Halaman

Minggu, 07 Desember 2014

A Twist in My Story

Author's note:
Ini tulisan lama yang ditulis September 2010. Iya, 4 tahun lalu ketika saya masih belajar nulis dan merangkai cerita.
---------------------------------------------------------------------



Malam itu langit gelap bagaikan sapuan tinta hitam tak bercela. Bintang-bintang tak nampak berkelip di langit seolah-olah bersembunyi dan urung menunjukkan diri. Hanya bulatan sang purnama yang bercokol di langit bagaikan noda putih bercahaya membundar di hamparan kain hitam. Seorang pemuda, usianya berkisar 17 atau 18 tahun terbujur kaku di atas tanah berbatu yang tertutupi gundukan salju di pinggir danau kecil membeku dengan luka cabikan besar di area leher dan bahunya. Cabikan yang terlihat seperti perbuatan taring binatang buas. Dada pemuda itu masih bergerak, tanda kehidupan belum menguap pergi dari tubuhnya meski darah terus mengucur dari lukanya yang teramat parah. Samar-samar terdengar lolongan serigala dari kejauhan ketika tubuh malang itu ditemukan oleh penduduk sekitar.


***




“Dia sudah sadar. Cepat panggil dokter!”

“Crescent! Bagaimana perasaanmu?”

Kedua kelopak mata itu terbuka lambat-lambat memperlihatkan bola mata hijau cerah yang ada di baliknya. Kelopak mata itu kemudian mengerjap ketika cahaya matahari musim dingin yang memantul dari jendela menyilaukan penglihatannya. Pemuda itu mendadak terduduk dengan ekspresi ketakutan begitu teringat pada kejadian sebelum kesadarannya terenggut. Peluh mengucur dari pelipisnya dan serangan gelombang pusing serta merta menderanya. Ia mengerang kesakitan ketika dirasakannya leher dan bahunya bagaikan terbakar. Pemuda itu kembali terjatuh ke atas pembaringannya dengan wajah seputih kertas ditopang oleh lengan rapuh seorang gadis berambut pirang platina.

“Jangan bergerak tiba-tiba begitu,” ujar si gadis menatapnya dengan penuh kecemasan, “Lukamu parah sekali. Butuh waktu lama untuk pulih menurut dokter.” Selimut dihamparkan di atas tubuhnya oleh gadis itu dan sebuah handuk basah dipakai untuk menyeka tubuhnya yang basah oleh keringat. “Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Crescent?”

“Filona,” balas pemuda itu dengan suara lirih di tengah erangan sakitnya. Menatap gadis yang telah menjadi kekasihnya selama tiga tahun terakhir. Kelopaknya kembali mengerjap ketika gadis itu meletakkan handuk basah di keningnya yang panas bagai bara. Luka membuatnya terserang demam tinggi yang menyiksa. “Ini dimana?” tanyanya kemudian ketika menyadari ruang tempatnya terbaring bukanlah ruangan yang dikenalnya. Bukan kamar tidurnya. Langit-langit ruangan itu terbuat dari kayu bahkan hingga dindingnya. Bau kayu menyengat hidungnya. Membuatnya mengernyit sesaat.

“Ini rumah salah satu penduduk desa yang menemukanmu terluka parah,” jawab gadis itu dengan nada tak sabar lalu menghela napas, “Crescent, kumohon. Ceritakan padaku apa yang sesungguhnya terjadi.” Sebuah belaian lembut diterimanya dari si gadis di pipi kanannya. Crescent memejamkan mata, mencoba mengingat detail kejadian sebelum ia direnggut dalam kegelapan.

“Aku duduk di tepi danau. Kau tahu aku sering ke sana,” ujarnya memulai. Filona mengangguk, memberi isyarat agar Crescent melanjutkan ceritanya. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba sesuatu menyerangku. Aku tidak melihatnya, yang kutahu hanya leherku sakit, panas dan sesuatu itu menjatuhkanku keras ke tanah. Dan semua gelap. Aku tidak ingat apa-apa lagi.”

Crescent terdiam. Filona juga terdiam. Keheningan menjadi latar suasana di antara keduanya hingga pintu kamar tersebut berderit terbuka. Seorang pria berambut putih dengan jubah putih masuk ke dalam bersama seorang pria gemuk berjenggot hitam dan lebat. Pria berambut putih yang ternyata adalah dokter yang merawatnya melangkah mendekat, memeriksa perban yang membalut lukanya lalu mengukur suhu tubuhnya. Crescent hanya diam membiarkan pria itu bertindak sesuai prosedur medis hingga pria berjenggot hitam tiba-tiba melontarkan pertanyaan padanya.

“Apakah kau sempat melihat siapa pelaku penyerangan ini, Nak?”

Crescent menggeleng dan pria itu mencatat. Entah polisi, entah detektif. Crescent tak ambil peduli. Pertanyaan demi pertanyaan kemudian kembali disodorkan padanya sampai dokter mengatakan cukup dan menyuruhnya beristirahat.

“Aku akan menyelidiki kasus ini,” ujar pria gemuk itu sebelum berpamitan dan keluar dari kamar. “Semoga saja tak ada sesuatu yang buruk terjadi padamu akibat gigitan itu.”

Crescent hampir yakin ia melihat seringai mengerikan dari wajah pria itu. Namun segera ia lupakan begitu Filona menutup rapat-rapat pintu kamar tersebut dan menghujaninya dengan banyak pertanyaan.


***


“Aku senang melihatmu sudah sehat kembali, Crescent,” ujar Filona dengan suaranya yang mengalir merdu bagai nyanyian. Gadis itu tengah duduk di atas bangku kayu dengan ukiran klasik di seluruh permukaannya ketika Crescent tiba di teras rumah yang atap hitamnya terselimuti salju tersebut―tempat tinggal Filona dan keluarganya. Hari itu seluruh keluarga si gadis sedang pergi dan gadis itu hanya sendiri di rumah. Karena itulah pemuda itu datang atas permintaan si gadis untuk menemani. Kasus yang menimpanya sebulan yang lalu membuat semua orang waspada pada serangan. Dan ia tentu saja tak akan membiarkan gadis yang dicintainya ditinggal sendirian tanpa perlindungan.

“Aku tak pernah merasa sesehat ini,” balasnya sembari memberi pelukan hangat pada Filona. Ia tak bohong dengan ucapannya. Ia memang merasa jauh lebih sehat dibandingkan dengan sebelum ia mendapat serangan. Tubuhnya kini selalu terasa lebih segar, lebih kuat dan ia bahkan nyaris tak pernah merasa kelelahan. Keanehan yang lain, ia mampu berlari dengan sangat cepat sekarang. Membuatnya dijagokan dalam pertandingan atletik indoor sekolahnya. Dan, ia tak pernah lagi merasa kedinginan. Tak memakai jaket tebal di musim salju kini bukan masalah mematikan untuk Crescent, membuat semua orang heran namun tak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. “Sudah berapa lama kau menungguku di sini, Filona? Kau tak kedinginan?”

Gadis berambut pirang platina itu tersenyum kecil sembari meniup-niup kedua telapak tangannya. Jelas gadis itu kedinginan. “Hampir satu jam,” jawabnya kemudian dengan nada manja. “Aku merindukanmu. Tak sabar bertemu denganmu.”

Crescent tersenyum senang, menyisir helaian rambut pirangnya sendiri dengan gestur salah tingkah. Ia seorang pemuda yang tampan, percaya diri dan sedikit narsis. Tapi di depan kekasihnya, ia hanya seorang pemuda biasa yang sering dibuat salah tingkah.

“Aku juga―” balasnya gugup dengan wajah memerah, “―kangen kamu.”

Filona melingkarkan tangan di leher si pemuda, memberinya kecupan ringan di bibir lalu meraih tangan si pemuda dan menariknya masuk ke dalam rumah, langsung ke kamar tidurnya. Crescent langsung mengerti keinginan kekasihnya. Membiarkan gadis itu yang mengomando semuanya hingga ia terbaring di atas tempat tidur berlapis sprei sutra seputih mutiara dengan si gadis berbaring di sampingnya, membelai setiap sudut kulit tubuhnya yang tak terlindungi sehelai benang pun. Keduanya berpelukan, berciuman, berniat menghabiskan sisa hari itu bersama dan saling bertukar cerita.

Langit pun semakin gelap ketika malam tiba. Purnama terbit di langit menerangi pemukiman kecil itu. Kedua insan yang dilanda cinta itu tertidur kelelahan.


***


Pemuda itu terbangun kala suara ribut-ribut terdengar di balik jendela. Ia membuka mata dan mendapati jendela kamarnya terbuka lebar. Ia tak mengenakan apa-apa di balik selimut tebalnya. Kepalanya teramat sakit ketika ia mencoba berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Dihampirinya wastafel lalu dinyalakannya air dari keran. Ia tertegun ketika menatap bayangan dirinya di cermin. Rona sehat di wajahnya dengan cepat memudar berganti dengan pucat. Wajahnya penuh noda darah yang telah mengering sampai ke leher. Bahkan noda itu ada pada kedua telapak tangannya. Dengan panik, pemuda itu membasuh semua noda itu dengan air.

Apa yang terjadi padaku?

Ia tak tahu darah siapa yang menempel di tubuhnya. Ia yakin itu bukan darahnya karena tubuhnya sama sekali tak terluka. Crescent mencoba mengingat-ingat apa yang ia lakukan semalam.

Filona?

Ia ingat. Seharusnya ia berada di rumah gadis itu. Ia tak ingat kapan ia kembali ke kamar tidurnya sendiri. Crescent panik. Firasat buruk tiba-tiba mendera pikirannya. Dengan cepat pemuda itu berlari bagai bayang-bayang―menuju ke rumah gadis yang paling dicintainya. Ia berlari secepat cahaya. Beriringan dengan hembusan angin bagaikan satu nafas. Jantungnya berdebar keras. Takut dengan pemikiran yang tiba-tiba timbul di benaknya.

Kerumunan orang terlihat di depan rumah Filona ketika kakinya menjejak beberapa meter jauhnya dari rumah itu. Sebuah mobil ambulans dan mobil polisi terparkir di sana. Pintu rumah itu telah dipagari dengan penyekat kuning milik kepolisian. Tak seorang pun diijinkan masuk ke dalam sana. Ia melihat kedua orangtua Filona menangis meraung-raung meratap. Crescent menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Merasa seolah nafasnya terhenti begitu saja. Kelebatan memori pun mulai menyerangnya.


Wajah ketakutan Filona.


Teriak ketakutan Filona yang tertelan dalam kegelapan.


Aroma darah yang kemudian menguar di rongga mulutnya hingga ke perutnya.


Crescent menelan ludah. Di dalam perutnya kini seolah memiliki pengaduk otomatis yang membuatnya mual. Pemuda itu berlari cepat ke pinggir danau, memuntahkan seluruh isi perutnya dengan berurai air mata. Ia ingat semuanya sekarang. Gadisnya telah mati.


Ia yang membunuhnya. 


Tidak, ia memakannya.


Gigitan yang dulu dialaminya bukan gigitan binatang buas biasa.



“Aku… werewolf,” ujarnya perlahan. 


“Aku… monster.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar