Halaman

Kamis, 09 April 2015

A Midwinter Nightmares

Disclaimer:
  • Battle Royale RPF, para staff, dan semua murid-murid Midori Gakuen tanpa terkecuali
  • Koushun Takami dan universe Battle Royale-nya
  • Hwanhee sebagai visualisasi Iwasaki Kippei; Ayumi Hamasaki sebagai visualisasi Kudou Manami
  • Putri sebagai PM dari Yasuaki Jin, maaf ya kalau OOC.

***

***

"Kenapa berhenti?" tanyaku pada sopir bus yang sedang membawa aku dan murid-muridku pulang kembali ke Hakodate setelah karyawisata tiga hari dua malam yang menyenangkan. "Kita belum sampai, kan?"

"Ada pasukan militer yang menghadang di depan bus, Iwasaki-san," jawab sopir itu dengan ekspresi kebingungan.

Satu detik kemudian, suara pintu bus dibuka paksa memenuhi ruangan. Disusul dengan seorang pria berseragam militer dengan masker gas menutupi wajah membungkam mulut sopir itu dan melemparnya begitu saja keluar dari bus. Aku ternganga melihat pemandangan itu. Apa yang sedang terjadi di sini? Aku berusaha untuk tidak panik walau ingatan tentang kejadian yang serupa yang pernah terjadi sebelumnya membuatku waspada. Kupandangi murid-muridku yang sepertinya belum sadar akan apa yang terjadi. Banyak dari mereka yang tertidur kelelahan.

Siapa lagi yang akan mereka bawa sekarang?

Pintu bus di belakangku kemudian terbuka. Aku berbalik dan terkejut melihat siapa yang menaiki tangga dengan seragam yang serupa dengan pria sebelumnya. Wajah itu kukenali dengan begitu baik. Aku tumbuh besar bersamanya. Tapi wajah itu menyunggingkan senyum yang kelewat ceria.

"Mana-chan?"

"Kippei!" serunya seraya memelukku erat-erat seakan kami sedang bertemu dalam situasi yang berbeda. "Ohisashiburi!"

"Kau sedang apa di sini? Dan seragam itu... kau...?" Aku mengerutkan kening, kebingungan mencerna apa yang kulihat saat ini. Aku tahu Manami dulu masuk Angkatan Laut, Manami sejak dulu memang sangat terobsesi menjadi seorang abdi pemerintah dan ingin berbakti pada negara. Tapi sama sekali aku tidak mengira bahwa dia akan melakukannya hingga sejauh ini. Seragamnya itu bukanlah seragam Angkatan Laut. Seragam itu....

"Ya, apa pun yang sekarang sedang kau pikirkan itu benar," ujarnya tersenyum manis sambil menggenggam tanganku. "Aku di sini untuk menjemput murid-murid kesayanganmu ini."

"Semuanya?"

"Semuanya. Apakah aku perlu menjelaskan untuk apa? Barangkali kau lupa isi buku pelajaranmu waktu kelas empat itu."

Tentu saja aku ingat. Kualihkan pandanganku dari Manami ke murid-muridku. Astaga. Ini adalah mimpi buruk.

"Aku tidak akan mengijinkanmu membawa mereka," ujarku tegas. Kurentangkan tanganku menghalangi Manami masuk. "Pergilah. Kumohon."

"Jangan melawan, Kippei," katanya dengan wajah cemberut. "Aku tidak mau melukaimu, jadi kau harus mau bekerjasama." Kulihat Manami memberi isyarat pada dua orang prajurit militer di luar bus. Mereka dengan segera masuk dan meringkusku. Tendanganku tidak ada apa-apanya bagi mereka. Mulutku dibungkam ketika aku dipaksa keluar. Kutatap Manami dengan nanar, namun wanita yang kucintai itu hanya menatapku datar. Ketika aku berhasil menggigit tangan yang membungkam mulutku, sesuatu menghantam kepalaku dengan keras.

Dan pandanganku menggelap.

***

"Wah, ada apa gerangan hingga kau tiba-tiba datang ke Fukushima?" tanya Jin begitu melihatku di balik pintu rumahnya.

Sahabat masa kecilku itu segera melebarkan pintu supaya aku bisa masuk ke dalam rumahnya yang hangat. Dan begitu dia menutup pintu, kami berpelukan selayaknya saudara yang lama tidak bertemu. Terakhir kali, Jin yang datang ke Hakodate untuk mengurus aku yang sakit.

"Ini mungkin kedengarannya menjijikkan," ujarku sembari menepuk pundaknya bersahabat. "Tapi aku tiba-tiba kangen padamu. Apa kabarmu, eh? Kudengar kau sedang cuti mengajar?"

Jin terkekeh, menyilakan aku duduk di ruang tamunya yang terlihat begitu rapi, sama sekali tidak mencerminkan dirinya. Aku curiga ada sentuhan perempuan di rumahnya kini, tapi aku menahan diri untuk tidak bertanya.

"Yah, begitulah. Hanya perlu libur sejenak karena ada satu dan lain hal yang lebih membutuhkan perhatianku saat ini," ujarnya mengangkat alis.

"Perempuan?" tanyaku akhirnya.

Tak kukira wajah Jin akan merona. Sahabatku itu mengalihkan tatapannya dan tangannya terangkat menutupi bibirnya dengan kikuk. "Yah, kau bisa bilang begitu." Dia mendekatkan wajahnya dan berbisik, "Jangan berisik. Dia sedang tidur. Aku tak mau kau membangunkannya."

Aku terbelalak. Mulutku ternganga dan untuk beberapa saat aku tidak bisa berkata apa-apa selain mengangkat-angkat telunjukku di depan muka Jin. "Dia... maksudmu, dia tinggal di sini? Bersamamu?"

Jin mengangguk malu.

"Perkembangan yang tidak terduga," ujarku berusaha menyembunyikan rasa iri. Usia kami sudah bukan remaja lagi, teman-teman seangkatan kami banyak yang sudah mulai membina keluarga. Kupikir Jin setidaknya akan menemukan jodohnya bersamaan denganku, setidaknya sampai aku berhasil mendapatkan hati Manamisepupuku yang cantik itu. Tapi rupanya Dewa Amor lebih mendahulukan sahabatku, sementara aku untuk kesekian kalinya ditolak mentah-mentah. "Sudah berapa lama?"

"Hei. Aku yakin kau ke sini bukan untuk mencampuri urusanku, kan?" elak Jin seraya menegakkan tubuhnya. "Kau bukan tipe orang yang bertindak tanpa alasan. Aku tidak percaya kau cuma kangen padaku lalu langsung pergi ke sini. Apalagi biasanya tak lama lagi sekolah-sekolah akan mengadakan karyawisata. Memangnya Midori tidak?"

Aku menghela napas, menyandarkan tubuhku ke sandaran sofanya yang empuk. Jin terlalu mengenalku, kadang-kadang hal itu membuatku serba salah, tapi juga bersyukur karena aku tidak perlu susah-susah menjelaskan untuk membuatnya tahu ada sesuatu yang mengangguku.

"Dua hari lagi kelasku akan berangkat ke Asahikawa," kataku. "Sepertinya mereka ingin melihat parade penguin di sana."

"Lalu? Apa yang membuatmu risau?"

"Hmm... beberapa hari ini aku terus memimpikan waktu bus kami dihentikan di tengah jalan, dan muridku dibawa pergi. Kau ingat ceritaku ini, kan?" Aku menatap Jin yang membalasku dengan anggukan. "Satu muridku sekarang ada di kelasmu, entah apa yang terjadi padanya. Tapi aku mendapat kabar bahwa muridku yang satu lagi, Hanamura Yoichi, pulang dalam keadaan tak bernyawa." Aku menarik napas. "Aku terus diingatkan tentang itu. Wajah Yoichi menghantui mimpiku. Bahkan aku teringat pada adik Mana-chan dan teman-teman sekelasnya yang juga dipulangkan tak bernyawa. Firasatku benar-benar tidak enak. Aku jadi teringat pada salah satu pelajaran di buku Sejarah kelas 4 kita."

"Soal... eksperimen program apalah itu?"

Aku mengangguk pelan. "Entah mengapa aku merasa kepergian murid-muridku ini ada kaitannya dengan eksperimen itu. Karena itulah aku ingin sekali bertanya pada Katsuo. Tapi sepertinya dia diminta untuk tutup mulut." Terakhir kali, anak itu memandangku seakan-akan aku orang asing.

"Kalau hanya ingin curhat soal itu, seharusnya kau bisa meneleponku saja. Ngapain susah-susah ke sini?"

"Sudah kubilang aku ingin bertemu denganmu," ujarku dengan nada mendesak. "Karena... rasanya seakan-akan ini akan jadi pertemuan kita yang terakhir. Kalau firasatku jadi nyata dan mereka mau mebawa murid-muridku, maka"

Jin tergelak mendengar ucapanku. Aku pun berhenti bicara. Aku yakin sekarang dia menganggapku terlalu paranoid. Tapi aku tidak bisa mengenyahkan firasat buruk itu begitu saja.

"Sobat, sepertinya kau butuh minum," ujar Jin. "Bagaimana kalau kita mabuk-mabukan malam ini? Lupakan semua yang membuatmu gundah. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Semua akan baik-baik saja."

***

Tapi firasat burukku itu rupanya benar.

Ketika aku membuka mata, kurasakan nyeri hebat di kepalaku akibat pukulan sebelumnya. Lalu kusadari bahwa aku berdiri, diikat kuat ke pohon di belakangku. Rasanya begitu dingin hingga punggungku seolah beku. Sekelilingku gelap, hanya ada setitik cahaya dari tenda besar di depan sana. Aku mencoba melepaskan diri, namun itu hanya membuat sekujur tubuhku terasa sakit.

"Kippei sudah siuman?" 

Suara ceria yang dibuat-buat itu membuatku mengangkat kepalasadar sepenuhnya di mana aku berada. Bukannya aku tahu pasti aku berada di mana, namun kini aku yakin yang kualami sebelum aku pingsan itu sungguhan terjadi. Dan Manami... benar-benar bagian dari mereka. Kenyataan yang paling sulit untuk kucerna. Manami muncul dari balik pohon tempatku diikat, mengenakan mantel tebal berwarna coklat muda yang tampak anggun di tubuh langsingnya. Topi militer yang dikenakannya membuatku menyimpulkan bahwa dia masih mengenakan seragam yang sama dengan yang dikenakannya sore tadi. Di tangan kirinya, Manami menggenggam sesuatu seperti tali hitam yang digulungcambuk, kutebak.

Sejak kapan Manami jadi seperti ini?

"Hei! Kaget, ya, melihatku berpakaian seperti ini?" tanyanya lagi seraya mendekatiku dan menepuk-nepuk pipiku seperti yang biasa dia lakukan. "Jangan memasang wajah begitu, dong. Aku jadi merasa bersalah karena tidak pernah memberitahumu soal ini."

"Murid-muridku, mereka ada di mana?" Baru kali ini aku merasa jijik melihatnya tersenyum dan mendengarnya tertawa. Bagaimana bisa dia bertingkah begitu di saat seperti ini? Ke mana Manami yang kukenal?

"Astaga, Kippei. Kau ini benar-benar guru teladan, ya. Bukannya mengkhawatirkan nasib sendiri dulu," ujar Manami menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh seakan aku sedang melontarkan lelucon paling lucu sedunia. "Anak-anak tersayangmu masih aman di dalam tenda itu," katanya menunjuk ke arah tenda yang tadi kulihat. "Untuk sementara."

"Lepaskan mereka, Mana-chan!" seruku keras hingga membuat Manami membungkam mulutku.

"Sst... bodoh. Jangan berisik," hardik Manami seraya menghantam kepalaku dengan gagang cambuknya. Manami yang lemah lembut itu apakah hanya ilusi? Kepalaku terasa berputar-putar. Inikah sosok Manami sebenarnya? Tak bisa dipercaya. "Hal itu tidak bisa kukabulkan, Kippei. Mereka seharusnya bangga karena mendapat kesempatan menunjukkan bakti mereka pada negara. Dan kau seharusnya juga begitu."

"Seiya. Kau tidak sedih waktu Seiya mati karena eksperimen gila ini?" tanyaku dengan suara parau. Aku tahu benar betapa Manami menyayangi adik lelakinya itu.

Manami terlihat terkejut. Sejenak perasaan bersalah menguasai parasnya, namun sedetik kemudian Manami berhasil menutupinya lagi dengan tawa. "Apa yang kau bicarakan? Seiya... dia meninggal karena busnya kecelakaan."

"Omong kosong! Hanya orang bodoh yang akan percaya dengan alasan itu!"

"Diam! Ini bukan waktunya membicarakan Seiya," ujar Manami melirik ke arah tenda di mana seorang pria melongokkan kepalanya, mengintip apa yang sedang kami lakukan. "Aku ingin kau bekerjasama. Turuti perintahku, maka kau bisa pulang dari tempat ini hidup-hidup."

"Lalu bagaimana dengan murid-muridku, Manami? Bagaimana dengan mereka?"

Manami memutar mata. "Satu orang murid akan pulang setelah eksperimen ini selesai."

"Satu orang?"

Manami mengangguk. "Begitulah aturan mainnya. Dia yang berhasil bertahan hidup akan mendapatkan banyak keuntungan dari pemerintah."

"Persetan! Aku tidak akan bekerjasama kecuali kau pastikan mereka semua pulang dengan selamat!"

Manami menghela napas, dengan tak sabar dia merogoh sesuatu dari pinggangnya, mengangkatnya ke depan mukaku hingga aku tersentak. Sepupuku itu menggenggam sebuah pistol, dan moncongnya kini menempel di dahiku. Aku menelan ludah, merasa lumpuh seketika karena rasa takut. Ini, rasa takut ini yang akan dirasakan murid-muridku nanti. Dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan mereka.

"Kau yakin mau menyia-nyiakan nyawamu untuk mereka, Sepupuku sayang?"

Aku mengertakkan gigi, mataku menatap pistol itu, keringat dingin menetes dari pelipisku. Tentu saja aku takut mati. Tapi aku tahu satu hal. Kutatap Manami lekat-lekat dan berkata, "Aku takkan bisa hidup dengan membawa rasa bersalah karena menyerahkan murid-muridku ke ladang pembantaian. Mereka anak-anak baik, bukan pemberontak seperti yang kalian pikir. Mereka... tidak pernah menyusahkan dan membuat ulah melebihi batas kewajaran. Mereka"

"Cukup, Kippei. Aku tak punya waktu untuk mendengarkan celotehmu itu."

Aku mendengar suara pelatuk ditarik di balik suara Manami. Tak ada lagi tawa dalam nada suaranya. Kukumpulkan keberanianku untuk menatap Manami dalam-dalam dengan bibir terkatup.

"Aku kecewa. Kupikir kau akan bersikap lebih pintar dari ini."

Aku menyunggingkan senyum pahit. "Aku tidak menyesalinya."

Tak lama kemudian, sebuah letusan keras terdengar memecah kesunyian malam itu.

Tubuhku yang terikat terkulai, darah mengucur deras dari tengkorakku yang hancur, mewarnai putihnya salju dengan merah yang pekat.


Murid-muridku tersayang, berjuanglah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar