Halaman

Kamis, 31 Maret 2022

18 Agustus 2021 - A New Bucket List

 “Aku mau bikin bucket list baru —”

— adalah hal pertama yang diucapkan Kwon Eunjae saat terbangun pagi tadi, membuat Hwang Yiseong yang sedang membangunkannya terheran-heran.

“Kamu mimpi apa barusan, Sayang?” tanya Yiseong seraya mengusap helai rambut Eunjae yang menutupi matanya. “Bangun-bangun langsung mikirin bucket list.”

Eunjae tidak langsung menjawab, pemuda itu hanya menatap kekasihnya dan mengguratkan senyum segaris yang lantas disambut dengan tusukan ujung-ujung jari Yiseong pada sepasang ceruk di pipinya.

“Aku memikirkannya semalam sampai ketiduran,” jawabnya kemudian sambil merentangkan tangan dan kakinya yang panjang untuk memeluk seluruh tubuh Yiseong. “Daftar milikku hampir semuanya sudah dilakukan, jadi aku mau menambahkannya.” Diadunya ujung hidung ke milik kekasihnya, berlanjut dengan sepasang bibir yang saling menemukan. “Tapi kali ini nggak mau masukin yang ada hubungannya dengan bagaimana aku ingin pergi. Aku mau yang bikin bahagia saja."

Mereka pun beranjak dari tempat tidur, mandi, sarapan dengan cepat, lalu duduk bersebelahan di meja makan dengan selembar kertas di meja dan pena di tangan kanan Eunjae.

“Pertama-tama,” kata Eunjae penuh semangat. “Aku mau melihat langsung aurora borealis bersamamu.”

“Wah! kalau begitu kita pergi ke Norwegia?” sahut Yiseong tak kalah bersemangat.

“Alaska juga bisa, atau Kanada,” balas Eunjae lagi. “Tapi pilihanku sepertinya condong ke Norwegia.”

“Oke. Nanti kita bisa cari tahu lebih lanjut. Berikutnya apa?”

Eunjae menatap Yiseong jenaka, seperti bocah kecil yang tiba-tiba ingin mengutarakan keinginan nakalnya.

“Aku ingin main hujan sama kamu,” katanya sambil nyengir lebar.

“Kalau sakit gimana? Terakhir kali kamu kehujanan, kamu pulang luka-luka.” Yiseong menatapnya dengan alis bertaut tak setuju.

“Itu beda. Aku ingin main,” ujar Eunjae keras kepala dan tetap menuliskannya. “Lalu … aku ingin makan es krim sampai sakit perut.”

“Hei … yang benar saja,” komentar Yiseong seraya mencubit pipi tirus Eunjae yang makin tergelak. “Kenapa daftarmu jadi receh begitu?”

“Enak saja receh,” protes Eunjae seraya mendorong bahu Yiseong dengan bahunya. “Ini namanya menikmati hidup. Intinya kan aku mau bersenang-senang. Jangan pikirkan yang jelek-jelek dulu.”

Hwang Yiseong menghela napas, mengalah.

“Ya, sudah. Lanjutkan.”

“Aku mau ke London ketemu Dad. Sudah tujuh tahun aku nggak pulang….”

Kali ini Yiseong tampak syok dan sedih.

“Kenapa mukamu ditekuk? Kamu pikir aku akan meninggalkanmu di sini?” ledek Eunjae. “Aku berencana pulang paling lama sebulan. Kamu mau ikut? Dad pasti ingin berkenalan denganmu.”

“Mau. Jangan berani-berani pergi sejauh itu tanpa aku.”

Kwon Eunjae bergerak mendekat dan mencium bibir Yiseong, lalu buru-buru kembali menulis di kertasnya.

“Tahu nggak … menurutku nggak cuma orang sakit seperti aku saja yang perlu membuat daftar seperti ini,” kata Eunjae sambil mengamati sekali lagi daftar yang sudah dibuatnya. “Kurasa semua orang harus membuat daftar keinginan dan melakukannya. Hidup ini nggak menentu, nggak bisa ditebak. Banyak orang yang meninggal tanpa tahu dia akan meninggal … jadi, banyak hal yang tidak lagi bisa dilakukan sekalipun ingin, 'kan? Karena mengira hidupnya masih panjang, orang-orang seringkali jadi mengabaikan yang mereka anggap sepele seperti ini.”

“Kamu benar. Kebanyakan orang jadi menunda … besok saja, nanti saja … akhirnya malah tidak dilakukan dan menyesal belakangan,” gumam Yiseong.

“As is a tale, so is life … not how long it is, but how good it is, is what matters,” ujar Eunjae mengutip Seneca.

Yiseong tersenyum, mengusap kepala Eunjae dan berkata, “Let’s make this list ours then.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar