Halaman

Minggu, 09 April 2017

Happy Ending


Jadi... dari manakah sesungguhnya kebisuan gadis itu bermula?

Sejak kapankah ia mulai merasa bila diabaikan adalah hukuman yang sepantasnya didapatkan?

Ah, ia ingat.

Hari itu, usianya genap lima tahun. Pada usia itulah ingatannya bermula. Agak lambat, mungkin. Selambat kemampuannya berbicara datang. Sedari pagi, ia menanti-nanti. Pergi ke sekolah dengan bersemangat, dan tidak sabar untuk kembali pulang. Bulan lalu, ketika Mina-nee berulangtahun, rumah dihiasi dengan balon aneka warna oleh ayah mereka. Ada pita-pita terpasang di dinding, dan sebuah kue berlapis krim dengan hiasan beruang berada di atas meja makan mereka. Suasananya sangat menyenangkan. Beberapa orang teman Mina-nee datang membawa kotak-kotak berisi hadiah. Walaupun wajah ayah mereka tetap muram seperti biasa, beliau tetap bertepuk tangan saat menyanyikan lagu ulang tahun untuk kakak perempuannya itu.


Imai Ningyou pun berpikir akan mendapatkan pesta yang kurang lebih sama. Ia menunggu ayah datang menjemput, tapi rupanya yang datang adalah bibi yang tinggal di sebelah rumah. Kecewa melingkupi dirinya waktu itu. Apalagi ketika mendapati rumahnya kosong dan gelap. Ia terpaksa menunggu di rumah bibi tetangganya itu. Duduk di teras sambil terus menatap ke rumahnya.

"Ningyou-chan, ayo masuk ke dalam. Di luar sini dingin. Kamu bisa sakit," ujar bibi tetangganya yang baik hati itu. Ketika melihat Ningyou tidak menyahut, bibi itu berkata lagi, "Ayah dan kedua kakakmu sedang melayat ke makam ibumu. Mereka baru akan pulang nanti malam. Ayo, masuk dan makan siang dulu."

Malam?

Ningyou kecil menatap ke langit yang masih terang. Malam masih lama, dan perutnya sangat lapar. Tapi kalau ia makan sekarang, nanti perutnya tidak kuat lagi makan kue ulang tahun.

"Apa papa bilang akan pulang membawa kue ulang tahunku, Bi?" tanyanya sambil menatap si bibi penuh harap.

"Ningyou-chan hari ini ulang tahun?" Bibi itu tampak terkejut. "Papamu tidak bilang apa-apa. Tapi, ayo kita buat kue untukmu di dapur. Kamu mau?"

Ningyou menggelengkan kepalanya. Ia masih berharap ayahnya akan pulang dan merayakan ulang tahunnya. "Aku ingin makan kue yang papa beli saja nanti. Terima kasih, Bibi."

Wanita separuh baya itu menghela napas dan memandangi si gadis kecil dengan tatapan iba. Sebagai tetangga, tentu ia tahu apa yang terjadi pada keluarga Imai. Ibu Ningyou meninggal saat melahirkannya, dan sejak itu kepala keluarga Imai berubah menjadi pemurung. Tidak jarang bibi itu melihat bagaimana perlakuan keluarga pemilik toko bunga itu pada si bungsu. Seperti halnya hari ini, gadis kecil itu tidak diajak melayat ibunya sendiri.

Dan malam itu, ayah dan kakak-kakak Ningyou pulang tanpa membawa apa-apa. Tidak ada yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Tidak ada hadiah. Tidak ada pita maupun balon. Seakan-akan hari ulang tahunnya tidak diingat oleh mereka.

"Papa, hari ini aku lima tahun," ujarnya sambil mengacungkan lima jari ke hadapan ayahnya yang sedang duduk menonton televisi. "Papa tidak beli kue untukku? Aku mau tiup lilin."

"Berisik. Papa sedang nonton, jangan ganggu," bentak ayahnya gusar. Menoleh ke arah Ningyou pun tidak. "Tidur sana."

Ningyou kecil mengerutkan kening, kepalanya dimiringkan ke kiri agar bisa menatap wajah ayahnya.

"Kalau begitu, aku boleh ajak teman-teman ke rumah besok untuk makan kue ulang tahun?"

Ayahnya tidak menjawab. Ia terus menunggu sambil memainkan jemarinya.

"Hana-chan bilang dia mau datang bawa hadiah untukku," kata Ningyou lagi sedikit mendesak. "Kochan juga mau membantuku menghabiskan kue. Lalu Kaho...."

Ayahnya mendengus keras, membuat ia tersentak dan berhenti berbicara. Ningyou melangkah mundur saat ayahnya berdiri, mematikan televisi dan lampu, lalu berjalan menuju ke kamarnya. Pintu dibanting keras. Kedua kakaknya mengintip dari balik pintu kamar masing-masing, lalu buru-buru menutupnya saat Ningyou menatap ke arah mereka. Ia ditinggal sendiri dalam gelap.

Ia ingat... itu pertama kalinya ia menangis hingga matanya bengkak. Dan sejak hari itu, ayahnya tidak pernah lagi menatap apalagi bicara padanya. Beberapa hari kemudian, kedua kakaknya mengikuti apa yang dilakukan ayah mereka.

Perlahan, keberadaan Ningyou di rumah itu memudar.

[つづく]

3 komentar:

  1. ini memang cerita jepang yang di translate ya sis? atau cuma karangan fiksi?


    my blog
    http://lapetitefabriquededany.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Ini sedih banget..... Tapi mungkin papanya sayang banget sama mamanya ya..... Tapi masa anaknya digituin, aku kasian- sini aku sama Wonho adopsi ya? ㅠㅠ

    BalasHapus