Halaman

Minggu, 01 September 2013

The Cupcake's Book

Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba cerbul Kastil Fantasi bulan Agustus 2013.

♥♥♥



THE CUPCAKE'S BOOK
by Orinthia Lee

♥♥♥


"Lory! Lory! Buka jendelanya! Cepat!!"

Suara ketukan cepat dan keras di kaca jendela terdengar bersamaan dengan teriakan yang tergesa-gesa. Lory yang sedang berkutat dengan buku PRnya mendengus kesal karena gangguan tersebut. Ia sudah bilang bahwa ia paling tidak suka diganggu saat belajar. Tapi sahabatnyaKallesepertinya tidak bisa memahami apa artinya tidak suka diganggu. Cowok itu menganggap persahabatan mereka sejak kecil sama artinya dengan tidak ada privasi.

"Lory! Aku tahu kau ada di dalam!" Kalle memanggil lagi, ia semakin keras memukuli kaca jendela sampai-sampai Lory takut kaca jendelanya retak. "Ini penting! Darurat! Masalah hidup dan mati!"

Akhirnya Lory beranjak dari duduknya, berjalan ke arah jendela dan mendorongnya dengan kasar hingga terbuka lebar. Dilihatnya Kalle terhuyung ke belakang sambil mengaduh, tangannya memegangi kening.

"Rasakan," kata Lory ketus. Cewek itu melipat tangannya. "Ada masalah hidup-mati apa sampai kau bertingkah seperti orang bodoh? Awas kalau sampai tidak penting, aku sendiri yang akan membunuhmu."

Cowok itu memanjat naik ke jendela kamar Lory dan melompat masuk ke dalam.

"Jadi? Ada apa? Kau sudah membuang-buang waktuku, Kalle... aku sedang mengerjakan PR."

"Ah, iya!" Kalle menghampiri Lory dan duduk di tempat tidur cewek itu. "Kau tahu rumah tua yang ada di dekat bukit belakang rumah kita?" Rumah Kalle dan Lory bersebelahan, dan di belakang rumah mereka ada sebuah rumah tua yang sudah puluhan tahun tidak diketahui apakah ada penghuninya atau tidak. Rumah itu selalu terlihat gelap, angker, tapi kalau melihat rumput-rumput dan tanaman yang selalu rapi di halamannya, orang bisa menerka bahwa ada seseorang yang tinggal dalam rumah itu.

"Rumah penyihir itu? Tentu saja tahu... kenapa?"

Semua orang menyebut rumah itu rumah penyihir. Atau rumah hantu. Atau apa pun yang berkonotasi dengan hal-hal yang mengerikan. Ada yang pernah mendengar suara orang tertawa dari dalam rumah itu, ada yang mengaku pernah mencium bau yang sangat manis di sana, ada juga yang merasa diikuti saat melewati rumah itu. Intinya, rumah itu adalah rumah horor.

"Tadi aku dan Gembul masuk ke dalam rumah itu."

Lory mulai tertarik, ia menatap Kalle dengan serius.

"Di dalam rumah itu ada rak buku besar! Penuh dengan buku-buku tua!"

Lory adalah seorang kutu buku. Ia suka membaca buku-buku klasik yang langka dan sulit dicari. Mendengar cerita Kalle tentu saja menggelitik minatnya sehingga cewek itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Kalle. "Kau lihat ada buku apa saja di sana?"

"Tidak," kata Kalle yang langsung disambut desahan kecewa Lory. "Soalnya tiba-tiba pintu rumah itu terbanting keras, jadi aku dan Gembul langsung lari terbirit-birit."

"Payah," gerutu Lory. "Jadi yang kau bilang masalah hidup-mati itu... ini?"

Kalle mengangguk serius. Ia menatap Lory sambil menggaruk pipinya dengan satu jari dan bertanya, "Memangnya informasi ini menurutmu tidak penting? Kau kan gila buku."

Lory memutar mata. Dijitaknya kepala Kalle. "Kalau ada memangnya kau menyuruhku mencurinya? Bagaimana kalau penghuni rumah itu penyihir sungguhan? Lagipula, koleksi bukunya pasti buku sihir semua. Aku tidak tertarik." Lory mengalihkan pandangannya dari Kalle. Sekalipun ia bilang tidak tertarik, sebenarnya Lory penasaran setengah mati. Tapi ia tidak akan menunjukkannya di depan Kalle.

"Hais... Lory, kau ini orang paling waras yang pernah kukenal. Masa kau benar-benar percaya rumah itu dihuni penyihir?" Kalle menggelengkan kepala dengan dramatis sambil berdecak. "Semua itu hanya dongeng. Rumah itu kosong, Lory. Debunya saja tebal sekali. Mana mungkin ada orang yang bisa hidup di tengah debu setebal itu."

"Orang waras justru harus bisa berpikir tidak hanya dengan logika saja," ujar Lory tersinggung. Gadis itu berdiri dan berjalan menuju ke meja belajarnya, berniat untuk melanjutkan PRnya dan mengabaikan Kalle. "Kalle, ada banyak hal yang terjadi di dunia ini yang tidak masuk akal sama sekali. Lagian, belum tentu sesuatu itu hanya dongeng cuma karena kau tidak bisa melihatnya. Sudah, ya. Aku mau melanjutkan PR. Sebaiknya kau juga daripada menyusup ke rumah orang seperti maling."

Kalle tiba-tiba tertawa dan berkata, "Oh, aku tahu! Kau takut, kan? Sebenarnya kau penasaran sekali tapi karena takut kau berpura-pura tidak tertarik." Kalle masih tertawa sambil memegangi perutnya ketika Lory menatapnya dengan wajah memerah. Tebakan Kalle tepat pada sasaran. Lory memang penakut, dan ia tidak suka jika orang mengatainya penakut. "Sejak dulu kau selalu menolak diajak nonton film horor, atau masuk ke rumah hantu. Rupanya begitu."

"Aku tidak takut!" seru Lory geram. Cewek itu menggebrak meja dan berdiri tegak. "Ayo ke sana sekarang. Akan aku buktikan kalau aku bukan penakut!"



*

Lory benci pada sisi dirinya yang tidak mau kalah ini. Gara-gara sifatnya itu, ia sering terkena masalah persis seperti sekarang. Kalle selalu tahu bagaimana cara memancingnya.

"Nah, kita sudah sampai," kata Kalle. Cowok itu terdengar puas saat mengucapkannya sambil berkacak pinggang. Lory muak melihat lagak sahabatnya itu. "Siapa yang mau masuk lebih dulu?" Kalle melirik Lory. Senyum cowok itu tergurat miring seperti sedang menantangnya. Uh, lagi-lagi. Kalau sudah begini Lory tidak bisa menghindar. Ia sendiri yang bilang bahwa ia tidak takut. "Kalau kau takut, aku bersedia masuk duluan."

"Tidak! Aku duluan," ujar Lory cepat, secepat ia menyesalinya. Cewek itu mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat di dalam saku celana. Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana kalau setelah masuk ke dalam, mereka tidak bisa keluar lagi? Bagaimana kalau mereka disekap di dalam rumah tua itu seperti Hansel dan Gretel? Bagaimana kalau mereka tidak seberuntung Hansel dan Gretel? Lory menelan ludah, baru kali ini ia merasa begitu sulit menggerakkan kakinya untuk sekedar melangkah. Ia merasa seperti dirantai.

"Kalle! Lory! Kalian sedang apa?!"

Rupanya Gembul yang datang. Berlari dengan napas terengah-engah sambil melambaikan tangannya. Pipinya yang tembam itu bergoyang-goyang hingga Lory merasakan keinginan untuk tertawa. Tapi melihat ekspresi cowok gendut itu membuat Lory menahan tawanya. Gembul terlihat pucat pasi dan berkeringat.

"Kalian... mau masuk?" tanya Gembul setelah ia berada tepat di depan Lory dan Kalle. "Jangan! Jangan masuk!"

"Hei, kau ini kenapa?" tanya Kalle seraya merangkul Gembul. "Tadi kau begitu berani, kenapa sekarang seperti baru melihat hantu begitu?"

Lory menatap Gembul, menunggu cowok gendut itu menjawab pertanyaan Kalle. Di dalam saku, kedua tangannya meremas apa saja yang bisa diraihnya; sekeping uang receh di sebelah kanan dan selembar kertas entah apa di sebelah kiri. Kalau saja ia tidak bertingkah sok berani di depan Kalle, ia akan menyetujui peringatan Gembul sekarang juga.

"Tadi... aku cerita pada nenek," kata Gembul masih terengah-engah.

"Cerita kalau kita menyusup masuk?!" tanya Kalle terbelalak. "Kenapa kau cerita?! Bukannya kita sudah setuju untuk merahasiakannya?"

"Maaf... tapi aku benar-benar takut waktu pintu rumah itu tiba-tiba tertutup dari luar...." Gembul terlihat begitu merana dan tidak berani menatap Kalle. "Kau tahu tidak nenekku bilang apa?"

"Dia bilang apa?" tanya Lory.

"Kita beruntung masih bisa keluar dari rumah itu dengan selamat," kata Gembul. "Kalau masuk lagi... kita bakal lenyap! Mati!"

Lory terkesiap dengan mulut terbuka, ikut memucat seperti Gembul sementara Kalle malah melongo menatap Gembul. Sesaat kemudian Kalle tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Buru-buru Lory menutup mulutnya dan berusaha tetap terlihat tenang. Gembul terlihat tersinggung dengan reaksi Kalle dan berkata lagi, "Kenapa kau tertawa? Nenekku tidak pernah bohong!"

"Dasar anak nenek," ledek Kalle sambil mengacak rambut Gembul. "Kau sudah besar tapi masih percaya mitos! Nenekmu bilang begitu supaya kau tidak berani masuk ke sana." Kalle kemudian menatap Lory dan tersenyum nakal. "Kita suruh Gembul saja yang masuk duluan."

Sebelum Lory sempat menjawab, Kalle sudah mendorong Gembul hingga tubuh tambunnya menabrak pintu reyot rumah tua itu. Pintu itu langsung terbuka lebar karena bobot Gembul yang kini terguling di atas lantai kayu. Debu beterbangan hingga ketiganya terbatuk-batuk. Lory melangkah masuk dengan ragu. Sebelah tangannya mengibaskan debu yang beterbangan di depannya. Kalle membantu Gembul berdiri dan menahannya agar tidak kabur dari rumah berbau apak itu.

Pandangan Lory terarah pada dinding di bagian kiri pintu masuk rumah tua itu. Seperti kata Kalle, di sana berjejer rak-rak buku tinggi hingga ke langit-langit rumah. Di tiap rak yang berdebu, berderet buku-buku tua yang tebal dengan sampul kulit berwarna coklat atau hitam yang sudah mengelupas di beberapa bagian. Sudah jelas tidak akan ada buku-buku yang biasa dibacanya, tapi Lory seperti terhipnotis. Kakinya melangkah mendekati salah satu rak buku, dibacanya satu per satu judul buku-buku yang berderet di sana. Kebanyakan ditulis dengan tulisan asing dan simbol-simbol yang tidak dipahaminya.

Tangan Lory kemudian bergerak menarik sebuah buku yang terlihat ganjil. Bukan karena warna sampulnya yang semerah darah, bukan karena rangkaian tulisannya disulam dengan benang emas, melainkan karena buku itu satu-satunya buku yang tidak berdebu. "The Cupcake's Book." Lory membaca judul buku itu sambil menyusuri sulamannya dengan ujung jari. Lory merasa buku itu benar-benar aneh hingga ia pun membukanya dan langsung terperangah. Buku itu ternyata adalah kotak penyimpanan, di dalam buku itu ada sebuah tuas dari kayu berwarna coklat tua.


"Buku apa itu?" tanya Gembul disusul Kalle yang langsung mengulurkan tangan menarik tuas tersebut.


"Hei! Jangan asal tarik!" bentak Lory terkejut. "Bagaimana ka-"




GRETEK...


Lory terkejut dan berhenti bicara saat rak buku di depannya bergeser. Spontan ia melompat mundur dan berdiri berhimpitan dengan Kalle dan Gembul. Ketiganya memandangi rak-rak di sepanjang dinding itu terbelah di tengah dan masing-masing seperti terhisap masuk ke ujung-ujung tembok kanan dan kiri. Lebih dari itu, di balik rak-rak tersebut ternyata tersembunyi sebuah ruangan yang mirip dengan dapur. Kontras dengan ruangan penuh debu tempat mereka berdiri, ruangan baru di hadapan mereka itu sangat bersih. Bau apak berganti menjadi aroma manis krim-krim kue dan sirup. Tembok-temboknya dicat dengan warna-warni ceria. Meja-meja tersusun rapi dengan beragam jenis kue bertebaran di atasnya. Mulut Lory menganga takjub. Ia bisa mendengar Kalle menahan napasnya, dan Gembul berdecak kagum.

"Wow! Wow! Wow!" seru Gembul seperti kehilangan kata-kata. Cowok gendut itu berlari masuk ke ruangan tersebut, mendekati sebuah meja dan memandangi kue-kue yang ada di sana dengan rakus.

"Ini hebat sekali!" Kali ini Kalle yang berseru. Cowok itu pun segera menyusul Gembul yang sudah mulai menyantap sepiring kue. "Hei, Gembul! Kau tidak sopan sekali makan tanpa ijin di rumah orang."

Lory pun akhirnya ikut masuk ke ruangan itu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pemiliknya. Hati kecilnya berkata ia harus segera pergi dari sana, tapi ada sesuatu yang menahannya. Rasa penasaran. Keingintahuan yang besar tentang misteri yang ada di dalam rumah tersebut. Ada rahasia apa lagi yang tersimpan di sini?

"Kalian berdua jangan berisik," bisik Lory memperingatkan kedua cowok itu, sementara pandangannya menyapu ruangan. Keganjilan ini terlalu mempesona. Seolah-olah ada magnet transparan yang membuat mereka tidak ingin keluar dari ruangan itu.


Ketika tangan Lory tengah menjamah dinding merah muda yang ternyata adalah marshmallow, pintu masuk ke ruangan rahasia itu tiba-tiba tertutup dengan keras. 

"S-siapa yang menutupnya?!" tanya Lory panik. Kalle berdiri jauh dari pintu, jelas bukan cowok itu pelakunya. Wajahnya berubah pias ketika mendapati Gembul tergeletak dan menggelepar di lantai yang terbuat dari wafer.

"GEMBUL!!" pekiknya. Bersamaan dengan Kalle, Lory berlari mendekati Gembul dan keduanya menjerit bersamaan ketika melihat keadaan cowok itu.


"Ya, Tuhan... apa yang terjadi padanya?!" seru Kalle ketakutan sambil memegangi tangan Gembul yang tengah mencekik lehernya sendiri. "Gembul! Gembul! Kau kenapa?!"


Gembul tidak bisa menjawab mereka, kedua matanya terbelalak lebar, mulutnya sedikit terbuka dan dari sana darah segar tidak berhenti mengalir keluar. Lory menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berharap yang sedang dilihatnya hanya halusinasi atau sebuah mimpi dalam tidur. Tapi sayangnya, tidak. Lory menutup mulut dengan kedua tangannya, menyadari kalau jeritan mereka barusan bisa membuat mereka ketahuanoleh siapa pun yang menghuni rumah aneh ini. Air matanya merebak.


"Apakah dia... mati?" tanya Lory dengan suara tercekat ketika Gembul berhenti bergerak. Kedua tangannya yang gempal lemas dan jatuh ke samping tubuhnya.
Matanya terbuka lebar menatap kosong ke langit-langit. Tapi bagian yang paling mengerikan adalah di dalam rongga mulutnya yang terbuka dipenuhi dengan paku-paku payung.

"Dia... mati," ujar Kalle lalu menelan ludah. Wajahnya nyaris seputih kertas ketika ia berkata, "Neneknya benar... kita akan mati di sini."


"Rumah ini... benar-benar rumah penyihir," gumam Lory dengan suara gemetar. Apa lagi yang bisa menjelaskan kejadian yang dialami oleh Gembul? Tidak mungkin cowok gendut itu memakan paku payung. Meskipun rakus, Gembul tidak sebodoh itu. "Penyihir itu menyihir paku-paku payung itu menjadi kue." Lory berlutut di samping tubuh Gembul lalu mengulurkan tangan untuk menutup kedua matanya. "Jangan makan apa pun di ruangan ini," katanya pada Kalle.


"Pintunya." Kalle berlari menuju ke pintu yang tertutup rapat. Tidak ada kenop. Tidak ada lubang kunci. Cowok itu memukuli pintu itu dengan panik, "TOLONG! TOLONG KAMI!"


"Percuma, Kalle... tidak akan ada yang mendengar kita kecuali si penyihir itu sendiri," kata Lory mencoba berpikir jernih sekalipun seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. Tiba-tiba ia teringat pada buku berisi tuas yang ditemukannya di rak buku. "Kalle, pasti ada tuas tersembunyi juga di ruangan ini! Tuas untuk membuka pintu itu!" seru Lory sedikit bersemangat karena sebuah harapan kecil. "Ayo kita cari!"


Kalle mengangguk dan bersama Lory ia mulai mencari. Di antara kue-kue, di dalam mangkuk berisi sereal, di balik tirai manisan, di setiap sudut ruangan... dan hasilnya nihil. Mereka tidak menemukan apa pun. Lory semakin histeris, ia mencari sambil menangis, mulutnya tidak berhenti mengucapkan doa supaya Tuhan membantunya mencari tuas tersebut, atau lebih baik lagi memunculkannya secara ajaib agar ia dan Kalle bisa segera keluar dari tempat itu. Kalle membanting beberapa piring makanan hingga terceraiberai di lantai karena frustrasi. Cowok itu meraung dan jatuh berlutut dengan kepala menempel di lantai dan mengujarkan sumpah serapah pada si pemilik rumah.


"PENYIHIR SIALAN!! KELUARKAN KAMI DARI SINI!!"


"Kalle, jangan begitu...," tegur Lory. Ia takut penyihir itu akan marah mendengar kata-kata Kalle. Siapa yang tahu apa yang akan dilakukannya pada mereka berdua? "P-pasti... pasti ada jalan keluar."


Langit di luar sana mulai gelap, dan ruangan tempat mereka terkurung tidak memiliki penerangan. Lory dan Kalle semakin kesulitan mencari tuas di dalam kegelapan itu. Keduanya tanpa bicara memutuskan untuk tidak saling berjauhan. Lama-lama karena lelah dan kehilangan harapan, keduanya meringkuk di salah satu sudut ruangan. Cuaca semakin dingin sedangkan pakaian mereka tidak cukup untuk melindungi mereka dari suhu yang semakin rendah. Gigi mereka mulai bergemeletuk, mereka memeluk kaki masing-masing. Lory sebenarnya ingin menyalahkan Kalle atas kejadian ini. Bagaimanapun juga, cowok itulah yang membuatnya melakukan ini. Tapi ketika ia melihat wajah Kalle yang pucat dan tatapannya yang kosong, Lory pun mengurungkan niatnya. Ia yakin cowok itu sudah cukup menerima ganjaran atas kebodohannya.


Sialnya, ia terbawa serta.


Kantuk pun tidak terhindarkan. Entah berapa lama Lory tertidur ketika pada akhirnya ia terbangun karena suara derit kayu terdengar cukup keras di sampingnya. Ia menoleh dan mendapati Kalle sedang memandangi sebuah celah terbuka antara lemari es dengan meja kompor. Rupanya Kalle yang tertidur tanpa sengaja jatuh ke sana dan menggeser salah satunya. Dan di antara celah itu, ada sesuatu yang mirip tuas berdiri menempel di tembok, terjepit oleh sesuatu yang mirip batu bata.


"Apa kau memikirkan hal yang sama denganku?" tanya Kalle. Lory memandangi jakunnya yang bergerak naik turun saat cowok itu menelan ludah.


Lory mengangguk dan memperhatikan dengan jantung berdebar ketika Kalle mengulurkan tangan untuk mencoba menarik benda itu. Berharap itu benar-benar tuas yang akan membebaskan mereka dari tempat ini. Namun ketika tangan Kalle sudah memegang benda itu dan menariknya, benda itu ternyata bukan tuas melainkan sebuah pemecah es. Lory mendesah kecewa dan menghempaskan tubuhnya ke tembok. 


"Kita benar-benar terjebak," keluhnya. Ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk menangis. Lagipula pada dasarnya ia bukan cewek yang cengeng.


Kalle dengan gusar menusuk-nusuk lantai wafer dengan pemecah es tersebut. "Aku memang tolol," gerutunya. "Harusnya aku tidak kembali lagi ke tempat sinting ini. Harusnya aku tidak memaksamu." Tusuk. Tusuk. Ia terus menusuk-nusuk lantai hingga bagian lantai yang ditusuk itu pecah-pecah menjadi serpihan. "Apa pun yang terjadi, aku... aku akan membawamu keluar dari sini," ujar Kalle tanpa menatap Lory. 


Lory merasakan sesuatu yang hangat mengaliri pembuluh darahnya saat mendengar tekad Kalle. Meski ini bukan waktu yang tepat untuk merasa seperti itu, perasaan bukanlah sesuatu yang bisa diterka. Cewek itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Itu adalah kali pertama ia melihat Kalle tampak begitu keren. Ia merasa terlindungi dan ia ingin percaya pada Kalle bahwa mereka berdua bisa keluar dari tempat itu.

Kalle lalu bangkit berdiri, ia melemparkan pemecah es itu sekuat tenaga, melampiaskan amarahnya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pemecah es itu tiba-tiba berhenti di udara lalu berputar arah hingga ujung pemecah es itu kini mengarah padanya. Lory mengamati pemandangan itu dengan mata terbelalak. Kalle tercekat, lalu cowok itu melangkah mundur dan berdiri di depan Lory hingga tubuh cewek itu tertutup oleh tubuhnya. Keadaan bertambah buruk ketika tembok di sisi kiri dan kanan mereka berderak dan bergerak maju menghimpit mereka. Lantai wafer selain tempat mereka berpijak hancur menyisakan kekosongan yang mengerikan. Tubuh Gembul melayang jatuh ke dalam kegelapan. Lory dan Kalle hanya bisa memandangi kejadian itu tanpa mampu bersuara. Apabila mereka tidak berhati-hati, mereka berdua pun akan jatuh ke bawah sana, entah ke mana.


"Oh, Tuhan...," desis Lory ketakutan. Kalle menggenggam tangan Lory erat-erat, dan Lory balas menggenggamnya.


Mereka kini tidak bisa bergerak, tidak bisa menghindar. Mereka bahkan tidak sanggup lagi berpikir.


"Kalle...."


"Lory, maafkan aku."


Pemecah es itu melesat bagai anak panah ke arah mereka berdua. Kalle berbalik, memeluk Lory erat-erat. Lory memejamkan mata.


Ketika Lory membuka mata, kepala Kalle telah terkulai di bahu kanannya. Pemecah es itu menancap di belakang kepala Kalle, merenggut nyawa cowok itu dalam hitungan detik. Lory menjerit histeris. Tubuhnya merosot jatuh sambil memeluk Kalle.

"Bunuh saja aku... BUNUH SAJA AKU SEKARANG!!"

Lory merasa lebih baik mati daripada harus menghadapi semua itu sendirian. Tidak ada yang tahu sampai kapan ia akan terkurung di tempat itu, atau kapan ia akan tewas seperti si Gembul dan Kalle. Lory mencabut pemecah es dari kepala Kalle dengan susah payah, menjerit tertahan ketika darah segar muncrat dari kepala sahabatnya. Ia berniat menghabisi nyawanya sendiri. Tangan Lory gemetar ketika ia mengarahkan ujung pemecah es yang berlumuran darah itu ke leher. Ia memejamkan mata, membulatkan tekadnya. Ia tidak punya pilihan lain, dan ia sangat ketakutan.

Tiba-tiba pemecah es itu terlepas dari tangannya. Ada sesuatu yang menarik benda tajam itu. Lory membuka mata, tapi tidak ada siapa pun di ruangan yang kini sempit itu. Tapi pemecah es itu melayang mengancam di atas kepalanya.


"Aku tidak menginginkan kematianmu."

Sebuah suara serak tiba-tiba terdengar memenuhi ruangan. Bulu kuduk Lory berdiri karena suara itu menambah kengerian yang menyelubunginya.

"S-siapa itu?!" jeritnya. "Siapa?! Tunjukkan dirimu!" Lory memeluk tubuh Kalle semakin erat, berharap mendapatkan keberanian dari tindakan itu.


"Kau tidak akan mau melihatku, Nona muda."

Lory menyapukan pandangannya ke segala arah, keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Rasanya ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri saat itu.


"Kau masih begitu muda dan cantik. Aku menginginkanmu."

"Aku tidak mau! Bebaskan aku! Aku janji tidak akan menyelinap masuk lagi ke sini!" pinta Lory memohon. Siapa sebenarnya yang sedang bicara padanya?


"Tidak. Tidak bisa. Aku membutuhkanmu. Aku sudah menunggu begitu lama."

"A-aku akan lakukan apa saja asal kau membebaskan aku! Kumohon!"


"Sungguh?"

"Sungguh! Asal kau janji akan membebaskan aku!"

Suara itu terdengar puas karena kemudian Lory mendengar suara tawa yang bergema hingga ia menutup telinganya. Angin bertiup kencang sekalipun tidak ada jendela di ruangan itu, begitu kencang hingga Lory terdesak ke tembok di belakangnya, hingga Lory tidak bisa membuka kedua matanya. Sebelum segalanya berubah gelap, ia mendengar suara itu berkata padanya, "Terima kasih."

Dan kegelapan itu menelannya.

*

Satu tahun kemudian.


"Lory! Kau sedang apa?"

Lory tersenyum. Helga datang berkunjung tepat saat ia sedang membuat kue dengan resep baru yang ia ciptakan. "Kau bisa lihat sendiri, kan? Aku sedang membuat kue."

"Aromanya enak sekali. Sampai hari ini aku masih tidak menyangka kau ternyata begitu mahir membuat kue," puji Helga. "Aku boleh mencoba adonannya?" Begitu Lory mengangguk, Helga mencocol sedikit adonan yang sedang dikocok oleh Lory. "Wah... enak sekali. Kau ini benar-benar mengagumkan, Lory. Jangan-jangan waktu kau hilang ingatan waktu itu, kau malah mendapat ingatan seorang ahli kue."

"Ah, kau berlebihan sekali, Helga. Aku hanya suka membuat kue, itu saja."

"Tidak hanya kau yang berubah," kata Helga lagi seperti tidak mendengar kata-kata Lory. "Tempat ini juga. Tidak ada seorang pun yang akan menyangka kalau toko kuemu ini tadinya adalah rumah angker."

"Oh, ya? Aku tidak pernah merasa rumah ini angker," kata Lory sambil menuangkan adonannya ke dalam loyang. "Soalnya... aku sudah tinggal lama sekali di rumah ini."

"Eh? Kau bilang apa?" Helga mengerutkan kening mendengar kata-kata Lory yang aneh.

"Bukan apa-apa." Lory memasukkan loyang itu ke dalam pemanggang lalu menepuk bahu Helga. "Ayo kita ngobrol di kamar sambil menunggu kuenya matang." Lory menggandeng tangan Helga dengan akrab. Sambil berjalan menuju ke kamarnya, Lory bertanya, "Kau lebih suka aku yang dulu atau aku yang sekarang?"

"Tentu saja yang sekarang," jawab Helga cepat lalu mereka berdua tertawa bersama.

Lory menggenggam liontin berbentuk air mata berwarna hitam di lehernya, ia tersenyum penuh kemenangan.


Kau dengar itu? Dia lebih menyukai aku daripada kau.

---
THE END

3 komentar:

  1. Bagus Orin ceritanya ^_^

    Twist di ending juga bagus, artinya endingnya juga g pasaran :D. Walau kalau dibilang gore, kurang gore sih menurutku (haduh X) ).

    Yang jadi pertanyaanku sih, lebih ke nama karakter. Kalle dan Lory. Ini setting cerita dimana? Mereka orang Indonesia (mengingat ada nama gembul)?

    Terus, ada dialog yang agak bikin aku mengernyit sih, tapi secara keseluruhan, ga terlalu mengganggu. BTW, romancenya agak nanggung, hihihihi.

    Sudah, ini dulu aja. Keren nih Rin, moga2 bisa masuk anthology KasFan yaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Settingnya sih di luar negeri.. si gembul ceritanya namanya diterjemahin dari Fatty gitu =///= #seenaknya

      Soal gore, kayanya di kasfan jg dibilangin jgn terlalu gimana banget makanya aku segitu aja daripada jadi ngeganggu sih... jaga2 aja :"|

      romancenya.. iya.. banyak yg dipotong krn kepanjangan ga muat di 2 pos GR, Ren... =))

      Makasih ya dah baca >:D< masuk 5 besar cerbul aja udah hepi kok xD

      Hapus
  2. Jangan lupa follow balik at http://puisipilopoly.blogspot.com/ thank you..

    BalasHapus