Jakarta, 13 Januari 2012
Hari ini ulang tahunnya yang ke-17. Sweet seventeen, begitu semua orang menyebutnya. Biasanya, pesta megah akan diadakan untuk merayakan kedewasaan para gadis di usia tersebut. Mengenakan gaun cantik, menjadi pusat perhatian teman-teman, mendapatkan tumpukan hadiah beraneka rupa, tertawa bersama teman-teman karena permainan yang diusulkan pembawa acara dan menikmati nyanyian kelompok musik yang diundang, semua itu takkan pernah dirasakan gadis berparas Korea tersebut.
Park Shin Bi tak berminat mengadakan pesta ataupun sekedar merayakan ulang tahunnya kecil-kecilan.
Padahal dulu, sebelum tragedi itu terjadi, Shin Bi selalu menantikan hari ini. Ia bahkan telah menyusun daftar undangan untuk pestanya, telah mengumpulkan gambar-gambar gaun cantik yang ingin dikenakannya juga membahas apa saja yang diperlukan untuk membuat pestanya meriah dengan Han Mi Na; sahabatnya.
Shin Bi menghela napas. Ia sedang duduk di sudut perpustakaan, berhadapan dengan beberapa tumpuk buku yang sedang ia rapikan dan ia susun berdasarkan jenisnya. Perpustakaan sekolah itu tidak terlalu besar namun buku-bukunya cukup lengkap. Kira-kira sudah tiga bulan Shin Bi memutuskan pindah dari Seoul ke Jakarta. Ia tinggal di rumah pamannya yang adalah seorang guru bahasa Indonesia di sekolah yang mayoritas muridnya adalah orang Korea.
Banyak hal yang ia tinggalkan di Seoul.
Kenangan buruknya, sahabatnya dan termasuk Jeo Rin; pacarnya.
***
Seoul, 4 bulan lalu.
"Oppa!"
Shin Bi melompat memeluk Jun Wo dari belakang. Beberapa ekor burung merpati yang sedang menyantap biji-bijian di tanah terkejut lalu terbang menjauh. Tawa tergelak terdengar kemudian ketika Jun Wo kehilangan keseimbangan sesaat. Shin Bi selalu suka berlari memeluk Jun Wo setiap kali melihat punggungnya yang lebar.
"Shin Bi-ah!" ujar Jun Wo terengah. Kedua tangannya berpegangan pada dinding di depannya tepat sebelum ia terjatuh dengan Shin Bi bergelayut di punggungnya. "Kalau jatuh bagaimana? Bahaya! Harus berapa kali kuberitahu, sih?"
Shin Bi mengerucutkan bibirnya, turun dari punggung Jun Wo perlahan. "Tapi tidak jatuh, kan?" ujar gadis itu. "Oppa tak pernah jatuh setiap kali aku melakukan itu." Shin Bi tersenyum kemudian memandangi kedua mata cokelat Jun Wo. Ia tahu kakaknya tak akan memarahinya.
"Tak pernah bukan berarti tak akan," jawab Jun Wo singkat. Pemuda itu sesungguhnya merasa senang dengan kebiasaan Shin Bi memberinya kejutan dengan pelukan dari belakang. Ia hanya khawatir jika suatu hari ia tak sempat berpegangan lalu mereka berdua terjatuh dan menyebabkan Shin Bi terluka.
"Jangan marah, Oppa." Shin Bi mengulurkan tangan menggandeng tangan Jun Wo. Diremasnya telapak tangan pemuda itu, "Tangan Oppa dingin sekali. Sarung tanganmu mana?"
"Kuberikan pada Mi Na."
Jun Wo balas meremas tangan Shin Bi yang terbungkus sarung tangan wol tebal.
"Tumben Jeo Rin tidak mengantarmu pulang," ujar Jun Wo lagi. Shin Bi meneleponnya saat ia sedang makan malam bersama dengan Mi Na, meminta Jun Wo menunggunya selepas kencannya selesai di depan mini market di dekat sekolah mereka agar bisa pulang bersama. Raut wajah Shin Bi seketika berubah. Sebuah kernyitan sempat tergurat di keningnya. Dia menundukkan kepala, mengayunkan tangannya yang menggandeng tangan Jun Wo lalu tertawa lirih.
"Oppa, salju turun!" ujarnya mengalihkan pembicaraan. Ia merentangkan kedua tangannya ke atas, membiarkan salju turun perlahan ke atas telapak tangannya. "Waah... salju turun lebih cepat, ya!"
"Ada apa antara kau dan Jeo Rin?" Jun Wo bertanya. Dia berdiri di samping Shin Bi dengan kepala menghadap ke atas memandangi butiran salju yang mulai turun perlahan. Dari ekor matanya, dia bisa melihat Shin Bi menurunkan kedua tangannya lalu menunduk lesu.
"Tidak. Tidak ada apa-apa, kok."
"Bertengkar?"
Shin Bi terdiam lalu menganggukkan kepalanya beberapa saat kemudian.
Dan Jeo Rin terdiam. Bergeming di tempatnya ketika Shin Bi berlari meninggalkannya.
“Mau cerita?”
Shin Bi cepat-cepat menggeleng. Air mata yang sejak tadi
ditahannya tiba-tiba saja mengalir membentuk sungai kecil di pipinya. Jun Wo
merangkul gadis itu dan menuntunnya berjalan bersama menyusuri trotoar untuk
pulang ke rumah. Dibiarkannya Shin Bi menangis sampai puas. Tak ada gunanya
memaksa gadis itu bercerita saat sedang menangis seperti ini. Jun Wo tahu
setibanya di rumah nanti Shin Bi pasti akan menjelaskan semuanya.
Sayangnya, baik Jun Wo maupun Shin Bi tak tahu apa yang
akan terjadi di masa depan. Keduanya tak melihat ketika sebuah mobil sedan
melaju dengan cepat di jalanan. Pengemudinya terkantuk-kantuk di belakang
setir. Ketika Jun Wo tersadar akan datangnya bahaya, sedan itu telah terlanjur
menabrak keduanya.
Shin Bi menjerit. Ia bisa merasakan Jun Wo memeluknya
erat-erat ketika mereka berdua terlontar dari trotoar itu dengan keras,
terguling-guling di atas aspal.
Ketika ia sadar kembali dua hari kemudian, Jun Wo sudah
tak ada di sisinya. Pergi untuk selamanya.
***
“Shin
Bi-ah.”
Shin Bi bergeming. Kedua matanya
tertutup sementara kepalanya bersandar ke dinding perpustakaan dengan tangan
memegang kamus bahasa Indonesia-Korea yang terbuka lebar.
“Shin Bi-ah.... Ada yang datang mencarimu, tuh.”
Kedua mata itu akhirnya terbuka.
Choi Eun Ae; si penjaga perpustakaan; membungkuk menatapnya sambil
menepuk-nepuk pundaknya.
“Eun Ae? Ada apa? Aku ketiduran,
ya...,” ujar Shin Bi menggosok-gosok matanya sambil menguap.
“Ada yang mencarimu. Seorang cowok
yang sangat tampan!”
“Cowok tampan?”
Shin Bi mengikuti Eun Ae yang
mengantarnya ke depan pintu masuk perpustakaan.
“Aku sudah menawarinya masuk tapi
dia bersikeras menunggu di luar,” kata Eun Ae lalu kembali ke dalam
meninggalkan Shin Bi.
Siapa?
Shin Bi mendekati sosok yang memunggunginya. Jantungnya berdebar lebih cepat
karena sesungguhnya ia mengenali sosok itu sekalipun dari belakang. Tapi,
mungkinkah? Saat ini ia berada di Jakarta, bukan di Seoul. Tak seorang pun
kenalannya di Seoul tahu ia ada di Indonesia.
“Anda mencariku?” tanya Shin Bi
memberanikan diri.
Shin Bi tak bisa menyembunyikan
keterkejutannya ketika sosok yang ada di depannya itu kini berbalik menghadap
ke arahnya. Dugaannya tak salah.
“Jeo Rin oppa...,” ujarnya terbata, “kenapa oppa ada di sini?”
Hwang Jeo Rin tak menjawab. Kedua
tangannya dengan cepat merengkuh Shin Bi dalam pelukannya.
“Lepaskan aku,” kata Shin Bi seraya
mendorong tubuh pemuda yang lebih tinggi darinya itu agar menjauh. Hwang Jeo
Rin terlihat berantakan. Wajahnya pucat dan rambutnya seperti tidak disisir
setelah bangun tidur. “Seharusnya Jeo Rin oppa
tidak datang ke sini.”
“Kenapa?”
“....”
Shin Bi tak bisa menjawab. Gadis itu
hanya menunduk dan menutupi wajahnya yang kini basah oleh air mata. Ia teringat
lagi pada tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa kakaknya.
“Kenapa, Shin Bi? Kenapa aku tak
boleh menemui pacarku sendiri?” tanya Jeo Rin dengan nada meninggi. “Kenapa kau
meninggalkan Korea tanpa bilang apa-apa padaku? Orang tuamu sangat khawatir....”
Shin Bi masih diam. Ia berbalik
memunggungi Jeo Rin.
“Kau sudah tak lagi mencintaiku,
Shin Bi-ah?"
“Pulanglah... aku ingin melupakan
Korea dan juga semua kenanganku di sana,” ujarnya di sela isakan. “Aku sudah
bukan Shin Bi yang dulu kau kenal, Oppa.”
“Shin Bi-ah... jangan bersikap
begini. Kumohon...,” pinta Jeo Rin memegang kedua sisi bahu Shin Bi dari
belakang. “Bukankah aku sudah bersumpah akan selalu di sisimu? Bukankah kau
juga begitu?”
“Bukankah Oppa juga pernah bersumpah takkan membuatku menangis?”
“Apa hubungannya?”
“Kalau Oppa ada di sini... aku takkan bisa berhenti menangis.”
Dan Jeo Rin terdiam. Bergeming di tempatnya ketika Shin Bi berlari meninggalkannya.
***
Keberadaanku di
sini membuatnya menangis?
Hwang Jeo
Rin menatap Shin Bi yang berlari keluar gedung dengan perasaan campur aduk.
Gadis yang dulu selalu bersikap manja padanya, gadis yang dulu selalu tertawa
sesulit apa pun masalah yang sedang dihadapinya... kini terlihat begitu rapuh
dan begitu mudah terluka. Membuat Jeo Rin semakin ingin melindunginya,
merengkuhnya dalam pelukan dan tak lagi melepaskannya sendirian. Ingin rasanya
ia memaki diri sendiri yang saat itu tak tahu harus berbuat apa agar gadis itu
tersenyum. Ia sama sekali tak menyangka akan mendapatkan penolakan dari Shin Bi
setelah jauh-jauh datang ke Jakarta.
Tapi
bagaimana pun ia tak bisa menyalahkan Shin Bi. Musibah yang menimpa Park Jun Wo
telah menorehkan luka di hati gadis itu. Jeo Rin masih ingat bagaimana gadis
itu menjerit-jerit histeris setelah tersadar dari koma pasca kecelakaan. Ia
juga masih ingat jelas bagaimana gadis itu mencoba bunuh diri berkali-kali
karena merasa kematian Jun Wo adalah kesalahannya.
Bahkan
keberadaannya tak cukup untuk memulihkan luka Shin Bi.
“Shin Bi
kenapa?”
Suara
seseorang itu menyadarkan Jeo Rin dari lamunannya. Pemuda itu mendapati gadis
yang tadi membantunya memanggilkan Shin Bi kini berdiri di dekatnya.
Kelihatannya gadis itu melihat apa yang baru saja terjadi.
“Maaf,
apa kau tahu di mana Shin Bi tinggal?”
“Dia
tinggal di rumah pamannya. Dia guru Bahasa Indonesia di sekolah ini.”
“Bisa kau
bantu mempertemukan aku dengan pamannya?” tanya Jeo Rin tak sabaran.
Gadis itu
menatap Jeo Rin curiga.
“Sebelum
itu, boleh kutahu siapa kau? Kenapa Shin Bi menangis saat melihatmu?” tanya
gadis itu. “Aku tak bisa memberitahu informasi pribadinya kalau ternyata kau
orang jahat.”
“Ah,
maafkan aku. Namaku Hwang Jeo Rin. Aku pacar Shin Bi.”
“Oh! Aku
pernah melihat fotomu di dompet Shin Bi! Pantas saja rasanya wajahmu familiar.
Aku Choi Eun Ae, bisa dibilang aku teman Shin Bi yang paling dekat di sini.”
Jeo Rin
menatap gadis itu, menimbang-nimbang.
“Apakah
dia menceritakan padamu alasan dia datang ke Jakarta?”
Gadis itu
menggeleng.
“Shin Bi
selalu menghindar tiap kali aku bertanya tentang apa pun yang berkaitan dengan
Korea.”
“Begitu....”
“Jadi...
apa kau mau cerita padaku, Hwang Jeo Rin-ssi?”
tanya Choi Eun Ae. “Sebagai gantinya, aku akan mengantarmu ke rumahnya. Yah,
kalau ceritamu menyentuhku, tentu.”
***
Shin Bi terkejut ketika mendapati Jeo Rin berdiri di depan
pintu rumahnya. Setiap hari pemuda itu selalu datang sekalipun Shin Bi
berkali-kali menolak bertemu dengannya. Kamar tidurnya kini penuh dengan buket
bunga dan boneka yang dibawakan Jeo Rin setiap harinya. Ada sebuah kartu ucapan
selamat ulang tahun serta beberapa lembar surat yang digeletakkan begitu saja
di atas meja, semuanya dari Jeo Rin. Memintanya pulang ke Seoul, memintanya
untuk memaafkan dirinya sendiri, mengatakan kata-kata penuh cinta dan
sebagainya.
Tapi Shin
Bi masih mengeraskan hatinya. Ia sudah bertekad untuk melupakan semuanya
tentang Korea. Tentang musibah itu.
Dan hari
itu, hujan turun sangat deras. Shin Bi bisa mendengar gelegar guntur
menggetarkan jendela kamarnya. Langit di luar gelap namun ia bisa melihat Jeo
Rin berdiri di luar, tepat di bawah jendela kamarnya. Tampak sengaja agar Shin
Bi bisa melihatnya menunggu hingga ia membukakan pintu untuk pemuda itu.
Tiga hari pun berlalu dan Jeo Rin masih
tetap berdiri di sana... bujukan paman Shin Bi tidak dipedulikannya. Pakaiannya
sudah kotor terkena hujan dan debu, wajahnya pucat dan bibirnya gemetar karena
hujan kembali mengguyur tubuhnya. Shin Bi menatap pemuda itu dari balik tirai
jendelanya. Sesungguhnya gadis itu teramat khawatir. Ia tak menyangka Jeo Rin
akan begitu keras kepala. Awalnya ia berpikir Jeo Rin akan menyerah jika ia
terus menolaknya.
Haruskah ia mengubah keputusannya
sekarang?
Haruskah ia kembali ke Korea?
Haruskah ia menelan lagi segala pahit
yang telah melubangi hatinya?
***
Dingin.
Jeo Rin
bisa merasakan tubuhnya gemetar hebat karena serangan dingin yang menusuk-nusuk
hingga ke tulang. Kedua kakinya pun kelelahan, tak sabar untuk beristirahat.
Perutnya lapar, lambungnya menjerit-jerit mengoyaknya. Tapi ia tak berniat
untuk bergerak dari sana. Tak berniat untuk duduk atau pun mengisi perutnya. Ia
ingin Shin Bi melihat tekadnya. Sampai kapan gadis itu akan membiarkannya?
Sebentar lagi. Sebentar lagi.
Jeo Rin
percaya gadis itu masih mencintainya seperti dulu. Gadis itu masih peduli
padanya. Hanya saja duka itu terlalu besar hingga posisinya tergeser dari hati
Shin Bi. Ia akan merebut kembali tempatnya. Tak seharusnya gadis itu menghukum
dirinya seperti sekarang. Kematian Jun Wo sama sekali bukan kesalahan gadis
itu. Ia harus menyadarkan Shin Bi. Ia harus mengembalikan senyum itu ke wajah
gadisnya.
“Shin Bi-ah...,” gumamnya parau. Kedua matanya
bisa melihat Shin Bi tengah menatapnya dari balik tirai jendela. Pemuda itu
tersenyum. Ia membuat bentuk hati dengan kedua jempol dan telunjuknya,
mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar Shin Bi melihatnya.
Saranghae....
***
Aneh.
Jeo Rin
menatapnya dan tersenyum. Tapi senyum itu justru membuatnya merasa seperti
seorang gadis yang jahat. Ah, ia memang jahat... benar, kan? Siapa yang akan
setega dirinya membiarkan pemuda sebaik Jeo Rin berdiri di tengah hujan selama
tiga hari tiga malam?
Shin Bi
menekan dadanya—sakit. Lalu ia mau tak mau menyunggingkan senyum balasan ketika
Jeo Rin membuat lambang hati dengan jemarinya. Jeo Rin masih mencintainya
setelah apa yang ia lakukan. Ia takkan bisa memaafkan dirinya jika ia tetap
mengeraskan hatinya pada Jeo Rin. Shin Bi mendorong jendela kamarnya terbuka,
berniat meminta pemuda itu agar masuk ke dalam rumah tapi mulutnya tak bisa
berkata-kata ketika dilihatnya Jeo Rin tiba-tiba ambruk ke tanah.
“Jeo Rin oppa!!” jeritnya. Pamannya keluar dari
rumah dan segera mengangkat tubuh pemuda malang tersebut. Shin Bi pun segera
berlari menuruni tangga dan menghambur memeluk Jeo Rin yang telah dibaringkan
Pamannya di sofa. Pakaiannya basah kuyup dan tubuh pemuda itu demam tinggi.
“Oppa... mianhae...,” isak Shin Bi panik.
“Shin Bi,
ambil handuk kering dan selimut!” kata Park Jung Min sigap, lalu kepada
istrinya, “Ambilkan pakaian ganti yang hangat.”
Park Jung Min memeriksa keadaan Jeo Rin
sebentar dan setelah itu segera berkata pada putranya, “Jung Soo, siapkan
mobil. Kita harus membawanya ke rumah sakit.”
“Rumah
sakit? Separah itu?” tanya Shin Bi panik.
Park Jung
Min menghela napas.
“Dia tak bernapas.”
***
Dokter berkata Hwang Jeo Rin akan baik-baik saja. Tapi
dokter itu juga marah besar begitu mengetahui alasan Jeo Rin tumbang. Pemuda
itu bisa saja terkena radang paru-paru berat yang menyebabkan kematian jika
sedang tidak beruntung, katanya. Beruntung saat ini tim medis berhasil
menyelamatkannya. Saat dibawa ke rumah sakit, Jeo Rin masih bernapas, hanya
saja napasnya begitu lemah sampai-sampai mereka mengira napasnya telah
berhenti.
Shin Bi
ketakutan. Gadis itu kini duduk di samping tempat tidur Jeo Rin sambil
menggenggam tangan pemuda itu. Jeo Rin masih belum sadarkan diri.
“Shin Bi-ah. Jun Wo sudah meninggal, tak
ada yang bisa kau lakukan untuk membawanya kembali sekalipun kau berniat untuk
berduka seumur hidup. Paman yakin kalau Jun Wo bisa melihatmu sekarang, ia
tidak akan senang. Ia pasti ingin kau melanjutkan hidup dengan baik,” kata Park
Jung Min. “Yang terpenting saat ini adalah orang-orang yang masih hidup,
orang-orang yang masih memerlukanmu seperti Jeo Rin. Jangan sampai kau
kehilangan seseorang yang penting untukmu lagi.”
Shin Bi mengangguk lalu Park Jung Min
membiarkan gadis itu berdua saja dengan Jeo Rin.
“Jeo Rin Oppa...,” panggil gadis itu sambil mengusap kening Jeo Rin. Matanya
sembab karena menangis. Ia merasa dirinya begitu bodoh karena telah membuat Jeo
Rin menderita karena dirinya. Ia baru sadar ketika ia nyaris kehilangan Jeo
Rin. Tahu dengan jelas bahwa ia tak sanggup hidup jika Jeo Rin juga pergi
selamanya.
“Maafkan aku, Oppa.... Aku jahat, aku bodoh... aku kekanak-kanakan....”
“Kau tidak jahat....”
“Aku sudah membuatmu sakit.”
“Aku sudah sembuh.”
“Kau masih belum sadar....”
Jeo Rin menahan tawa. Ia jelas-jelas
sudah membuka mata dan mengajak gadis itu bicara tapi rupa-rupanya Shin Bi
masih belum menyadarinya. Gadis itu rupanya memang masih lemot seperti dulu.
“Aku akan sadar kalau kau bilang kau
mencintaiku... lalu menciumku.”
“....”
“Ayo, cepat!”
“Aku mencintaimu....”
“Ciumnya?”
Baru saat itulah Shin Bi sadar dirinya
sedang dikerjai Jeo Rin.
“Oppaaaa!
Tega-teganya mempermainkan aku!”
“Loh... kau yang lemot...,” ujar Jeo Rin membela diri lalu terbatuk-batuk.
“Rasakan. Itu hukumannya karena sudah
mengerjaiku....”
“Shin Bi-ah....”
Shin Bi menatap Jeo Rin. Pemuda itu
memberinya isyarat untuk mendekatkan wajahnya. Jeo Rin ingin membisikkan
sesuatu.
“Apa, sih sampai harus bisik-bisik?”
Begitu wajah Shin Bi mendekat, Jeo Rin
dengan cepat mencium bibirnya hingga wajah gadis itu memerah.
“Kau mau ikut pulang ke Seoul bersamaku,
kan?”
Shin Bi tersenyum lalu ia mengangguk.
“Dan aku masih ingin merayakan ulang
tahunmu.”
“Tapi sebelum itu, kau harus sembuh
dulu.”
-FIN-
*pelukin Shin Bi*
BalasHapusI've been there before. Terlalu sedih dan ga mau beranjak dari kehilangan itu, but then I realise I have a live to life, so when I meet him again one day, he'll proud of me being strong for him :)
Manis banget ceritanya, Joe. Dan amanahnya bagus. I love it :)
Ehm, titip salam buat Haruma Miura--eh, maksudnya si Jeo Rin ya =))
*terpeluk*
BalasHapusI've been there too... but life still goes on no matter what :")
Makasih ya udah komen -////- Salammu kusampaikan... xD
Astaga (T____T )
BalasHapusSeandainya aku punya koko yang kayak gitu, enak diajak bercanda begitu (ngga kayak sekarang -___-),
dan itu waktu JeoRin nungguin ShinBi, astaga astaga dan astaga. Lagi-lagi kata-kata ceyuki melelehkan hatiku (T___T ), tapi itu kenapa harus bentuk tanda hati si JeoRin-nyaa, langsung bikin ngakak ngebayanginnya deh =))=))=)) dan tetep endingnya serius bagus bener. *cipok JeoRin* *digantung*
Lanjutkan !!! Bisa dibuat Part 2 juga inii ! =))=))=))
^ k-kamu siapa? kenapa anon?! =))
BalasHapusItu JeoRin saking nggak taunya mau sampein perasaannya ke ShinBi dengan cara apa karena teriak pun nggak bakal kedengaran jadi... cara yg paling jelas dan terpikir olehnya adalah bikin tanda hati *plak* =))
Ebuset... part 2...?! =))