Halaman

Jumat, 25 Januari 2013

Shinigami

Disclaimer:

  • Battle Royale by Koushun Takami
  • Battle Royale RPG's staffs and members
  • Kudou Seiya, Nakahara Daisuke, Akuzawa Tadashi
FF ini dibuat untuk keperluan plot roleplay di BattleRoyaleRPG.

***





SHINIGAMI


"Kau dan Kudou-kun yang jadi dewa kematiannya sekarang."

---
Memo Internal Pemerintah 1980 No. 00217569(Sangat Rahasia)

Dari: Pengawas Sekretariat Komando Kekuasaan Angkatan Pertahanan Khusus dan Pengawas Eksperimen Pertempuran Angkatan Pertahanan Khusus

Kepada: Penanggungjawab Battle Experiment No.68 Program No. 9 1980 (23 Oktober, 11:11)
Sehubungan dengan Battle Experiment No. 68 Program tahun ini yang akan dilaksanakan pada bulan Desember 1980, dengan ini kami sampaikan kepada Anda selaku Penanggungjawab dan Instruktur dari program tersebut, bahwa kelas 3A SMP Perguruan Rakuzan, Sendai, Perfektur Miyagi, Tohoku telah terpilih menjadi subyek dari eksperimen program tersebut.
Hal-hal lebih rinci mengenai pelaksanaan serta penyesuaian peraturan bagi Program tahun ini kami percayakan sepenuhnya dalam kuasa Anda. Anda diwajibkan menyerahkan proposal Program Anda pada tanggal 13 November pukul 9 pagi untuk kami kaji dan tindak lanjuti.
Terima kasih.
---



Sejak detik aku menerima surat itu dari Akuzawa Tadashi, aku tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Sepasang mataku hanya terpaku memandangi isi surat yang baru saja kuterima, membacanya berulang-ulang seakan dengan begitu keputusan yang telah tertulis di atasnya akan berubah. Tapi tentu saja, keinginanku itu tak terjadi. Dunia tempatku tinggal bukanlah dunia dongeng yang akan memberikan keajaiban meski aku memohon dengan sungguh-sungguh sekalipun. Isi surat itu tetap sama. Memberitahukan bahwa aku dan Nakahara Daisuke yang akan menjadi instruktur pada Program tahun ini.

Sekaligus menjadi Dewa Kematian untuk anak-anak yang kurang beruntung karena terpilih menjadi partisipan.


Anak-anak kelas 3-A dari Rakuzan Gakuen.

Salah satu dari mereka adalah Kudou Seiya--adikku sendiri.


Aku tak tahu berapa lama aku termenung ketika sebuah tepukan pelan bersarang di bahuku hingga aku mengerjap, tersadar dari lamunanku dan mendapati Nakahara Daisuke menatapku simpati. Aku menganggukkan kepala, tersenyum tipis pada pria itu lalu melipat kembali surat itu dan menyimpannya dalam saku seragamku. Berdua dengan Nakahara Daisuke, aku keluar dari ruangan Akuzawa Tadashi yang terasa menyesakkan. Kami pun membahas peraturan serta pelaksanaan Program sampai tengah malam, tapi hanya Nakahara Daisuke yang bekerja. Aku menangis, menyerahkan semuanya pada pria itu karena aku tak mungkin bisa menyusun peraturan tanpa memikirkan kondisi Seiya.

Jadi, aku hanya bisa pasrah ketika Nakahara Daisuke menjabarkan peraturannya, tempat Program diadakan, dan apa-apa saja yang akan dihadapi oleh para partisipan.

Singkat kata, aku tahu tak ada harapan bagi Seiya untuk selamat.

Anak itu fobia ketinggian. Anak itu juga lemah pada cuaca dingin. Sedangkan Program kali ini akan diadakan di sebuah gunung, pada musim dingin yang membekukan. Badai salju bukan tidak mungkin akan menyerang para partisipan. Area Program itu benar-benar merugikan Seiya dari semua sisi. Tapi aku tak bisa mengatakannya pada Nakahara Daisuke tanpa dianggap sebagai pengkhianat negara. Aku tak boleh bersikap pilih kasih. Bagaimana pun, aku adalah abdi negara.

Begitu aku tiba di rumah, aku kembali menangis di dalam kamar. Tanpa suara, agar putriku tidak terbangun. Kuraih telepon dan kutekan nomor telepon rumahku. Aku tahu Seiya yang akan mengangkatnya, karena pada tengah malam hanya anak itu saja yang masih terjaga.

"Moshi moshi?"

Suara Seiya terdengar, membuatku tercekat. Kugigit bibirku kuat-kuat agar aku tak kembali menangis. Seiya tidak boleh tahu soal ini. Tidak sekarang.

"Seiya-kuuun~," kataku dengan keceriaan yang dibuat-buat.

"Manami-nee?" Kudengar Seiya mendengus. "Ada apa menelepon tengah malam begini?"

"Tidak... aku hanya kangen mendadak pada adikku," ujarku. Aku menarik napas pelan. "Memangnya... tidak boleh?"

"Kenapa? Kau mimpi buruk tentang aku?"

Seandainya ini semua hanya mimpi buruk, Seiya-kun.

"I-iya... mimpi buruk," kataku. Apa aku punya pilihan lain?

"Aku baik-baik saja," katanya. "Kembalilah tidur. Aku mengantuk."

"Seiya-kun...."

"Apa?"

"Apa kau masih tidak kuat dingin?"

"Begitulah... kenapa?"

"Jaga kesehatanmu. Pakai baju yang hangat. Sekolahmu akan pergi field trip, kan?"

"Aku mengerti. Oyasu--"

"Seiya-kun...," aku memanggilnya lagi. Tak rela mengakhiri pembicaraan.

"Apa lagi?"

"Masih fobia ketinggian?"

"Kau ini kenapa, sih? Tiba-tiba bertanya macam-macam begini," keluh Seiya. Aku bisa mendengarnya menguap. "Iya. Aku masih fobia ketinggian. Puas?"

Setetes air mata lolos dari mataku.

"Kau ini laki-laki. Kau harus bisa mengalahkan fobiamu. Mengerti, Seiya-kun?"

"Iya, iya. Aku mengerti. Sudah boleh tidur belum?" Lalu Seiya bersin keras sekali.

"Kau sakit, ya?"

"Hanya pilek biasa. Tapi bakal tambah parah kalau kau tidak membiarkanku tidur."

"Baiklah...," kataku pelan. "Seiya... kau harus tahu kalau aku sangat menyayangimu."

Sejenak tak ada jawaban dari Seiya. Kupikir ia ketiduran di seberang sana. Tapi kemudian aku mendengar dengusan napasnya.

"Aku juga," katanya dengan suara yang sangat lirih.

Tangisku merebak mendengarnya. Ini pertama kalinya Seiya membalas ucapan sayangku kepadanya.

"Oyasumi, Seiya-kun."

"Oyasumi, Manami-nee."



Selamat tinggal, adikku. Setelah ini, kuharap kau tidak benci padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar