An Indelible Stain
- the truth I'll never reveal -
---------------------------------------------
Disclaimer:
- Koushun Takami and his amazing novel, Battle Royale
- Forum Battle Royale RPG
- Arai Nobu's puppet mistress
Ini adalah cerita tentang masa lalu Arai Hiroki, alasan kenapa ia menjadi seorang pecandu obat-obat terlarang.
---------------------------------------------
Malam Natal, kelas 2 SMP
Pintu rumahku tiba-tiba menjeblak terbuka tepat sebelum aku sempat mengulurkan tangan untuk meraih kenopnya. Aku melompat mundur, nyaris terkena bentur. Di balik pintu kulihat ayahku. Penampilannya berantakan. Jaket panjangnya sangat lusuh, belum dicuci berminggu-minggu sejak ia bertengkar dengan ibuku. Wajahnya merah padam, matanya tidak fokus, rambutnya acak-acakan, dan napasnya bau alkohol. Memuakkan. Ia bahkan tidak bisa berdiri tegak tanpa berpegangan pada daun pintu. Di tangan kirinya, ia memegang sebotol bir yang sisa separuh.
"Mau ke mana kau?" tanyanya saat menyadari aku berpakaian lengkap dan membawa sebuah kantong kertas berisi hadiah Natal untuk kubawa ke pesta di rumah temanku, Taiga.
"Ke rumah Taiga. Pesta Natal," jawabku sambil melangkah melewati ayahku yang masih berdiri di pintu masuk.
"Tunggu dulu," ujar ayah. Ia menarik lenganku dengan kasar. "Ibumu ada di rumah?"
Aku menggeleng.
"Kakakmu?"
Aku menggeleng lagi.
"Kalau begitu kau temani aku di rumah," putusnya begitu saja tanpa meminta persetujuanku. Ia lalu melangkah masuk ke rumah dengan gontai.
"Kenapa?" Aku protes. Aku sudah janji akan datang ke pesta itu. Aku sudah membeli hadiah untuk acara tukar kado. Aku juga sudah minta izin ada ibuku jauh-jauh hari. Tentu saja aku tidak terima begitu saja keputusan ayahku yang menurutku semena-mena.
"Aaargh! Jangan banyak tanya!" bentak ayahku. Ia mengulurkan tangan dan menarikku masuk dengan paksa lalu membanting pintu dan menguncinya. Ia bahkan mengantongi kuncinya agar aku tidak bisa kabur. "Lama-lama kau makin mirip dengan ibumu. Banyak tanya. Tidak bisa diatur!"
"Tapi ayah... aku sudah janji pada Taiga."
"Janji? Apa itu janji, hah?!" Ayah tertawa terbahak-bahak. Tangannya masih mencengkeram lenganku. "Jangankan janji. Sumpah saja bisa dilanggar oleh ibumu itu!!"
"Aku kan bukan ibu...," gumamku pelan.
Ayah benar-benar mabuk. Aku hanya bisa menghela napas. Kantong kertas yang kupegang terlepas dan jatuh ke lantai. Pesta Natal batal. Seharusnya aku pergi lebih cepat daripada harus mendengarkan ayahku yang terus berbicara soal ibuku sambil tertawa, juga menangis seperti orang bodoh begitu.
Minggu lalu ayah memergoki ibuku berkencan dengan pria lain, dan keduanya bertengkar karena itu. Aku tidak mengerti kenapa ibuku berpacaran lagi, tapi aku juga tidak bisa membela ayahku karena selama ini ayahku memang tidak pernah benar-benar memperhatikan perasaan ibuku. Sejak aku kecil, mereka berdua sudah terlihat seperti musuh yang terpaksa hidup bersama.
"Dasar orang-orang yang tidak tahu diuntung... sudah diberi makan, diberi tempat tinggal... malah jadi pengkhianat!! BANGSAT!!" Ayahku berteriak-teriak, terkekeh seperti orang gila, lalu tiba-tiba ia memukulkan botol bir di tangannya ke meja makan. Botol itu terbelah dua. Pecahan-pecahannya bertebaran di atas lantai. Aku berusaha menarik tanganku lepas dari cengkeramannya, tapi ayah malah menggenggamku lebih erat hingga aku kesakitan.
"Sakit, Ayah!" jeritku takut.
"Kau...," geramnya. Matanya yang merah menatapku, seringai tipis terulas di wajahnya—membuatku merinding. "Kau mewarisi wajahnya... hehehe... wajah si pelacur murahan itu!" Lalu ia menepuk-nepuk pipiku dengan tangannya yang masih memegang botol pecah. "Pasti... kau juga pengkhianat seperti dia."
Aku menelan ludah. Aku... harus lari.
"Oh... aku tahu. Aku tahu bagaimana menghukum orang-orang seperti kalian," kata ayah lagi.
Tangannya kini memegangi daguku, menekan kedua pipiku hingga bibirku mengerucut. Ujung botol yang pecah menggores leherku. Aku terbelalak ketika ayah tiba-tiba mencium bibirku. Aroma alkohol langsung memenuhi penciumanku. Aku memberontak. Kakiku menendang-nendang. Tapi aku tidak dilepaskan. Ayah malah menyabetkan botol itu ke perutku, lalu ia menamparku kencang hingga aku terpelanting menabrak dinding di belakangku. Rasa takut langsung menyergapku. Ayah masih menatapku. Ayah yang sedang mabuk berat.
Ia melangkah mendekat.
Aku mencoba menjauh.
Ketakutan membuat gerakanku jadi lambat. Tak lama kemudian aku sudah dihajarnya habis-habisan. Aku tak ingat apa saja yang ia lakukan. Aku hanya berbaring miring di lantai, mencoba melindungi kepala dan tubuhku dari pukulannya. Lalu semua gelap.
Ketika aku terbangun...
...aku telah berbaring di tempat tidur.
Bukan tempat tidurku. Tapi tempat tidur orangtuaku.
Ayah mendengkur di sampingku.
Aku... telanjang bulat. Tubuhku kesakitan. Tidak hanya dari luka-luka yang kudapatkan dari luar. Tapi juga dari tempat itu. Aku segera menyadari apa yang telah terjadi. Tubuhku gemetaran. Aku merasa jijik. Kucoba untuk bangun dari tempat tidur, perlahan-lahan agar tidak membangunkan ayah. Air mataku sudah mengucur deras. Aku berjalan tertatih-tatih menuju ke kamarku. Kupakai sweater lengan panjang yang bersih, celana flanel yang hangat, dan topi untuk menutupi memar di wajahku. Lalu aku pergi keluar dari rumah tanpa tujuan. Asal aku berada jauh dari ayah.
Aku tak ingat berapa lama aku berjalan, atau ke mana kakiku membawaku pergi.
Yang aku ingat, aku duduk di sebuah tangga di sudut jalan yang gelap dan sepi. Aku menangis sambil memeluk tubuhku. Lalu seseorang menepuk pundakku, menyodorkan beberapa butir tablet putih yang katanya bisa menenangkanku. Orang itu merangkulku, membiarkanku menangis tanpa menanyakan sebabnya. Tablet putih itu luar biasa. Aku langsung melupakan ketakutanku. Aku langsung melupakan kejadian mengerikan yang baru saja kualami. Bahkan tubuhku tidak terasa sakit lagi.
Sayang, efeknya hanya sementara.
Tapi saat itu aku berpikir... asal aku mengonsumsi tablet putih itu... aku akan baik-baik saja. Asal memori tentang hari itu terhapus dari ingatanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar