seperti apa aku selama ini. Lebih memilih bersembunyi daripada menghadapi masalah yang datang di depanku. Mendengarku mengucapkan rencana yang terdengar nekat, wajar saja jika mereka ragu. Saat ini pun, bayangan aku tertangkap basah oleh Papa sudah membuatku berkeringat dingin.

"Rue tahu...," aku mengepalkan tanganku kuat-kuat, "...tapi untuk kali ini Rue harus berani."

Karena aku seorang Gryffindor.

***

Aku mengendap-endap keluar dari kamarku, menyusuri lorong demi lorong menuju ke lantai teratas rumah ini. Gelap. Hanya cahaya dari lampu-lampu kecil di dinding yang menerangi jalanku menuju ke ruangan milik papa. Aku takut, jantungku berdetak sangat cepat, keringat dingin mengucur pelan dari pelipisku tapi aku terus berjalan. Waktuku tidak banyak. Beberapa menit lagi Papa pulang kalau melihat dari kebiasaannya yang tepat waktu. Mama hari ini pergi ke luar negeri untuk memasarkan rancangan seri gaun boneka terbarunya, jadi aku tak perlu mencemaskannya.

"Tuan muda, ayo cepat," Liselle menatapku tak sabar, wajahnya terlihat ketakutan. "Sebentar lagi Tuan besar pulang."

Aku mengangguk dan berjalan lebih cepat. Tak kupedulikan para pelayan boneka yang bergerak-gerak membersihkan ruangan, tak kupedulikan betapa seram suasana lorong-lorong rumahku. Aku tidak sendirian, Liselle menemaniku dan Mimmy membutuhkanku. Aku terus mengulangi pikiran itu dalam benakku hingga akhirnya aku dan Liselle sampai di ruangan Papa.

"Di sini, Tuan muda," bisik Liselle membuka pintu yang berpelitur itu, "Cepat, Tuan muda... Anda harus segera bersembunyi."

Aku pun masuk. Ruangan itu tidak seperti bayanganku selama ini. Kupikir ruangan ini adalah ruang kerja Papa. Kupikir akan ada meja kantor dan kursi besar serta rak-rak penuh dengan buku. Tapi nyatanya, ruangan ini seperti kamar tidur biasa. Ada ranjang besar di sisi kanan lalu lemari pakaian besar di sisi kiri. Cermin seukuran tubuh orang dewasa terpasang di dinding di samping lemari pakaian. Seluruh dindingnya dicat merah muda, mirip seperti kamar Mimmy. Sprei putih berenda dan bantal-bantal berpita membuat kamar ini seperti kamar boneka.

Apa yang Papa lakukan di tempat ini tiap kali memanggil Mimmy?

Sama sekali tak terpikirkan olehku. Mungkin Papa hanya mengobrol dengan kakak angkatku itu di sini? Ataukah kamar ini akan jadi kamar Mimmy nanti? Atau Orchid?

"Ini kamar siapa, Liselle?" tanyaku akhirnya.

"Bukan kamar siapa-siapa, Tuan muda," ujar Liselle tak berani menatap mataku. "Daripada itu, sebaiknya Tuan muda cepat bersembunyi." Ia menarik tanganku, membuka pintu lemari dan mendorongku ke dalamnya setelah kami sama-sama tertegun sesaat melihat isinya. Ada banyak sekali pakaian yang lebih tepat disebut kostum untuk perempuan di dalamnya. Aneh. "Jangan bersuara ya, Tuan muda... bersembunyilah dalam bayangan agar Tuan besar tidak melihat Anda."

Aku mengangguk.

"Kalau terjadi sesuatu... kau langsung jemput Kreon dan Noir, ya! Alamat jaringan floonya sudah ingat, kan?”

Liselle mengiyakan lalu menutup pintu lemari. Aku bisa mendengar derap langkahnya berlari keluar dari ruangan. Kudorong sedikit pintu lemari agar aku punya celah untuk melihat apa yang terjadi nanti.

***

Knock! Knock! Knock!

Aku membuka mataku. Tampaknya aku tertidur sebentar ketika menunggu. Aku buru-buru mengintip dari celah pintu lemari dan kulihat Papa sudah ada di dalam ruangan, duduk bersandar di atas ranjang besar. Papa hanya mengenakan kemejanya, dua kancing teratasnya terbuka.

"Masuk!" ujar Papa.

Suara derit pintu terbuka kemudian terdengar, aku tahu itu pasti Mimmy. Aku menelan ludah, memeluk kedua lututku yang terlipat ke dada sambil menggigiti ibu jari tangan kananku. Aku mendengarkan.
"Ah, bonekaku yang cantik... ayo, tutup lagi pintunya dan cepat kemari."

"Papa, hari ini Mimmy sedang merasa tak sehat...."

Akhirnya Mimmy berada pada batas pandanganku. Kakak angkatku itu terlihat pucat. Wajahnya sama sekali tak tersenyum. Aku bisa melihat gestur tubuhnya menunjukkan bahwa ia ingin segera keluar dari ruangan itu.

"Tak sehat?" Papa memegang kening Mimmy dengan telapak tangannya yang besar, "Tubuhmu tidak demam. Wajahmu memang sedikit pucat tapi kurasa kau pasti akan baikan kalau tahu apa yang kubawakan untukmu malam ini, Fuchsia."

Aku mendengar suara gemerisik plastik dan beberapa saat kemudian di tangan Papa ada selembar terusan mini yang mirip apron berwarna pink berenda dengan motif bunga-bunga pada bagian tengahnya.

"Kau suka?" tanya Papa. Nada suaranya terdengar biasa saja tapi ada penekanan saat Papa menyebut kata suka. Seolah ia tak menginginkan jawaban yang sebaliknya dan tampaknya Mimmy juga menangkap kesan yang sama.

"Suka, Papa."

Dari nada suaranya, aku tahu Mimmy tidak suka. Pakaian itu terlalu mini sekalipun aku yakin Mimmy yang seperti boneka akan sangat pantas memakainya.

"Ganti pakaianmu."

"Tapi Mimmy benar-benar tak enak badan, Pa. Besok saja, ya."

"Pakai sekarang, Fuchsia."

Aku menutup mulut dengan tangan kananku ketika kulihat Papa beranjak dari duduknya menghampiri Mimmy lalu membuka satu demi satu kancing piyama kakak angkatku itu. Mimmy terlihat risih dengan perbuatan Papa, tangannya berusaha mendorong tangan Papa.

"Jangan melawan," ujar Papa tegas tanpa menghentikan kegiatannya, "Tak perlu malu padaku. Kau ini bonekaku. Boneka tak seharusnya merasa malu di hadapan tuannya."

Kudengar Mimmy terisak. Kugigit bibirku kuat-kuat agar tak kelepasan berteriak. Aku heran kenapa Mimmy tak melawan dan kenapa Papa tega melakukan hal sehina itu pada putri angkatnya sendiri. Mimmy sangat cantik, aku mengakui hal itu tapi bukan berarti hal seperti ini pantas dilakukan seorang Papa.

"Please, Papa... Mimmy tak mau melakukan ini sekarang," Mimmy terisak memohon. Dengan kedua tangannya, ia menutupi dadanya yang membusung, bergerak mundur ketika Papa berusaha memeluknya.
"Jangan paksa aku melakukan itu, Fuchsia."

"Kumohon, Papa... Mimmy tak mau lagi," kali ini Mimmy melawan. Ia mendorong Papa hingga jatuh ke ranjang lalu buru-buru membungkuk mengambil piyamanya di lantai. "Mimmy bukan boneka. Papa bohong. Mimmy manusia seperti teman-teman Mimmy yang lain, seperti Rue."

"DIAM!"

Aku tersentak kaget mendengar teriakan Papa yang penuh amarah.

"Petrificus totalus!"

Aku tak bisa melihat apa yang terjadi tapi aku bisa menerka ketika kudengar suara benda jatuh dengan keras ke lantai. Papa memantrai Mimmy, membuatnya membatu. Aku mendapati wajahku sudah basah dengan air mata dan tubuhku gemetar ketakutan. Ini lebih parah dari bayanganku. Papa mengangkat tubuh Mimmy dari lantai, membaringkannya di atas ranjang lalu memakaikan pakaian mini yang dibawanya itu seperti sedang memakaikan pakaian pada boneka. Aku mengerti sekarang mengapa Mimmy begitu takut pada mantra yang sederhana itu. Rupanya Papa sering membuatnya tak bisa bergerak seperti sekarang. Aku tak tahu sudah berapa lama hal seperti ini terjadi dan aku tak ingin membayangkannya.

"Siapa yang telah menghasut bonekaku yang cantik ini, hm?"

Aku, tergerak oleh rasa penasaran membuka pintu lemari sedikit lebih lebar agar aku bisa mengintip apa yang tengah terjadi. Kukeluarkan kepalaku hingga sebatas mata tanpa suara dan aku tak bisa tidak terbelalak ketika melihat Papa sedang mencumbui Mimmy. Tangan Papa bergerak-gerak rakus.

"Kau harus paham Mimmy...," ujar Papa berbisik, "...kau milikku. Boneka milikku."

Ketika tangan Papa bergerak semakin kurang ajar dan kulihat Mimmy menangis, aku mendorong pintu lemari kuat-kuat. Tanpa kusadari aku telah berlari mendekati ranjang dan mendorong Papa hingga jatuh terguling ke lantai. Tanganku gemetaran ketika aku merogoh saku mengambil tongkat sihirku sebelum Papa sempat menyadari apa yang sedang terjadi.

"Rennervate!"

Kubebaskan Mimmy. Kutarik tangan kakak angkatku itu ketika Papa mengacungkan tongkatnya dengan mata penuh binar amarah ke arahku. Aku berlari sambil melemparkan mantra sembarangan ke arah Papa, kuhancurkan beberapa pajangan untuk menghalanginya dan kami berhasil keluar dari ruangan itu.

"Rue... Rue, terimakasih," Mimmy memelukku sambil menangis.

"Ayo, Mimmy... Kita harus keluar dari rumah ini secepatnya."

Papa berteriak memaki dari dalam ruangan. Aku bisa mendengar langkahnya semakin mendekat ke arah pintu.

"RUE! ANAK BRENGSEK TAK TAHU TERIMAKASIH!! KEMARI KAU!!"

"Sembunyi!" bisikku keras sambil berlari menuruni tangga bersama Mimmy dan cepat-cepat kami menyembunyikan diri dengan berjongkok pada celah di bawah tangga yang gelap. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata lalu kupeluk Mimmy erat-erat. Aku ketakutan. Sangat ketakutan. Ini hal tergila yang pernah kulakukan seumur hidupku. Dadaku naik turun. Nafasku tersengal-sengal. Kudengar Mimmy pun sama tersengalnya. Kakak angkatku itu masih terisak pelan nampaknya masih sangat terguncang. Rambutnya yang biasa rapi dan indah sekarang terlihat berantakan. Wajahnya sembab dan pucat.

"Mimmy tak apa-apa, kan? Papa tak melukai Mimmy, kan?" tanyaku berbisik.

"Mimmy tak apa-apa, Rue," isak Mimmy serak, balas memelukku lalu tak berkata apa-apa lagi karena sebuah bayangan besar menutupi kami berdua hingga celah tempat kami bersembunyi menjadi lebih gelap dari sebelumnya.

Aku mendongak. Salah satu pelayan boneka berdiri di depan kami, menatap kami dengan mata besarnya yang berbulu mata lentik. Bibir kakunya kini menyeringai mengerikan. Itu salah satu boneka yang disihir sehingga bisa bicara dan bergerak sesuai perintah Papa. Aku menjerit, Mimmy menjerit. Boneka itu menjulurkan kedua tangannya hendak menangkap kami. Aku memejamkan mata, menyeruduk perut keras boneka itu dengan kepalaku hingga terjungkal lalu kutarik Mimmy dan kami berlari lagi menyusuri lorong gelap menuju ke lantai bawah. Suara Papa yang tertawa menggema memenuhi lorong yang kulalui bersama Mimmy. Suara tawa yang mengintimidasi. Suara tawa yang mendengungkan kemenangan dan juga kekalahan kami.

"Mimmy, kita harus lari ke ruang duduk... ke perapian!" aku berbisik pada Mimmy. Aku berharap Liselle sudah melakukan perintah yang kuberikan tadi.

Kami mendorong banyak pelayan boneka yang mencoba menghalangi langkah kami. Berusaha untuk tidak menjerit ketakutan, berusaha untuk tidak mengalah pada kaki-kaki kami yang semakin terasa lemas dan gemetar. Aku merasakan kakiku bagai jelly, jika aku berhenti berlari maka aku takkan bisa lagi melanjutkan berlari. Jadi aku terus berlari sekalipun keinginan untuk bergelung di tempat aman dan bersembunyi terasa demikian kuat.

"KYAAAAAAAA!!" Aku dan Mimmy berteriak bersamaan ketika suara ledakan terdengar dan Papa muncul tepat di depan kami. Wajahnya penuh dengan amarah. Aku cepat-cepat berbalik, kutarik Mimmy dan kami berlari lagi. Kudengar ledakan lagi. Papa pasti telah ber-disapparate. Aku lupa bahwa penyihir dewasa memiliki kemampuan untuk berpindah-pindah tempat sesuai keinginannya dengan bebas. Aku merasakan keringat dingin mengucur dari pelipisku, bulu kudukku meremang. Aku tahu, aku takkan bisa menang melawan Papa sejak awal. Dan kini, mengetahui bahwa Papa bisa muncul kapan saja di depan kami membuatku semakin pesimis.

"Jangan takut, Mimmy," ujarku dengan suara serak dan terisak. Apa pun yang terjadi, aku harus menyelamatkan Mimmy. Kalau perhitunganku benar, Kreon dan Noir seharusnya akan segera datang menjemput.

"Mimmy, ayo turun!"

Tiba-tiba saja kerah belakang kaosku ditarik hingga aku jatuh terguling di undakan tangga hingga ke bawah. Pegangan tanganku pada Mimmy terlepas. Aku memejamkan mataku ketika nyeri di seluruh tubuhku membuatku mengaduh. Terdengar bunyi ledakan, suara teriakan Mimmy lalu ledakan lagi. Ketika kubuka lagi mataku...

...Mimmy sudah tak ada.

"MIMMY!? MIMMY, KAU DIMANA!?" aku berteriak-teriak panik, tak lagi peduli pada pelayan-pelayan boneka yang sekarang mengerubungiku. Tubuhku diangkat, mataku tetap berkeliaran mencari sosok Mimmy.

Tapi nihil, aku tak bisa menemukannya. Papa pasti telah membawanya. Ber-apparate ketika aku lengah dan ber-disapparate tepat sebelum aku membuka mata. Aku menangis, meronta berusaha melepaskan diri dari pelayan-pelayan boneka yang entah mau membawaku kemana. Aku tak tahu kemana Papa membawa Mimmy. Rasanya tak mungkin beliau membawanya ke ruangan yang sama. Ada banyak ruangan yang tak pernah kusentuh, ada banyak lorong yang tak pernah kujelajahi. Rumah boneka ini terlalu misterius untukku. Bahkan Hogwarts lebih terasa seperti rumah daripada di sini. Aku kembali meronta hingga akhirnya aku terlepas dari pelayan-pelayan mengerikan, sekujur tubuhku sakit dan kudapati keningku terluka saat jatuh dari tangga.

Aku ketakutan. Benar, rasa takut menguasai pikiranku dan seluruh persendianku. Begitu kulihat pintu kamarku ada di depan mata, aku tak lagi berpikir panjang dan segera masuk ke dalam. Kukunci pintu kamarku dan aku merosot jatuh terduduk di balik pintu.

Menangis seperti anak kecil dengan tubuh gemetaran.

to be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar