Halaman

Sabtu, 11 Mei 2013

Paradise Train #1

(screen caps MV Paradise - Infinite, this scene was the one inspired me to write this story)

Kereta surga, kau bisa menyebutnya seperti itu meskipun wujud kereta surga sama sekali tidak memiliki kesan seperti surga; setidaknya bagiku. Tidak ada warna putih yang mendominasi, juga tidak memancarkan cahaya hingga kau harus memicingkan mata saat melihatnya. Kereta ini gelap, didominasi warna hitam, dan pemandangan yang setiap saat kulihat dari balik jendelanya pun selalu bagaikan malam. Aku, dan beberapa orang yang menumpang di kereta ini adalah orang-orang yang sudah meninggal tapi masih memiliki sesuatu yang harus diselesaikan di dunia. Orang-orang datang dan pergi, namun beberapa orang tetap tinggal untuk beberapa lama. Seperti aku.

Kami yang tetap tinggal belum mengetahui apa sesungguhnya sesuatu yang harus kami selesaikan di dunia. Ingatan kami mengabur. Semakin kami mencoba untuk mengingat, semakin kami tak paham.

Lima orang tersisa, termasuk aku. Masing-masing kami duduk di kursi yang berbeda dalam gerbong tersebut. Hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Salah satu dari kami terlihat sudah menyerah, dan menghabiskan waktunya dengan tidur--atau pura-pura tidur. Yang lain terlihat geram, seakan-akan merasa dipermainkan. Orang yang duduk di belakangku sesekali menghantamkan tinjunya ke jendela. Sementara aku hanya memandang ke luar jendela. Berharap ada sesuatu yang lain yang kulihat di luar sana selain kegelapan malam.



Untuk apa sebenarnya kami tetap ada di sana? Bagaimana jika kami takkan pernah bisa mengingat apa yang harus kami selesaikan di dunia? Apakah kami akan terus terjebak dalam gerbong kereta surga ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam kepalaku. Hingga pada suatu hari, aku melihat bayangan seorang gadis di jendela. Awalnya bayangan itu hanya muncul sekelebat. Namun hatiku terasa bagai diremas. Kemunculan yang kedua, aku melihat gadis itu memandangku, tersenyum, lalu menghilang. Hatiku mulai gelisah. Siapa gadis itu? Kenapa aku merasa seperti mengenalnya? Kemunculan yang ketiga, gadis itu tertawa lepas, matanya menyipit membentuk bulan sabit terbalik, mulutnya terbuka menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi. Aku tanpa sadar ikut tertawa bersamanya, dan ketika bayangan itu hilang, aku merasakan kehilangan yang teramat sangat. 

Dan kemunculannya yang terakhir, membuatku tercekat.


Gadis itu menangis. Keceriaan yang sebelumnya membuat wajahnya bersinar, kini lenyap. Air mataku seketika menetes melihatnya. Gadis itu tak pantas menangis. Gadis itu tak boleh kehilangan senyumnya.

Gadis itu pasti berkaitan dengan kehidupanku di dunia. Entah mengapa aku merasa yakin, gadis itu berhubungan dengan sesuatu yang harus kuselesaikan. Tapi apa?

Setelah itu bayangannya tak pernah muncul lagi, tak peduli berapa lama aku menatap ke luar jendela. Tak peduli sekalipun aku berusaha untuk tak mengedipkan mata karena takut kehilangan momen tersebut, bayangannya tetap tak muncul.

Lalu suatu hari, tiba-tiba kereta berhenti. Kami yang berada dalam gerbong spontan berdiri dengan ekspresi terkejut. Pintu gerbong bergeser terbuka. Seseorang masuk ke dalam. Kaki-kakinya yang ramping membuatku tahu bahwa orang yang masuk itu adalah seorang gadis. Rambutnya panjang, kepalanya yang tertutupi topi rajutan tertunduk. Ia mengenakan sweater longgar berwarna khaki, celana pendek jeans, legging hitam, serta sepasang sepatu bot coklat muda. Mungkin di dunia saat ini sedang musim dingin, pikirku. Satu per satu dari kami mulai duduk, hingga tersisa aku yang masih bertahan memandang gadis yang kini berjalan ke arahku.

Degup jantungku mulai tak menentu.

Apakah gadis itu... gadis yang kutunggu-tunggu bayangannya?

Kuraih lengannya ketika ia nyaris melewati kursiku. Gadis itu mendongakkan kepalanya, terkejut. Sepasang matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka. Aku terpaku. Benar-benar gadis itu yang kini bertatapan denganku. Sudut-sudut mata gadis itu mulai basah, dan dengan cepat meneteskan air mata.

"Jun Ho oppa...?"

---
bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar