Halaman

Jumat, 25 Mei 2012

Everyone Has Their Own Reason - Chapter One


Disclaimer:
- Suzanne Collins untuk kisah The Hunger Games-nya yang luar biasa.
- IndoCapitol yang telah menampung Zinnia beserta keluarganya.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Kau baik-baik saja, Daddy?”

Kedua safirnya memandangi seorang pria yang adalah ayah kandungnya dengan cemas. Usianya sebelas tahun saat itu. Tahun terakhirnya untuk merasa lega karena hari pemungutan tidak akan mengusiknya. Namun juga berarti pelatihan yang dijalaninya menjadi semakin intensif dan semakin melelahkan; terutama pelatihan yang diberikan Levin Lore—sang ayah—padanya. Gadis kecil itu berlari menghampiri sang ayah, berlutut di sampingnya. Levin Lore terbatuk-batuk sambil menutup mulutnya dengan tangan. Tak lama, darah mengucur dari sela jari-jari pria itu, menetes-netes ke atas rumput hijau yang tumbuh lebat di halaman belakang rumah mereka.

“Daddy! Kau kenapa?!” jerit Zinnia ketakutan. Tangan kecilnya refleks mengulurkan tangan untuk menadahkan darah yang mengucur dari mulut ayahnya. “Daddy....”



“Tenang, Zinnia,” kata Levin Lore begitu batuknya mereda. Pria itu mengusapkan darahnya ke kemeja yang dipakainya, membersihkan darah di tangan Zinnia juga kemudian. “Jangan menangis dan jangan menjerit. Putri keluarga Lore tak boleh bersikap begini.”


“Tapi....”

“Sssh...,” Levin Lore menempelkan telunjuknya ke bibir Zinnia, memintanya untuk tak lagi bicara. “Listen to me... tahun depan akan jadi tahun pemungutanmu yang pertama. Kau paham apa artinya itu?”

Zinnia mengangguk, “Namaku mungkin akan dipanggil saat hari pemungutan.” Gadis kecil itu memeluk ayahnya, membersihkan darah yang masih melekat di sekitar bibir pria itu dengan ujung lengan gaun putihnya. “Tapi akan ada banyak orang yang menawarkan diri menjadi volunteer sehingga aku akan tetap aman.” Lalu ia menyunggingkan senyum, “Daddy tak perlu khawatir, aku takkan pernah mengangkat tanganku saat hari pemungutan. Tidak akan pernah.”

Levin Lore terdiam memandangi putri sulungnya. Pria itu kemudian berdiri dan menggandeng Zinnia menuju gazebo megah yang dibangun di atas kolam ikan mas. Ada jembatan yang terbuat dari semen menjadi penghubung antara daratan dengan gazebo itu. Jembatan yang dipahat menyerupai permukaan batang pohon yang cantik.

“Zinnia,” kata Levin Lore. Pria itu duduk lalu memangku gadis kecil itu. “Biasanya memang kita akan aman jika ada banyak orang yang menawarkan dirinya saat pemungutan... tapi, ada juga saat yang tidak menguntungkan ketika tak seorang pun berminat untuk mengajukan diri.” Levin mengambil jeda sejenak, mengingat kembali hari-hari di masa lalunya. “Itu yang terjadi ketika pamanmu terpilih. Kakak laki-lakiku. Saat itu aku masih seusiamu, jadi aku tak bisa menawarkan diri untuk menggantikannya. Dan tak ada seorang pun yang ingin menggantikannya. Tak satu pun.”

Sorry to hear that,” ujar Zinnia. Kedua tangan kecilnya terulur memeluk leher pria itu kemudian. “Tapi aku senang saat itu kau tidak mengajukan diri menggantikannya....”

Levin tersenyum. Ia membalas pelukan putrinya sebelum ia kembali terbatuk-batuk.

“Daddy....”

“Zinnia, umurku takkan lama lagi... aku takkan bisa mengawasimu, mengajarimu berbagai hal untuk mempertahankan diri... uhuk...,” kata Levin Lore. “Hari ini... aku akan mengajarimu satu hal. Uhuk... untuk kali yang terakhir.”

“Daddy... jangan bilang begitu....”

“Zinnia... ambil ini,” Levin Lore mengambil sebuah bungkusan dari balik jaketnya, meletakkannya di atas meja di tengah-tengah gazebo itu lalu membukanya. Ada tiga buah kunai hitam di baliknya. “Senjata itu milikmu sekarang... uhuk... kau harus terus melatih lemparanmu meski tanpa aku. Pakailah untuk berburu hewan-hewan kecil sampai kau bisa membunuh mereka dalam satu kali lemparan... uhuk... uhuk....”

Zinnia mengusap-usap dada ayahnya. Gadis kecil itu menangis.

“Daddy... istirahat, ya....”

Levin Lore menggeleng, “Tak ada waktu lagi.” Pria itu mengambil sebuah kunai dari atas kain pembungkus yang terbuka lebar di atas meja. “Pegang ini.”

“Kau ingin aku melemparnya, Daddy?” tanya Zinnia meraih kunai yang gagangnya saja lebih panjang dari lebar telapak tangannya. Ia heran ketika Levin Lore menggeleng.

“Tusuk aku... uhuk... dengan kunai itu, Zinnia,” kata Levin Lore.

Zinnia terbelalak. Kunai itu nyaris dilepasnya jika Levin Lore tidak cepat-cepat menggenggam telapak tangan kecilnya.

“Aku tak mau, Daddy....”

“Tusuk aku tepat di jantung.”

Gadis kecil itu menggeleng, berusaha melepaskan tangannya dari genggaman sang ayah.

“Aku tak mau... please, Daddy....”

“Kau takkan... uhuk... selamat kalau tidak berani membunuh di arena.”

“Tidak. Kumohon, Daddy... jangan bercanda.”

Levin Lore mengeratkan genggamannya. Dengan cepat ia mengarahkan mata kunai itu ke dadanya, tepat ke arah jantungnya berada. Zinnia berusaha menarik tangannya tapi ia kalah kuat.

“Kalau kau marah... marahlah pada Capitol... uhuk...,” kata Levin Lore. “Mereka yang membuat kita begini. Bencilah Capitol. Lukislah langit dengan darah mereka.”

Detik berikutnya, mata kunai itu menembus jantung Levin Lore dan pria itu menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Zinnia yang menjerit di atas genangan darahnya.


Bencilah pada Capitol, Zinnia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar