Halaman

Jumat, 17 April 2015

Pengakuan

“Jadi... kenapa tiba-tiba kau ada di Bournemouth?”

Suasana Pantai Bournemouth yang selalu ramai
Dia menoleh, menatapku dengan kening berkerut. Pasti itu karena wajahku yang jelas-jelas menunjukkan rasa tidak senang dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku ke laut, fokus memandangi garis bercahaya yang membatasi laut dengan langit. Entah kenapa aku masih saja merasakan perasaan ini terhadapnya, bahkan setelah dua tahun berlalu. Dua tahun sejak dia menolak perasaanku secara tidak langsung.

Tapi kini dia ada di sini. Berjalan di sampingku, di atas pasir keemasan yang membentang di sepanjang pantai paling indah di Inggris itu.

“Aku sedang ada urusan di London,” ujarnya sembari menyugar rambut hitamnya, menahannya dari tiupan angin. Aku menahan napas. Efek yang ditimbulkan gerak-geriknya masih sama. “Ada pameran desain berskala internasional di sana. Memangnya di sini tidak ada gaungnya?”

“CG maksudmu? Mana mungkin tidak ada gaungnya,” kataku, berusaha terdengar biasa-biasa saja, walau sebenarnya aku gugup setengah mati. “Para mahasiswa di kampusku yang ikutan CG sudah mulai sibuk sejak dua bulan lalu. Rasanya hampir semua orang membicarakan ‘Creativity is GREAT sampai-sampai aku bosan.”


“Kalau begitu, harusnya kau sudah tahu kalau aku akan ada di Inggris saat ini. Aku kan salah satu peserta kehormatan.” Dia mengucapkan itu dengan nada yang sangat bangga pada dirinya. Wajar, aku pun bangga dengan prestasinya. Jarang ada desainer interior semuda dia yang sudah diakui di taraf internasional. Rancangan-rancangannya sering dibahas di majalah-majalah interior terkemuka. Dengar-dengar, salah satu rancangannya bahkan dibeli untuk keperluan setting rumah di sebuah film Hollywood yang ditunggu-tunggu penggemarnya. Aneh jika dia tidak bangga, kan?

“Aku tahu kau ada di Inggris, tapi aku nggak menyangka kau akan mampir ke kota ini,” jelasku. “Bukannya jadwalmu di London padat?”

“Yup. Tapi aku sengaja menyisihkan waktu untuk menemuimu, tahu?” Dia mencubit pipiku gemas seakan dia tidak menyadari alasan aku pergi tanpa berpamitan dengannya waktu itu. Tidak tahukah dia bagaimana efeknya terhadap jantungku? “Udah, jangan banyak tanya lagi, deh. Hari ini kau kusewa untuk jadi pemandu wisataku selama di Bournemouth.”

Aku memaksakan diriku tertawa sembari bergerak menjauh supaya tangannya yang masih menempel di pipiku itu lepas. Pantai Bournemouth selalu ramai saat musim panas. Pengunjung memenuhi area dekat dermaga besar. Banyak orang yang berjemur tanpa busana. Pemandangan yang masih membuatku memalingkan wajah. “Baiklah,” ujarku tanpa memandang ke arahnya. Pipiku terasa hangat. “Kau mau ke mana? Belanja? Makan? Naik komidi putar di sana?” tunjukku ke arah wahana yang tak jauh dari tempat kami berjalan. “Atau mau dugem?”

“Mana ada orang dugem siang-siang?” serunya sambil tertawa hingga kedua matanya menyipit. Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat tawa itu. Bohong jika aku tidak merindukannya. Tawa itu selalu berhasil membuat hari-hariku yang suram kembali ceria. Tidak bisa disangkal, perasaanku padanya tidak berubah. Bahkan mungkin bertambah besar.

            “Siapa tahu. Kau kan nyentrik,” godaku hingga ia memutar matanya.

            “Selain pantai ini, apalagi yang mencolok dari Bournemouth?” tanyanya.

            Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku melemparkan cengiran lebar ke arahnya. “Aku tahu ke mana harus mengajakmu! Ayo!”

***

            “Kau serius mengajakku ke sini?!”

Bournemouth Eye
            Aku mengangguk dan tertawa puas melihat wajahnya pucat pasi dengan kepanikan yang jarang terlihat di sana. Sudah lama aku tahu bahwa dia takut ketinggian. Itu sebabnya aku membawanya ke sini—ke Bournemouth Eye. Pemandangan kota Bournemouth terlihat semakin indah dari atas sini.

            “Kau bilang yang semencolok pantai, kan?” ujarku masih tertawa. Tanpa memedulikan penolakannya, aku membeli tiket dan menariknya naik ke balon udara itu. Beberapa turis memandangi kami sambil tersenyum, juga anak-anak kecil yang terlihat tidak sabar untuk segera naik. “Ayo, masa kau kalah dengan anak-anak kecil itu?”

            Tidak punya pilihan lain, dia pun mengikuti langkahku naik ke balon udara. Kulihat kedua kakinya gemetar. Barangkali dia sedang mengumpat di kepalanya.

            Begitu berada di atas balon udara, dia langsung mencengkeram pagar besi yang mengelilingi kami. Seluruh tubuhnya tegang sekali. Begitu balon udara mulai bergerak naik, dia memejamkan matanya rapat-rapat. Melihatnya seperti itu membuatku tertawa namun juga merasa sedikit kasihan.

            “Dari atas sini kau bisa melihat seluruh kota, loh,” ujarku berbisik di telinganya. “Sayang sekali kalau kau terus merem begitu.”

            “Biar saja,” balasnya tetap memejamkan mata.

            “Kau tahu kenapa aku mengajakmu naik balon udara ini?”

            Dia menggelengkan kepala, mengeratkan cengkeramannya di pagar besi hingga buku-buku jarinya memutih.

            “Ini hukuman buatmu.”

            “Hukuman?” Aku berhasil membuatnya membuka mata meski sejenak. “Kenapa?”

            Aku menelan ludah. Menatap wajahnya dengan perasaan sedih meluap-luap dalam hati. Aku ingin dia mengetahui perasaanku, apalagi setelah ini mungkin aku tidak akan pernah punya kesempatan lagi untuk mengatakannya.

            “Dua tahun lalu kau mematahkan hatiku,” ujarku akhirnya. Jantungku berdegup kencang.

            Kali ini dia membuka matanya lebar-lebar—terkejut mendengar perkataanku. Rasa kaget itu sepertinya mengalahkan ketakutannya.

            “Aku menyukaimu, tahu? Dasar tidak sensitif.”

            Aku melihat keningnya berkerut, rasa bersalah tergambar di raut wajahnya. “Sejak kapan?”

            “Sejak pertama kita berkenalan. Tapi kau malah dengan mudahnya bilang hanya menganggapku adik.” Aku melipat tanganku di dada. Rasanya sakit mengingat kata-kata itu. Tapi aku tidak bisa lagi memendam perasaanku ini. Aku tidak akan bisa melanjutkan hidupku kalau aku tidak mengungkapkannya. “Gara-gara itu aku jadi tidak sanggup berpamitan denganmu sebelum berangkat ke kota ini.”

            Aku menatapnya, pemahaman mulai terlihat di binar matanya. Sepertinya ia mulai mengerti dengan keadaan yang dihadapinya saat ini. “Aku berharap kau segera menyadari alasanku pergi, tapi ternyata sampai saat ini pun kau tidak tahu apa-apa,” ujarku menghela napas. Kualihkan tatapanku ke bawah, memandangi taman-taman yang membuat Bournemouth begitu asri di bawah sana. “Sialnya, meski sudah pergi jauh-jauh darimu, aku masih tetap tidak bisa menghapus perasaan ini.”

            “Maaf aku tidak pernah menyadarinya,” ujarnya pelan. “Kenapa tidak bilang?”

            “Apa akan ada yang berubah?” Kutatap matanya dalam-dalam. Bahkan tidak perlu kata-kata untuk mengetahui dugaanku benar. “Kau sudah memiliki gadis itu di hatimu. Sejak awal memang sudah tak pernah ada kesempatan untukku. Ya, kan?”

            Mataku basah melihatnya menganggukkan kepala. Tapi anehnya perasaanku terasa lebih ringan sekarang.

            “Selamat untuk pernikahanmu,” ujarku. Aku tidak mengira akan mampu mengucapkannya dengan tulus. “Aku pasti datang.”

            Dia tampak bingung sesaat, kemudian dia tersenyum. “Terima kasih ya. Untuk perasaanmu. Untuk persahabatan kita. Untuk semuanya.”

            Orang bilang mencintai artinya membiarkan orang yang kaucintai bahagia, meski bukan dengan dirimu. Aku mencintainya, dan aku ingin dia bahagia sehingga aku bisa mulai mencari kebahagiaanku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar