Kwon Eunjae bisa merasakan tatapan Hwang Yiseong yang terus mengarah ke punggungnya ketika ia tengah mengambil posisi di depan cermin lebar ruang latihan. Pemuda itu sengaja memunggungi kekasihnya karena tatapan itu membuatnya merasa campur-aduk. Rasa bersalah, sedih, serta marah tengah mengaduk-aduk batinnya. Ia putus asa. Ia merasa bodoh karena telah menaruh harapan yang ia tahu sesungguhnya tidak ada.
Pagi tadi, mereka berdua kembali ke Gangnam Severance Hospital untuk mengambil hasil tes medis yang dilakukannya tanggal 25 lalu. Ide memeriksakan diri pada dokter baru yang katanya lebih mumpuni membuatnya mengiyakan tawaran itu. Ia ingin sembuh, siapa yang tidak? Apalagi setelah belakangan penyakitnya semakin terasa mengganggu, ia sungguh-sungguh ingin sembuh.
Namun, sayang, yang ia terima malah kabar buruk. Hasil tesnya membuat sang dokter mengatakan hal yang sama dengan dokter sebelumnya. Sudah terlalu parah, bahkan sudah menjalar hingga ke paru-paru. Sekali lagi, dokter menyarankan agar ia menjalani hidup dengan maksimal, melakukan apa pun yang ia inginkan sebelum ajal menjemput. Bedanya, kali ini ada Hwang Yiseong di sampingnya — menggenggam erat tangannya.
Tidak tahu apakah keberadaan Yiseong membuat segalanya terasa lebih baik, atau justru sebaliknya.
Kwon Eunjae tidak tahan melihat kesedihan terpancar pada binar mata kekasihnya. Ia ingin Yiseong selalu tersenyum senang di dekatnya, bukan menangis dan mengasihani dirinya. Bersama dengan Eunjae hanya membuat Yiseong selalu dirundung cemas karena bisa saja sewaktu-waktu nyawanya tercuri tanpa ada yang tahu.
Karena itu, pemuda Kwon menegakkan punggungnya. Ia tersenyum dengan mata mengarah pada Hwang Yiseong dari cermin di hadapannya. “Ayo mulai latihannya,” ia mengujar, berusaha terdengar baik-baik saja walau nada ceria dalam suaranya terdengar begitu dipaksakan. “Debut sudah di depan… mata….” Suaranya berkhianat, berubah serak pada akhir kalimat.
Pertama-tama, pundaknya berguncang. Kemudian kepalanya tertunduk seiring bulir-bulir air mata berjatuhan dari pelupuk. Kedua lututnya lemas hingga pemuda jatuh terduduk. Dibiarkannya Yiseong berlutut di depannya, merengkuh tubuh kurusnya dalam pelukan yang erat dan hangat.
Alih-alih nyanyian, ruang latihan hari itu dipenuhi isak dan air mata mereka.
Keduanya berlatih keras sesudah itu. Tidak mereka biarkan sedih menggerogoti seluruh semangat yang mereka punya untuk menyukseskan debut yang sudah mereka nanti-nanti. Mereka menumpahkan emosi yang membludak dalam diri mereka untuk menyanyi dengan lebih baik, menari dengan lebih menghayati, dan membentuk konsep panggung untuk tiga lagu milik mereka sendiri.
Namun, tentu saja, pedih tidak lantas pergi begitu saja. Keduanya sekarang sudah berada di apartemen untuk beristirahat setelah makan malam yang senyap. Kwon Eunjae duduk bersandar pada kepala ranjang sambil menggulirkan layar ponsel dengan ibu jarinya.Tidak ada yang sedang ia simak secara khusus, hanya secara acak membuka-buka akun instagram dan melihat-lihat foto apa pun yang terpampang di layar tanpa ketertarikan.
“Babie, are you alright?” Yiseong menghampiri, dan duduk di sampingnya, tampak cemas.
Kwon Eunjae hanya memberinya satu senyum tipis dan hela napas berat. “I can’t say that I’m okay,” katanya. Ia tidak berniat menutupi perasaan yang sebenarnya dari Yiseong, maka ia mengatakan yang sejujurnya. “I’m scared, I’m sad, and I’m angry.”
Tidak perlu penjelasan lebih panjang karena yiseong sudah tahu semuanya. Ia pun tahu perasaan yang dirasakan Yiseong kurang lebih sama dengannya. Keputusasaan karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah yang tengah terjadi pada tubuh pemuda Kwon. Keinginan untuk sembuh semata tidaklah cukup. Ia perlu bantuan dokter yang mumpuni. Ia butuh keberuntungan. Lalu, di atas semua itu, ia butuh campur tangan Tuhan.
Eunjae meletakkan gawainya di samping bantal ketika Yiseong menggeser tubuhnya mendekat dan melingkarkan lengan pada lehernya. Wajah mereka saling berhadapan, dan ia memejamkan mata ketika Yiseong mempertemukan bibir mereka. bibirnya yang kering dan pucat bergerak mengikuti gerakan kekasihnya. Mereka saling memagut, mengulum dan mengisap, tapi tidak dengan tergesa. Tangannya kemudian bergerak menangkup kepala Yiseong, mengusap telinga pemuda hwang dengan ibu jarinya. Bibir mereka tidak menunjukkan tanda-tanda ingin saling melepaskan, bahkan hingga ia mulai kehabisan napas.
Keduanya kini berbaring di atas ranjang, saling memeluk tubuh masing-masing seakan jarak satu sentimeter saja terlalu jauh bagi mereka.
Tuhan, betapa Eunjae mencintai Yiseong. betapa ingin ia memiliki waktu lebih lama untuk bersamanya. Betapa takut Eunjae meninggalkannya.
“I love you, Hwang Yiseong,” bisiknya di sela kecupan, ketika ujung-ujung hidung mereka berbenturan, ketika dua pasang bola mata saling menatap.
“Kwon Eunjae,” Yiseong balas berbisik, “make love to me.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar