Halaman

Sabtu, 18 Mei 2013

Bayang-Bayang: Sepenggal Kisah tentang Zeus dan Kayleigh

Cerpen ini diikutsertakan pada lomba cerbul KasFan bulan Mei 2013.
---



Lama aku berdiri di depan etalase cafe tempat kita berjanji untuk bertemu hari ini. Lewat dinding berbahan kaca itu aku bisa melihatmu duduk sendirian di meja yang terletak di sudut kafe dengan pencahayaan remang-remang bohlam kuning pada lampu gantung di atas kepalamu. Kau tengah memandang kosong permukaan kopi dalam cangkir yang kau genggam dengan kedua telapak tanganmu. Kau masih secantik dirimu setahun yang lalu—di hari terakhir perjumpaan kita. Rambut coklatmu yang bergelombang jatuh dengan gemulai membingkai wajahmu yang tirus. Kau kurusan.

Gurat-gurat lelah di wajahmu pun terlihat makin jelas ketika tanpa sadar kedua kakiku telah melangkah memasuki cafe dan membawaku berdiri di hadapanmu. Kau mendongakkan kepala menatapku, mengulaskan senyum lega yang selalu kau berikan padaku tiap kali kita bertemu. Senyum yang membuatku tahu bahwa keberadaanku kau butuhkan. Kau pun segera berdiri, memelukku erat-erat dan aku membalasnya lebih erat lagi.



“Kangen,” katamu berbisik. Bisa kudengar ada sentuhan isak dalam suaramu.

“Kangen juga,” balasku seraya mengusap-usap pelan belakang kepalamu. Kau selalu suka aku melakukannya karena membuatmu merasa terlindungi.

Lalu kau lepas pelukanmu, mempersilakan aku duduk di hadapanmu. Kau pun duduk, tersenyum-senyum salah tingkah sambil mendorong buku menu ke arahku—nyaris menjatuhkan vas bunga kecil yang dihuni setangkai mawar merah yang nyaris layu. Seorang pelayan perempuan mendatangi meja kita dengan catatan dan pena di tangannya.

“Pesanlah dulu. Kau pasti haus, kan?” katamu.

“Kopi apa yang kau minum itu?”

“Ini? Americano. Kenapa?”

“Aku pesan itu,” kataku pada si pelayan, disambut tatap keheranan darimu.

“Kenapa memesan kopi yang sama denganku? Kupikir kau menyukai jenis kopi yang lain.”

“Hmm... hanya ingin meresapi dirimu hari ini,” jawabku dengan ekspresi serius yang dibuat-buat.

“Hah? Apa hubungannya dengan kopi?” tanyamu tergelak dalam tawa. Salah satu yang kusukai darimu adalah sikap bebasmu itu. Sebagai seorang perempuan, kau tidak jaim seperti kebanyakan perempuan lain. Sayangnya, dalam urusan cinta, kau payah. Sama payahnya dengan aku sendiri.

“Ada yang bilang padaku, cara terbaik untuk mengenal seseorang adalah dengan berkenalan dengan hal-hal yang disukainya,” kataku menjelaskan dengan santai.

Kau tersenyum hingga kedua pipimu bersemburat merah jambu. Percakapan kita pun tertunda sesaat ketika pelayan tadi kembali mengantarkan Americano pesananku. Kopi itu mengepulkan asap yang menguarkan aroma manis dan hangat yang menggoda untuk segera dicicipi.

“Bagaimana kabarmu, Z?” tanyamu, menyadarkanku dari sejumput kekosongan yang sempat menguasaiku akibat kelelahan. “Kau terlihat lelah dan tak sehat. Apa semua baik-baik saja?”

“Kadang aku lupa betapa kangennya aku dipanggil ‘Z’ olehmu, K,” gurauku. Sebenarnya aku tak berminat menjawab pertanyaanmu karena aku ingin hari ini menjadi harimu, kau yang bercerita. Tapi aku tahu kau akan memaksaku menjawab meski aku mencoba mengganti topik pembicaraan. Jadi, kuputuskan untuk menjawab, “Aku baik-baik saja. Hanya sedikit disibukkan dengan pekerjaan di kantor, dan urusan keluarga. Kakekku bersikeras memintaku pindah ke Singapura untuk mewarisi usahanya.”

“Dan memintamu berhenti bekerja di Kantor Pengendalian Penyalahgunaan Sihir?” Kau bertanya dengan ekspresi tak percaya. “Bukankah kau kepala di kantor itu?”

Aku mengangguk, tersenyum pasrah sambil memainkan telunjukku di telinga cangkir. “Aku sudah mengatakannya. Tapi beliau tidak mau mengerti. Keadaan dunia sihir belakangan ini sedang kacau, aku tidak bisa begitu saja melepas tanggung jawab.”

Kau memandangiku, terlihat mencemaskan keadaanku. Kucoba mengabaikannya dengan meneguk Americano dan menikmati rasa pahit yang segera memenuhi rongga mulutku. Aku tak pernah mengira bahwa perempuan sepertimu menyukai kopi dengan rasa yang begitu sederhana. Dulu, kau tak mungkin memilih Americano. Ada yang berubah dari dirimu, selain rona hitam yang samar-samar menodai bagian bawah matamu yang cantik.

“Kau sendiri?” tanyaku sebelum kau sempat melontarkan tanya yang lain padaku. “Apa saja yang kau lakukan selama setahun ini? Dan kapan terakhir kali kau tidur nyenyak?”

Kuberi jeda pada pertanyaanku agar kau bisa mencernanya.

Kau bergerak gelisah, menyisir rambut di sisi kanan kepalamu dan mengaitkannya di balik telinga lalu kau sandarkan tubuhmu lebih dalam serta menatapku dengan tatapan seorang anak kecil yang tertangkap basah melakukan kesalahan.

“Jalan-jalan,” jawabmu akhirnya. “Lalu aku menetap beberapa bulan di Jerman... belajar zoology, bermain dengan bermacam-macam hewan yang belum pernah kulihat sebelumnya....”

“Lalu?” tanyaku. Tak puas sebelum kau menjawab pertanyaanku yang kedua.

“Sudah seminggu ini aku tak bisa tidur nyenyak, Z.”

“Berarti itu sejak kau kembali ke Jakarta?”

“Cuma jetlag,” katamu lagi. “Kau tak perlu khawatir begitu.”

Aku mendengus. Harusnya kau tahu bahwa tak semudah itu aku percaya pada kilahmu. Aku terlalu mengenalmu hingga aku tahu apa yang sesungguhnya tengah menjadi pengganggu pikiranmu.

“Dia belum menghubungimu, kan?” tebakku. “Dan dia juga tidak membalas upayamu menghubunginya.”

Dan kau pun mengangguk, persis seperti dugaanku. Bagiku, kau seperti buku cerita yang terbuka lebar. Terbaca.

“Ayo, kuantar kau pulang.”

*

Satu tahun memang lama, tapi caramu menumpahkan kesedihan tetaplah sama. Kau menangis tanpa suara, memelukku dari belakang dan menempelkan wajahmu hingga kemejaku basah oleh air matamu. Kita berdua, di atas tempat tidurmu yang terbungkus sprei berwarna putih dengan selimut tebal berwarna biru terlipat di satu sisi tempat tidur. Aroma kamarmu yang terasa seperti hutan dengan bau kayu segar tak berubah. Aku tak tahu wewangian apa yang kau gunakan tapi aroma itu memang sangat mewakili dirimu. Aroma kebebasan yang terkurung dalam sebuah kamar. Seperti dirimu, seorang pencinta kebebasan yang kini terkurung dalam penjara bernama cinta.

Kugenggam kedua telapak tangan mungilmu yang bertautan di perutku, kutunggu hingga kau merasa lebih tenang—sama seperti dulu. Mataku menyapu ruangan kamarmu yang tak terlalu besar. Dinding-dindingnya berwarna putih gading dan ada satu sisi dinding yang ditutupi wallpaper bermotif garis-garis biru. Di atasnya terdapat macam-macam gambar yang kau tempelkan. Ada foto kita berdua. Ada fotomu dengannya. Di kedua foto itu ekspresimu berbeda. Kebebasan dan keriangan nampak jelas saat kau bersamaku. Tapi di sisinya, tatapanmu penuh dengan pendar cinta yang begitu asing untukku. Apa yang telah dia lakukan hingga kau bisa begitu tergila-gila dan melupakan mimpimu yang begitu tinggi? Alasanmu tak pernah jelas. Ceritamu tentang dia hanya sanggup memberiku gambaran bahwa dia adalah laba-laba yang telah berhasil menjeratmu di jaring-jaringnya yang lengket.

Kau selalu bilang bahwa dia cintaimu, tapi yang kulihat di wajahmu sejak kau bersamanya hanya air mata belaka.

“Seharusnya sejak awal akulah yang kau pilih,” bisikku pelan. “Aku ingin memberimu cinta yang sebenarnya. Cinta yang murni dan yang tulus. Cinta yang akan selalu membuatmu tersenyum.”
Kau melepaskan pelukanmu hingga aku bisa berbalik dan menatap betapa sembabnya wajahmu. Dengan ibu jariku kuhapus air matamu dan kudaratkan sebuah kecupan di keningmu.

“K, aku takkan pernah membuatmu menangis seperti ini.”

Sepasang matamu yang merah menatapku, kau gigit bibir bawahmu. Tingkahmu meneriakkan permintaan tolong di hatiku, membuatku merengkuh tubuhmu dalam pelukanku.

“Buat aku mencintaimu, Z,” pintamu memohon.

Bibirmu berpagutan dengan bibirku, menyuarakan rasa lapar akan arti cinta yang sebenarnya. Satu demi satu pakaian yang melekat di tubuhmu dan tubuhku terlucuti, tergeletak berantakan di lantai. Aroma feminin tubuhmu memabukkanku, membuatku dengan rakus mencicipi semua yang kau suguhkan, membuatku mati-matian memberimu bukti betapa dalamnya perasaanku padamu. Bahwa aku berbeda dengannya.

Andai saja pada klimaksmu bukan nama dia yang kau jeritkan.

Lalu kau tertidur di sampingku. Wajahmu tampak begitu polos, seolah kau tak pernah menusuk-nusuk hatiku dengan ribuan jarum seperti yang baru saja kau lakukan, atau membangkitkan kupu-kupu dalam perutku. Kubelai keningmu, menyelimutimu agar hangat melindungi tidurmu.

“Tidurlah yang nyenyak,” bisikku di telingamu dan kukecup pipimu. “Saat kau terbangun, segalanya akan kembali seperti sedia kala.”

Dan aku akan kembali jadi bayang-bayang yang mengawasimu, menjagamu, dan mendoakan kebahagiaanmu.

2 komentar:

  1. Uwaa... bahkan fakta kalau ternyata kak Orin *ngasal samber manggil* memadukan "latar" Metropo dengan Fantasy merupakan suatu "keunikan" tersendiri xDb *heitss*

    digiring dengan cara penuturan yang enak, tapi tetap bisa mengawal "sentuhan atau konklusi" yang diharapkan (?) dari dinamika (?) Z & K ini pada akhirnya, saya rasa saya perlu acung jempol deh xDb soalnya bener-bener sampai baris terakhir, gitu, pembaca (dalam hal ini saya /iya siapa/) dibuat "merangkai" sendiri apa sebenernya "cerita"nya, yang ternyata terhitung rumit tapi lagi-lagi, penggiringannya tetap sederhana dan enak diikuti xD

    sedih dan gak habis pikir aja, ya, ternyata bisa juga gitu ya ada orang "cinta" seperti ini dan seperti itu ^^a soal mengapa K ini "gak bisa mencintai Z' sebenernya masih terasa mengganjal, tapi saya rasa itu memang sengaja dibebaskan untuk diartikan *halah*

    lalu... apakah kedua tokoh ini setengah-bule atau gimana-kah karena namanya terdengar sangat "asing" untuk orang yang diceritakan "berbasis hidup" di Indonesia =)) #nggakpenting

    Selamat kak Orin, afterall this worth that shot xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih sudah baca dan ngasih komentar :D

      Baru sadar elemen 'fantasi' di sini belum diapus... harusnya nggak ada fantasi-fantasinya, kok. Dan nama Z & K itu memang belum lazim di Indonesia tapi orang jaman sekarang udah mulai cenderung ngasih nama Barat ke anak-anaknya, kan? (Sebenarnya, sih... ini cerpen didedikasikan untuk karakter roleplay dengan nama tersebut #plak)

      Hapus