Halaman

Sabtu, 14 April 2012

Selalu di Hatiku



“Yuki-chan, Naoto meninggal semalam.”

Pagi itu aku dibangunkan oleh bunyi dering telepon genggamku yang ketika kuangkat memberikan berita paling buruk yang pernah kuterima. Berita yang takkan pernah bisa kuterima dengan lapang dada—yang bahkan membuatku marah dan berharap berita itu hanya tipuan belaka. Kekasihku, Naoto Matsushima, telah meninggal semalam karena sebuah kecelakaan di rumahnya. Dia dan kakak sepupunya, Yuuji Natsume, tengah mengangkat lemari besar untuk dipindahkan ke lantai dua dan entah bagaimana kaki Yuuji tersangkut anak tangga dan mereka berdua terjatuh. Naoto yang berada di posisi bagian bawah—posisi yang tidak menguntungkan—tertimpa lemari itu dan kepalanya terbentur keras di lantai. Lehernya patah dan dia meninggal saat itu juga di tempat. Demikian yang diceritakan Yuuji sambil menangis di telepon.

“Maafkan aku. Jika saja aku tidak ceroboh dan tersandung, kejadiannya takkan seperti ini. Maaf!”

Aku hanya bisa terpekur menatap fotoku bersama Naoto di atas meja riasku saat mendengarkan kata demi kata yang terjalin menyusun kalimat demi kalimat yang tak ingin kudengar dari Yuuji. Tak menggubris permintaan maaf yang berulang kali terlontar dari pemuda itu. Aku hanya berharap semua ini adalah mimpi—aku akan terbangun dan Naoto masih hidup. Jemariku gemetar memegang telepon genggam, kedua bola mataku mulai berkaca-kaca ketika akhirnya bibirku bergerak melontarkan pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di tenggorokanku.

“Jangan bercanda. Yuuji-nii bohong, kan? Naoto masih hidup, kan?”

Di seberang sana, Yuuji hanya terdiam dan terisak. Tidak menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Dia tidak sedang bercanda. Ini kenyataan. Naotoku telah meninggal semalam. Pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal padaku—bahkan aku belum sempat memaafkan kesalahannya yang membuat kami bertengkar beberapa hari ini. “Yuuji-nii?” panggilku lagi, suaraku mulai terdengar gemetar bersamaan dengan bulir-bulir air mata yang mengalir dari sudut mataku yang sipit. “Dimana dia sekarang? Aku ingin melihatnya.”

“Datanglah kemari, Yuki-chan. Pemakaman akan dilakukan besok.”

Dengan tangan gemetar, kuputuskan sambungan telepon dan telepon genggamku terlepas begitu saja dari genggamanku yang melemah—jatuh ke atas permukaan empuk tempat tidurku. Pandanganku kini buram oleh air mata yang menumpuk di pelupuk mataku, tubuhku bergetar hebat karena tangis yang semakin lama semakin keras. Kurebahkan tubuhku kembali ke atas tempat tidur dan kuraih boneka beruang besar berwarna krem di sampingku—hadiah dari Naoto—ke pelukanku. Kubenamkan wajahku ke perut empuk boneka itu dan menangis tersedu-sedu sampai aku jatuh tertidur dengan wajah basah oleh air mata.

Ketika aku terbangun satu jam kemudian, kudapati Hiroshi Nagata—sahabat Naoto sejak kecil—duduk di sisi tempat tidurku. Wajah pemuda itu saat ini mungkin tak jauh berbeda dengan wajahku; kedua matanya merah dan bengkak karena habis menangis, pakaian dan rambutnya tampak berantakan. Sepertinya pemuda itu juga terkejut mendengar kabar kematian Naoto dan tergesa-gesa datang ke rumahku tanpa mempedulikan penampilannya. Aku tebak, Hiroshi bahkan belum sempat mandi dan mengganti pakaian tidurnya. Ah, bukan waktunya mencela sekarang. Kenyataan yang membuat Hiroshi dan aku tampak berantakan sekarang jauh lebih menyakitkan dan cukup untuk menutupi kekacauan kami saat ini.

“Hiroshi-kun,” ujarku memanggilnya. Pemuda itu langsung menoleh ke arahku dan kini bisa kulihat dengan jelas betapa pucat rona wajahnya. Air mata kembali bergulir di pipi kami masing-masing saat kedua mata kami saling menyapa—bertukar informasi yang telah sama-sama kami ketahui. Tak ada kata-kata yang terlontar dari bibir kami. Kuangkat tubuhku untuk memeluk Hiroshi dan menangis sekali lagi. Bukan yang terakhir kalinya pada hari itu karena saat kami berdua tiba di rumah Naoto, tangisku kembali merebak.

Naoto yang begitu bersemangat, begitu ceria; Naoto yang nyaris tak pernah marah ataupun cemberut itu kini terbaring diam tak bergerak di dalam sebuah peti kayu jati mengkilat—tidur untuk selamanya. Tak ada lagi sapaan ceria dan usapan di kepala yang selalu ia lakukan setiap kali aku datang menemuinya. Tak ada gurauan tentang betapa kacaunya penampilanku saat itu ketika berdiri di sisi peti matinya, memandangi wajahnya yang begitu kucintai. Kedua mata Naoto terpejam, wajahnya seperti sedang tertidur—terlihat begitu damai. Aku masih tak bisa percaya bahwa Naoto yang selama dua tahun ini selalu bersamaku kini sudah tiada. Kekasih yang begitu kucintai itu takkan terbangun lagi untuk selamanya. Hati kecilku berharap—ketika jemariku menelusuri tulang pipinya—ia akan terbangun dan menertawakan aku karena percaya bahwa dirinya telah tiada. Namun, dinginnya suhu tubuh Naoto yang terasa di ujung-ujung jemariku adalah sebuah kenyataan yang mau tak mau harus kuterima tak peduli betapapun sakitnya. Naoto sudah meninggal.

Demi Tuhan, usianya baru 20 tahun.

“Tocchi…,” ucapku lemah—menyebut nama panggilannya—telapak tangan kananku masih berada di pipinya. Aku tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun meski dalam hati aku terus meneriakkan kata maaf berulang-ulang. Penyesalan karena aku tak sempat mengabulkan permohonan maaf yang dua hari ini selalu ia pinta. Hanya air mata yang terus mengalir tiada habisnya membasahi wajahku yang sembab. Rasanya aku tak ingin beranjak dari sana, aku ingin berbaring bersamanya di dalam peti mati itu dan dikubur bersama dengannya sebagai penebusan dosa atas keegoisanku padanya. Refleks aku menggeliat melepaskan diri ketika Hiroshi memegang pundakku, hendak menarikku pergi dari sisi Naoto.

“Lepaskan. Aku mau tetap disini,” ujarku sambil berpegangan erat pada sisi peti mati Naoto. Air mataku mengalir semakin deras. Jauh di dalam hatiku, aku tahu bahwa saat-saat perpisahan yang sesungguhnya akan segera datang—ketika peti mati itu ditutup untuk selamanya. Aku takkan bisa lagi melihat wajahnya, aku takkan bisa lagi menyentuhnya. Naoto benar-benar akan hilang dari dunia ini ketika peti mati itu ditutup dan kemudian dimasukkan ke dalam liang kubur. Pergi sendirian tanpa aku di sampingnya. Pergi membawa rasa bersalah karena aku belum sempat memaafkannya.

Aku berdosa padanya.

“Sudah waktunya menutup peti, Yuki-chan,” ujar Hiroshi dengan suara serak. Aku tahu, perasaan Hiroshi saat ini pasti sama sedihnya denganku. Hiroshi dan Naoto telah berteman bahkan sejak mereka masih di bangku Taman Kanak-Kanak. Aku menolehkan kepalaku, menatap wajah Hiroshi yang juga basah oleh air mata. Hiroshi mengendikkan kepala ke arah para petugas yang telah siap menutup peti mati itu, membuat bola mata cokelatku turut bergulir ke arah yang sama—menatap datar wajah-wajah tak sabar para petugas yang hendak segera menyelesaikan tugas mereka. Aku tak mampu membayangkan bahwa Naoto akan berada di dalam kotak sempit itu sendirian dalam kegelapan dan hampa udara. Aku tak ingin Naoto dikurung di dalam sana. Kenapa mereka tidak membiarkan saja peti itu tetap terbuka dan tidak mengubur Naoto jauh di dalam tanah?

Sehingga aku masih bisa memandang wajahnya dan memegang tangannya kapanpun kuinginkan.

“Kumohon, beri aku waktu 5 menit saja,” ujarku pada para petugas dan pada kedua orangtua Naoto. Aku tak menyadari bahwa sejak tadi tingkahku diperhatikan oleh orang-orang yang datang melayat. Aku bersyukur tak seorangpun menertawakan perilakuku yang saat itu bisa dibilang sangat menyusahkan. Setelah kedua orangtua Naoto memberikan anggukan kepala sebagai jawaban atas permintaanku, aku pun kembali melangkah mendekati sisi peti mati Naoto. Kutundukkan kepalaku sehingga ujung hidung kami nyaris bersentuhan. Kupegang sebelah tangannya dan kuangkat hingga menempel di pipiku. Kurasakan tubuhnya sudah kaku akibat suntikan formalin, beku dan dingin. Ia sudah tak bernyawa. Perlahan kukecup punggung tangannya—terlalu malu untuk mengecup bibirnya di depan mata orang-orang. Dan aku pun berbisik di telinganya—tak peduli meski ia sudah tak bisa lagi mendengar suaraku, “Aku mencintaimu, Tocchi.” Dan aku pun menurut ketika Hiroshi kemudian menuntunku menuju tempat duduk yang terdekat dengan peti mati—bersebelahan dengan kedua orangtua Naoto.

Hatiku bagai disayat ketika melihat ibu Naoto menangis menyebut-nyebut nama Naoto, putra satu-satunya yang ia miliki. Putra satu-satunya yang selalu menjaganya saat suaminya mabuk-mabukan dan memukuli dirinya tanpa tanggung-tanggung. Entah siapa yang sekarang akan melindungi wanita tua itu jika suami yang sekarang duduk di sampingnya kumat pada kebiasaan kasarnya. Tak mungkin berharap pada Yuuji yang tidak tinggal serumah dengan mereka. Aku hanya bisa berharap yang terbaik untuk wanita itu. Kedua bola mataku kembali bergulir menatap peti mati ketika tatapan ibu Naoto menghujamku—menatapku dengan tatapan menuduh. Mungkinkah ia menyalahkan aku atas kecelakaan yang terjadi pada Naoto? Aku menggelengkan kepala, berusaha membuang pikiran negatifku dan fokus pada acara penutupan peti yang akan segera berlangsung. Kugenggam tangan Hiroshi kuat-kuat, menarik nafas dalam-dalam. Aku mencoba tabah menyaksikan semuanya.

Kupikir, aku akan mampu melihat acara penutupan peti sampai akhir, namun ternyata aku salah besar. Ketika tutup peti mati itu perlahan menutupi wajah Naoto dengan bayangan perseginya, aku pun berteriak histeris—mengejutkan beberapa orang yang duduk di dekatku. Aku berdiri dari tempat dudukku, berniat menghentikan para petugas menutup peti mati Naoto—dari sudut mataku, aku bisa melihat bahwa ibu Naoto pun melakukan hal yang persis sama denganku. Kedua tanganku masih terulur ke depan ketika Hiroshi dan Yuuji dengan sigap menahan langkahku. Aku meronta, aku berteriak, namun kemudian tenagaku seolah hilang dan aku jatuh terduduk di lantai. Kubiarkan Yuuji dan Hiroshi memeluk tubuhku, berusaha menenangkan aku yang masih meronta-ronta histeris. Perlahan, kurasakan tubuhku semakin lemas dan pandanganku semakin gelap. Aku pingsan.

***

Hari ini tepat satu tahun setelah kepergian Naoto dan aku masih belum bisa melupakan dia. Aku memaksakan diriku untuk berpikir bahwa Naoto masih hidup dan sedang pergi ke suatu tempat untuk beberapa waktu. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa suatu hari nanti Naoto akan kembali ke sisiku dan aku akan menunggunya sampai kapanpun. Saat ini aku sedang berdiri di atas panggung kecil di Raspberry Café—tempatku bekerja sambilan sebagai penyanyi selama tiga bulan terakhir. Jadwal menyanyiku bisa dibilang sangat padat; siang di Raspberry Café dan malam di Hotel Tulip—bahkan pada hari libur pun aku tetap bekerja. Aku sengaja membuat aktivitas harianku seperti itu agar pikiranku teralih dari kerinduanku pada Naoto—meski tak bisa dibilang berhasil. Aku tak bisa menghindar ketika aku diharuskan menyanyikan lagu-lagu cinta yang dengan sendirinya membangkitkan kenanganku akan Naoto dan setiap kali itu juga air mataku menetes.

Sudut mataku melihat Hiroshi masuk ke dalam café dan berjalan langsung ke depan panggung. Pemuda itu duduk di salah satu meja kosong yang ada disana. Aku terus bernyanyi, berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan memohon yang disorotkan Hiroshi dari bawah panggung. Ia datang untuk mengajakku pergi berziarah ke makam Naoto. Padahal, aku sudah menolaknya mentah-mentah sejak semalam tapi ia tetap datang. Keras kepala, sama seperti diriku sendiri. Selama satu tahun ini, Hiroshi selalu ada di dekatku. Entah mengapa. Meskipun aku telah menyuruhnya untuk membiarkan aku sendirian dan menyarankan pemuda itu untuk berpacaran dengan beberapa gadis cantik yang jelas-jelas mengejarnya—Hiroshi tetap selalu ada di dekatku. Dan aku diam-diam berterimakasih pada perhatiannya tersebut. Mungkin, ia takut aku melakukan tindakan bodoh seperti bunuh diri karena hampir setiap hari ia mengantar-jemputku ke tempat kerja, meneleponku pada pagi dan malam hari—memastikan keadaanku baik-baik saja. Jika bukan karena Hiroshi, mungkin aku sekarang sudah tak ada.

Di hatiku, Naoto Matsushima masih hidup. Foto-foto kami berdua pun masih berjejer rapi di atas meja riasku. Aku masih mengiriminya SMS setiap hari meski aku tahu bahwa aku takkan pernah mendapatkan balasan. Yuuji-nii mengatakan padaku bahwa telepon genggam milik Naoto ikut dimasukkan ke dalam peti mati dan dikubur bersama Naoto—setidaknya, aku berharap pesan-pesanku tersampaikan padanya. Aku tak peduli meski orang-orang mengatakan bahwa aku sedang lari dari kenyataan, bahwa aku sedang melakukan sesuatu yang sia-sia dan membuang-buang waktuku yang berharga. Aku tak peduli karena diriku sudah turut mati bersama Naoto saat peti mati itu ditutup. Tanpa Naoto, aku hancur. Aku tidak datang saat upacara pemakaman Naoto tahun lalu dan aku selalu menolak setiap kali ajakan berziarah datang dari keluarga Matsushima. Lalu kenapa hari ini aku harus menerimanya? Melihat pusaranya dengan mata kepalaku sendiri hanya akan memperjelas kenyataan bahwa Naoto benar-benar sudah tiada dan aku menyangkalnya.

Menyangkalnya sepenuh hatiku.

Begitu tugas menyanyiku selesai, aku cepat-cepat melangkah turun dari panggung—berusaha menghindari Hiroshi—aku meraih tas tanganku dan melangkah menuju pintu belakang café. Namun, seberapa pun panjangnya langkahku, langkah kaki Hiroshi jauh lebih panjang dan ia dengan mudah menyusulku. Pemuda itu menahan pintu dengan tangannya dan menyudutkan tubuhku sehingga merapat ke dinding. Ia bahkan tak mempedulikan beberapa pasang mata yang memperhatikan kami dengan tatapan menyelidik dan berbisik-bisik menggosip.

“Yuki-chan, ada apa denganmu?” tanya Hiroshi dengan kedua tangan terentang mengapit kepalaku yang tersandar ke dinding—menjauhi wajahnya yang mendekat sehingga ujung hidung kami nyaris bersentuhan. Kedua bola mata hitamnya menatap langsung ke bola mata cokelatku yang segera bergulir menghindar dan menatap ke arah lain. Aku menelan ludah dengan susah payah dan menggigit bibir bawahku—menahan air mata yang mulai menggoda untuk mengalir dari sudut mataku yang sipit. Tubuhku gemetar, aku takut dengan apa yang sedang Hiroshi lakukan padaku saat ini. Aku tahu Hiroshi marah padaku. Marah karena aku belum juga melangkah keluar dari kubangan yang kubuat sendiri untuk sembunyi dari kenyataan.

Tapi, ini adalah hidupku bukan? Aku yang menjalaninya, bukan Hiroshi.

“Aku mau pulang,” ujarku pelan. Kusadari suaraku sedikit bergetar saat berbicara. Aku bisa mendengar suara desahan nafas Hiroshi ketika ia menghela nafas—jengkel dengan sifatku yang keras kepala.

“Sampai kapan kau mau menyangkal kenyataan bahwa Naoto sudah—,” kututup mulut Hiroshi dengan kedua tanganku sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. Mataku menatapnya dengan ekspresi ketakutan dan aku menggeleng keras, “Tolong jangan lanjutkan.”

“Naoto sudah meninggal, Yuki-chan,” ujarnya lagi setelah menarik kedua tanganku lepas dari mulutnya. Kini kedua tanganku tergenggam kuat dalam telapak tangan Hiroshi yang besar. Tangisku pun merebak seketika itu juga. Aku segera menepis tangan Hiroshi dan berlari keluar dari kafe sambil mengusap air mataku dan aku tak melihat sebuah mobil pickup besar tengah melaju dengan cepat ke arahku.

BRUAAAKKK—

Sedetik kemudian, kurasakan tubuhku terhempas melayang di udara. Kelopak mataku terpejam namun aku bisa melihat cahaya yang sangat menyilaukan. Aku sudah tak merasakan apa-apa lagi ketika tubuhku kemudian berguling-guling menabrak trotoar diiringi teriakan orang-orang yang menjadi saksi kecelakaan tersebut. Hiroshi dengan panik berlari menghampiri tubuhku yang tergeletak penuh darah. Ia menangis, ia berteriak. Namun aku hanya diam membisu hingga kegelapan menyelimutiku sepenuhnya.

***

Aku masih hidup. Dan aku membenci kenyataan tersebut. Kenapa Dewa Kematian tidak merenggut nyawaku saat kecelakaan itu terjadi? Kenapa aku dibiarkan hidup sementara kecelakaan yang terjadi padaku lebih parah daripada yang terjadi pada Naoto? Kenapa Naoto begitu mudah dibawa pergi sementara aku ditinggalkan sendirian di dunia? Aku berulang kali mencoba melukai diriku sendiri selama di rumah sakit, mencoba memotong pergelangan tanganku, mencoba meminum berbutir-butir obat namun aku tetap hidup. Hiroshi dan Yuuji bergantian menjagaku, bergantian memarahiku sementara kedua orangtuaku sudah tak tahu harus bicara apa denganku.

Aku hancur. Tanpa Naoto aku hancur. Baik Hiroshi maupun Yuuji mengetahui hal itu namun mereka mati-matian berusaha menyangkalnya. Tak sedetikpun aku dibiarkan sendirian sekarang. Mereka takut aku akan melakukan tindakan nekat lagi saat meninggalkan aku sendirian. Dan ketakutan mereka benar sehingga membuatku kesal. “Tak bisakah kalian tinggalkan aku sendirian?” ujarku akhirnya. Hari ini adalah giliran Yuuji yang menjagaku di rumah sakit. Pemuda yang lebih tua dariku itu mengangkat kepalanya, menggulirkan bola mata yang sejak tadi menatap buku novel yang ia baca padaku. Yuuji hanya menggeleng lalu ia kembali menunduk hendak melanjutkan membaca. “Aku ingin sendirian, Yuuji-nii.”

“Lalu melakukan perbuatan nekat, hm?” balasnya singkat. Aku terdiam tak bisa menjawab. Keinginanku untuk mati masih sangat kuat dan tampaknya Yuuji mengetahui hal itu dengan baik seperti halnya Hiroshi.

Aku menghela nafas, tak lagi mencoba untuk meminta Yuuji pergi. Tak ada gunanya. Mereka jauh lebih keras daripada yang kusangka. “Yuuji-nii, bisa ambilkan buku harianku? Ada di laci itu,” ujarku sembari menunjuk ke arah laci yang ada di sebelah tempat tidurku. Setiap malam aku selalu menulis buku harian itu seperti aku menulis surat untuk Naoto. Semua kerinduan di hatiku tertumpah di sana. Aku sudah berhenti mengirimkan SMS untuk Naoto sejak aku dirawat di rumah sakit ini. Telepon genggamku hancur terlindas pickup yang menabrakku dan orangtuaku menolak membelikan telepon genggam baru untukku. Buku harian itu yang menjadi penggantinya. Yuuji mengambilkan buku harian itu dari dalam laci dan menyerahkannya padaku beserta sebuah pena bertinta biru. Pena yang selalu kugunakan untuk menulis di buku itu.

Kubuka halaman pertama buku harian itu dan kupandangi foto Naoto yang kutempel disana. Wajahnya begitu ceria sehingga siapapun yang melihatnya akan sulit percaya bahwa dia sudah tiada. Ia begitu hidup. Begitu bersemangat. Perlahan-lahan, kubuka lembar demi lembar halaman buku harian yang kutulis. Samar-samar terbaca apa saja yang telah tertulis disana. Setiap kali itu kulakukan, hatiku menjerit sakit. Rasanya seperti ada beban seberat satu ton menindih dadaku, membuatku susah untuk bernafas. Dari sudut mataku, aku melihat Yuuji bangkit berdiri dan meletakkan buku yang sedang dibacanya lalu ia duduk di tepi tempat tidurku, memberiku rangkulan hangat tepat sebelum air mataku menetes. Aku menahannya ketika bola mataku menangkap sebuah tulisan yang aku tahu tak pernah kutulis disana. Tulisan tangan yang kukenal baik. Bukan tulisan tanganku.

Aku selalu ada di sampingmu, memperhatikanmu.

Tulisan berwarna merah tua seperti darah kering itu adalah tulisan tangan Naoto. Tidak salah lagi. Aku menunjukkannya pada Yuuji dan pemuda itu juga terkejut, sama seperti reaksiku saat melihatnya. Samar-samar aku bisa mencium bau darah dari tulisan tersebut, membuatku merinding ngeri. Kucoba membalik halaman buku harian itu dan aku kembali menemukan tulisan tangan yang sama dengan warna seperti darah kering di sana.

Aku tak pernah pergi darimu.

Lalu di halaman berikutnya.

Aku selalu ada di dekatmu. Jangan menangis.

Aku melemparkan buku harian itu ke lantai. Seluruh tubuhku bergetar ketakutan. Seharusnya, kata-kata itu menghiburku karena itu artinya Naoto tak pernah jauh dariku. Tapi, tulisan sewarna darah itu malah membuatku paranoid. Aku menengok ke segala arah, mencari-cari sosok Naoto. Aku merasa Naoto ada di dekatku, ada di ruangan yang sama denganku. Aku meremas tangan Yuuji yang memelukku. Aku tak tahu kenapa aku merasa sangat ketakutan. Aku ingin Naoto ada di dekatku. Tapi bukan dalam sosok tak terlihat seperti ini.

“Siapa yang mencoret-coret buku harianku dengan darah?” ujarku akhirnya, mencoba menyangkal kejadian aneh tersebut. Mungkin saat aku tertidur, seseorang dengan niat iseng membaca dan mencoret-coret buku harian tersebut. Seseorang yang mengenal baik tulisan tangan Naoto. Seseorang yang sangat dekat dengan Naoto. “Seseorang meniru tulisan tangan Naoto dan mencoba menakut-nakuti aku.”

“Tenang dulu, Yuki-chan,” ujar Yuuji dengan suara yang juga bergetar. Pemuda itu juga merasakan kengerian yang sama. Suasana di kamar rumah sakit itu mendadak terasa suram dan mengerikan. Yuuji mengusap lembut kepalaku, ia berusaha menghiburku meski ia sendiri merasa takut, “Pasti ada orang iseng. Aku akan mencari tahu, kamu jangan berpikir macam-macam. Oke?”

Aku menurut, meski jauh di dalam hati aku tahu bahwa tulisan itu bukan tulisan orang iseng. Namun, aku sendiri tak yakin jika itu benar-benar tulisan tangan Naoto yang sudah meninggal. Mungkinkah, hantu?

Tiba-tiba saja, jendela di samping tempat tidurku terbuka dengan keras. Angin berhembus kencang meniup gorden yang tadinya menutupi jendela. Langit sudah gelap, bisa kulihat kerlip bintang menghiasi langit di luar sana. Angin membalikkan halaman-halaman buku harianku yang ada di lantai sampai ke halaman paling terakhir. Kengerian menguasaiku ketika perlahan sebuah tulisan semerah darah muncul di atas kertas tersebut. Sesuatu yang tidak terlihat sedang menulis di buku harianku dengan tulisan tangan Naoto.

“Yuuji-nii,” ujarku gemetar sembari menunjuk ke arah buku harian tersebut, “Li… lihat itu.”

Aku ada disini.

Kejadian tersebut membuat aku dan Yuuji tak bisa lagi menyangkal kenyataan bahwa ‘sesuatu’ yang bukan berasal dari dunia ini ada di ruangan yang sama dengan kami. Naoto kembali. Memenuhi keinginan hatiku. Ia kembali.

***

Malam itu, Hiroshi datang. Ia memutuskan untuk menginap di rumah sakit bersama Yuuji setelah mendengar kejadian misterius yang sudah terjadi. Dengan berani, Hiroshi memeriksa buku harianku dan reaksinya jauh lebih tenang daripada reaksiku dan Yuuji. Hiroshi lebih tegar dari kami berdua. Hiroshi mengatakan padaku bahwa Naoto tak mungkin akan menyakitiku dan jika Naoto sungguh-sungguh telah kembali, itu pasti untuk kebaikanku. Hiroshi sangat mengenal Naoto dan ia tahu betapa besarnya cinta Naoto padaku.

Aku tertidur dengan nyenyak malam itu. Tak lagi ketakutan seperti sebelumnya. Aku bahkan memeluk buku harianku. Merasakan kehadiran Naoto disana. Bau amis darah sudah tak lagi tercium darisana. Hiroshi tidur dengan memangkukan kepalanya di sisi tempat tidurku sedangkan Yuuji tidur di sofa yang ada tak jauh dari tempat tidurku.

Dalam tidurku, aku bermimpi. Naoto datang menjengukku, membawa boneka beruang yang lebih besar dari yang pernah ia berikan sebelumnya. Ia tersenyum padaku, mengecup keningku dan duduk di sampingku. Perlahan, kelopak mataku terbuka ketika kurasakan belaian di pipiku. Belaian lembut yang terasa begitu dingin. Setengah sadar, aku menolehkan kepalaku ke sisi yang berlawanan dengan tempat Hiroshi memangkukan kepalanya. Sebelah tanganku terangkat menyentuh sesuatu yang dingin yang membelai pipiku dan aku terkejut dengan rasa dingin yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhku. Sesuatu yang dingin itu adalah tangan Naoto. Aku bisa melihat wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Ia tersenyum dengan bibirnya yang pucat. Menatapku dengan pandangan yang sedih.

“Tocchi?”

Ia menempelkan telunjuk ke bibirnya, menyuruhku untuk bicara pelan-pelan agar Hiroshi dan Yuuji tidak terbangun. Jemarinya menyentuh keningku yang terluka, memberikan rasa dingin yang nyaman. “Kau baik-baik saja, Yucchan?” ujarnya. Suaranya terdengar aneh. Sangat kecil tapi terdengar jelas di telingaku. Seolah suara itu datang dari dalam kepalaku.

“Aku merindukanmu,” ujarku pelan. “Kenapa kau meninggalkanku?”

“Sudah waktunya, Yucchan,” Naoto tersenyum tipis, “Sudah waktunya untukku.”

“Tapi kenapa? Kenapa harus begitu mendadak?”

“Tak ada seorangpun yang tahu kapan saat itu datang.”

“Aku ingin bersamamu, Tocchi,” Aku mulai menangis. Aku berusaha mengangkat tubuhku, tapi aku tak bisa. Sekujur tubuhku masih sakit untuk digerakkan karena kecelakaan itu.

“Yucchan, meski aku tak terlihat, aku akan selalu ada disini,” ujar Naoto sambil menunjuk dadaku, “Di hatimu. Selama kau tidak melupakan aku.”

Aku terus terisak. Kucoba mengulurkan tanganku untuk memeluknya namun tanganku tak bisa menyentuhnya seperti ia bisa menyentuhku. Melihat dirinya lagi begitu dekat denganku membuatku tak rela untuk membiarkannya pergi lagi dariku. Aku tak sanggup jika harus kehilangan Naoto sekali lagi.

“Jangan pergi lagi,” ujarku merengek.

Naoto menggeleng pelan. Jawaban yang sudah kutahu jelas.

“Aku tak bisa. Aku datang hanya untuk mendengar satu kata darimu, Yucchan,” Naoto berkata sembari membelai rambutku. Aku tahu kata apa yang ingin ia dengar, kata maaf dariku.

“Apa?” Aku pura-pura tak tahu. Aku tak ingin ia cepat-cepat pergi. Jika aku bisa mengulur waktu, aku akan lakukan apapun untuk itu.

Ia tersenyum. Tahu dengan jelas apa yang ada di pikiranku, “Apakah kau memaafkan aku, Yucchan?”

Tuhan, bolehkah jika aku tak menjawabnya? Sehingga dia akan terus ada di sampingku?

Betapa inginnya aku mempertahankan keegoisanku. Jika aku menjawab tidak, mungkin Naoto akan tetap ada di dekatku seperti saat ini. Tapi, dengan begitu, aku akan membuatnya menderita dan aku tak bisa melakukannya. Aku menatap Naoto dalam-dalam. Membiarkan bola mataku bergulir memperhatikan setiap lekuk pada wajah yang begitu kukenali. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk memandangnya.

“Kau sudah tahu jawabannya, Tocchi. Aku mencintaimu. Aku…,” ucapanku terputus karena isakanku yang semakin mengeras. Hiroshi terbangun dan ia pun bisa melihat Naoto ada di hadapannya. Naoto tersenyum dan menganggukan kepala pada Hiroshi. Hiroshi terdiam dan membiarkan aku menyelesaikan ucapanku.

“Tentu saja aku memaafkanmu, Tocchi,” ujarku akhirnya.

“Terimakasih, Yucchan. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang,” ujar Naoto mengedipkan sebelah matanya padaku. Sosok Naoto perlahan mulai menjadi transparan. Air mataku mengalir semakin deras. Aku ingin menahannya tapi aku juga tak kuasa melakukannya. Aku tahu, seharusnya aku bersyukur karena aku masih diberikan kesempatan untuk melihatnya sekali lagi.

"Jangan menangis. Aku mencintaimu, Yucchan."

Naoto perlahan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bibir kami bersentuhan untuk beberapa saat. Bisa kurasakan aliran sejuk yang nyaman di bibirku. Ciuman kami yang terakhir sebelum sosok Naoto benar-benar menghilang dari hadapanku.

“Hiroshi, aku titip Yucchan padamu.”


-END-

4 komentar:

  1. Aduh. Aku suka banget sama cerita tragedi, tapi tetep aja sedih tiap kali baca cerita yang kayak gini T__T

    Dan pas banget aku lagi dengerin OST-nya Ano Hi Mita Hana waktu baca ini, dan didukung sama gaya tulisanmu yang ngalir dan kuat banget penyampaian feelnya, jadilah saya bergalau ria T__T

    But anyway, it's a beautiful story, just like all stories you make :) Keep up the good work, Yucchan! *kecup* *disambitNaoto* *dihajarHiroshi*

    BalasHapus
  2. Moe :*
    Cerpen ini campuran kisah nyata sama fiksi, sih makanya waktu nulis juga... yah, gitu hehe T__T
    Seneng kalo Moe suka :") Sayang banget IH blm bukuin cerpen2 pemenang lombanya....

    BalasHapus
  3. Aku nangiss ceeeeeeyukiiii (T____T )
    Serius ceritanya enak banget untuk dibaca, ngga bosan kata-katanya. Pokoknya dalam banget tiap katanya (T___T ). Tanggung jawab karena udah buat aku nangis sini.

    Kalau IMO, ini bisa dibuat lanjutannya =)) Selalu di Hatiku 2 =)) =)) waktu Yuuchan udah relain Naoto dan Hiroshi mengejar Yuuchaan. Iyiuuuuuuuuuh ~ •>w<•

    Goodjob ceee ! <3
    -------
    [Ntin ~ lagi di hape jadi susah banget mau komen niiihh]

    BalasHapus
  4. Ah, Christiinnn *pelukin*
    Makasih ya udah ninggalin komen di sini *kecup*
    Moga-moga bisa dibuat ya lanjutannya, aku juga penasaran #eh

    BalasHapus